Bab 6

1917 Words
Beragam jenis vaksin dan obat-obatan termasuk antibiotik, analgesik, antihistamin, dan sejenisnya—yang tertulis di daftar checklist-ku satu persatu mulai tertandai. Kami sudah sampai di barisan terakhir yang menandakan pengecekan barang hari ini fix clear. Dokter Kafa menutup kembali kardus yang sudah dibuka menggunakan lakban coklat. Aku menyelesaikan laporan checklist-ku, menunggunya untuk tanda tangan pengecekan barang. "Tanda tangan dulu, Dok," ucapku menyodorkan daftar itu. Tidak banyak bertanya, Dokter Kafa langsung menandatanganinya. Saat jari kami bersentuhan secara tidak sengaja ketika mengembalikan dokumen, aku merasakan gelanyar aneh mulai kembali menelisik di hati. Aku memandangnya—mencari tahu apa hanya aku saja yang merasakannya. Setelah berlalu beberapa detik aku sadar, sepertinya hatiku yang terlalu meninggikan perasaanku saja. Aku memasukkan dokumen itu ke dalam tas, berjalan menuju pintu. Dokter Kafa masih menata kardus agar mudah untuk dikeluarkan keesokan harinya—karena acara yang akan dilaksanakan di kantor kelurahan. Kemungkinan besok staf Puskesmas yang akan mengantarkannya kesana. Saat keluar aku baru menyadari kalau hari semakin petang. Langit Surabaya yang terang benderang perlahan mengeluarkan semburat merah muda jingga. Sayup-sayup kudengar lantunan ayat suci Al-Qur'an yang terdengar melalui pengeras suara masjid menandakan waktu sholat Magrib yang tidak lama lagi. Aku berjalan mencari sakelar lampu yang ada di koridor, menyalakannya satu persatu saat kulihat Dokter Kafa menutup pintu dan mengunci ruangan, "Dok, ini boleh kan, saya nyalakan?" tanyaku. Dokter Kafa mengangguk. Aku berjalan mengekorinya. Kini suasana gedung tampak lebih sepi. Tidak ada lagi manusia yang berlalu lalang. Sunyi. Belum lagi tidak setiap sudut dinyalakan lampunya—hanya beberapa saja yang digunakan untuk keperluan penerangan. Dengan suasana sesunyi ini, aku melangkahkan kaki lebih cepat, berusaha untuk menyamai langkah milik Dokter Kafa. "Dok, serem juga ya, kalau Magrib gini," ucapku pada akhirnya. Dokter Kafa menoleh, "ya. Karena sudah sepi." "Dokter nggak takut gitu, Dok? Kalau sendiri?" Laki-laki itu tidak langsung menjawab, ia berhenti melangkah—lalu memutar arah. Segera kuikuti dirinya. Ini orang nggak tau aku agak takut atau sengaja sih? Saat mengikutinya—aku baru sadar kalau dia sedang menyalakan lampu, "Kenapa takut? Kan lagi berdua." Setelahnya kami kembali menuju koridor menuju gedung utama. Pintu kaca Puskesmas sudah di kunci. Mendadak kepanikan melanda diriku, "loh, Dok, kok dikunci! Gimana dong keluarnya?!" tanyaku cemas. Dokter Kafa masih lempeng saat merogoh sakunya lagi, mengeluarkan gantungan gembok lalu membukanya dengan mudah. Tidak butuh waktu lama pintu itu terbuka, seperti disiram air dingin, perasaanku mendadak lega. Setelahnya, aku menunggu Dokter Kafa menguncinya lagi. "Kamu tadi parkir dimana?" tanya Dokter Kafa menghampiriku. "Disana." Kutunjukkan arah parkiran yang terlihat jauh dari parkiran semestinya. Hari yang semakin petang membuat suasana puskesmas mirip tempat-tempat horor yang 'singup' (angker). Lampu jalan juga hanya menerangi remang-remang diantara kegelapan. Mendadak aku jadi takut ke parkiran sendirian. Aku memandangi Dokter Kafa, sangsi untuk meminta bantuan—tapi aku butuh! "Dokter parkir dimana?" tanyaku berbasa-basi. Aku juga mencari-cari letak kendaraan lain diparkiran nun jauh disana, tapi hanya tinggal 3 motor saja yang terparkir. Salah satunya milikku, jadi ada kemungkinan satunya itu punya Dokter Kafa kan? Tidak lama kudengar alarm mobil berbunyi, membuat tubuhku berjingkat terkejut. Aku memandang kecut kearah Dokter Kafa. Benar saja, bagaimana dokter sekaliber dia naik motor bebek seperti kami rakyat sudra?! Lihat saja mobilnya ini, juga bukan tipe mobil ecek-ecek yang biasa ditemui di rental mobil sewaan. Mobil mewah bin elit yang dulu pernah iseng ku cari harganya di google yang mencapai angka 10 digit. Aku mengelus dadaku, tiba-tiba meratapi nasib pejuang recehan. Mendengus perlahan aku melangkahkan kaki meninggalkannya. Kalau dia orang yang baik, harusnya dia nanti akan menemaniku kan? Pikiranku mengulangi statement yang sama mencoba meyakinkan diri. Tapi tak kunjung juga kudengar dia menghentikanku—setidaknya memanggilku—dasar menyebalkan! Aku yang sedikit merinding—entah karena dingin atau perasaan lain yang erat kaitannya dengan sosok lelembut—mengurungkan niat untuk berjalan lebih jauh. Aku berbalik arah, langsung berlari kecil menuju Dokter Kafa yang masih membuka pintu mobilnya. "Dok!" Panggilku sedikit ngos-ngosan. Dokter Kafa langsung celingukan, mencari tahu asal muasal penyebab aku berlarian kearahnya. Ia menyernyit saat menatapku. "Kenapa lari?" Aku memasang wajah melas. Sudah kuputuskan, say goodbye sajalah dengan segala gengsi, harga diri, juga martabat diriku ini. Lebih baik buang gengsi, daripada senam jantung begini. "Dok, temani saya ambil motor diparkiran dong," pintaku dengan wajah super melas dan pasrah. Aku nggak yakin dengan seperti apa rupaku sekarang. Yang jelas Dokter Kafa yang biasanya lempeng, cuek bebek, kaku, mendadak bibirnya berkedut-kedut, berusaha untuk menahan senyum. Detik setelah itu aku melihatnya tertawa. Tawa kecil yang sarat akan kegelian. Seolah aku baru melawak ludruk dihadapannya apa? Aku ketakutan kenapa dia yang tertawa. Hatiku terasa dongkol. Dasar manusia yang bahagia diatas penderitaan orang lain! "Dok, saya serius Dok! Lihat ini, saya sudah merinding!" Aku menunjukkan lenganku dimana beberapa rambut halusku berdiri. Dokter Kafa masih tertawa geli, ingin kugeplak kepalanya supaya dia kembali ke dirinya yang normal. Kayaknya lebih baik lihat dia lempeng tanpa ekpresi dari pada tertawa nggak jelas seperti ini. Salah-salah, dia malah mengundang sosok dedemit sini? Hiiiii sereemm... "Dok! Jangan ketawa, pamali magrib-magrib! Ya ampun dok!" ucapku mendadak dilanda kepanikan lagi. Dokter Kafa berusaha menetralisir tawanya, kulihat ia berdeham memandangku masih dengan tatapan jenaka. "Kenapa, kamu takut, ya?" Aku mencibir, "Kalau berani ya nggak balik kesini dan minta ditemani Dokter lah!" Dengan bibir mengerucut kesal aku membalas ucapannya. Dokter Kafa memasukkan tasnya ke kursi belakang. Ia menutup mobilnya sebelum berjalan mendekatiku, "yuk. Saya antarkan." Hatiku yang semula gundah gulana menjadi lebih lega. Aku sengaja berjalan sedikit berdempetan dengan Dokter Kafa. Tolong dicatat! Aku tidak sedang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, ya. Kami berjalan beriringan saat Dokter Kafa mengatakan, "Kamu ini lucu, sudah besar tapi tetap saja takut takhayul seperti itu." Aku bersendekap merasa tidak terima dengan statementnya. "Dok, yang namanya takut, ya itu manusiawi Dok. Alamiah. Nggak bisa ditahan, kayak bersin. Nggak besar, kecil, tua, muda, lansia, kalo takut ya takut aja." Dokter Kafa menoleh, manatapku sejurus sebelum memalingkan wajahnya lagi kedepan. Pandangannya tadi membuat perasaanku semakin tidak karuan. Kugelengkan kepalaku, menepis segala pemikiran yang lagi-lagi muncul di otak. Kami sudah sampai di parkiran, segera kuletakkan tas, kugunakan helm lalu mengarahkan motor ke sebelah Dokter Kafa yang masih berdiri menungguku. "Terimakasih Dok! Yuk saya antarkan balik ke mobil," ucapku selagi menawarinya tumpangan. Dokter Kafa tampak bergeming, ia melihat ketempat mobilnya parkir, lalu menggeleng, "tidak perlu. Kamu duluan saja." Aku mendengus kesal, turun dari motor, kugeret Dokter Kafa agar duduk di kursi belakang. "Saya ini mau balas budi, biar nggak ada hutang," jawabku dengan bibir yang masih manyun. Dokter Kafa menggeleng, ia lantas mengambil alih setir, "Kalau gitu saya yang didepan," ucapnya. Aku menyajikan senyum pepsodent sebelum mangkring di kursi belakang. Dokter Kafa langsung mengarahkan motor ke tempat mobilnya. Setelah itu dia turun, mengembalikan motornya padaku. "Terimakasih ya," ucapnya kalem. Aku mengacungkan jempolku padanya, "saya yang terimakasih karena sudah ditemani tadi. Kalau begitu saya duluan, ya, Dok! Assalamualaikum!" aku meninggalkan Dokter Kafa yang kulihat geleng-geleng kepala dari spion. Dalam hati kecil tersenyum girang, ternyata dia baik juga ya. *** Elvin sudah pulang tadi sore tidak serta merta membuat kerja rodiku di rumah berkurang. Dia seenaknya saja menyuruhku ini itu dengan dalih sudah membelikanku oleh-oleh yang katanya 'mahal' harganya. Aku memang nitip untuk dibelikan kain Songket Sidemen khas Bali. Karena banyaknya jam terbang kondangan membuatku harus tetap terlihat cantik menjaga penampilan prima. Apalagi karena diusiaku yang pertengahan dua puluhan ini dan masih sendiri—membuatku harus terlihat seolah wanita karir yang berhasil secara finansial. Biasanya di acara-acara seperti itu, aku mendapatkan pertanyaan seputar pernikahan—karena memang sudah waktunya. Aku dengan 'legawa' mengatakan kalau memang bertemu jodoh, meskipun dalam hati juga menginginkan hal yang sama—pernikahan. Siapa yang tidak mau menikah? Kalau sudah berumur cukup, punya calon yang siap, juga materi untuk menghidupi kebutuhan, apalagi? Tapi menikah belum masuk prioritas utamaku sekarang. Satu karena aku suka dengan pekerjaanku, dua aku nyaman dengan diriku sendiri, tiga karena aku belum menemukan jodohnya. Biasanya, satu dua kali Elvin akan menyeramahiku tentang pernikahan, menyuruhku agar segera berkencan. Sedangkan Ibu lebih sering. Setiap teman yang kubawa kerumah, tidak pernah luput dengan pertanyaan, "kalau Sabrina sekarang dekat dengan siapa?" Aku tau, pertanyaan itu untuk memancing agar aku risih dan segera mencari seseorang yang tepat. Tapi kembali lagi, menurutku ini belum waktunya. Setelah menjadi babu sukarela Elvin, aku melarikan diri menuju balkon lantai dua. Langit Surabaya tampak terang meskipun petang. Terlihat pendar ke merah mudaan dilautan gelap yang mengindikasikan efek polusi cahaya yang terjadi di kota ini. Tentu saja tidak ada bintang yang terlihat malam ini. Aku sering mendengar polusi cahaya ini disebabkan cahaya artifisial yang diarahkan secara langsung ke atmosfer. Cahaya dari lampu taman tanpa tudung, cahaya baliho yang mengarah ke atas, cahaya silau dan sebagainya. Inilah penyebab banyak benda langit yang tidak terlihat di daerah perkotaan. Untungnya saat malam hari angin tidak terasa panas, setidaknya suhu udara tidak sepanas saat siang hari. Hanya saja, kalau berada di ruang tertutup, apabila tidak menggunakan AC ataupun kipas angin akan membuat udara dalam ruangan terasa pengap. Aku melihat langit, cahaya bulan yang tertutup awan membuatku mendesah sedih. Lama kelamaan disini bukan pemandangan yang kudapatkan, tapi bentol-bentol karena memberi makan nyamuk kelaparan! Asem! "Ngapain kamu disini, nggolek jingklong ta (nyari nyamuk)?" tanya Ibu tiba-tiba membuatku sedikit berjingkat kaget. "Ibu ngagetin aja!" Ibu Eni Astuti berdiri di sebelahku tangannya sibuk mengarahkan benda berbentuk kotak khas millenial ke udara. Aku menyernyit, "ngapain Bu?" tanyaku penasaran. Ibu Eni Astuti, memandang kearahku, "nggolek (nyari) sinyal." Mau tidak mau aku tertawa geli mendengar ucapannya. "Kenapa sinyalnya dicari?" tanyaku lagi, tawaku masih belum redam. "Tadi Video Call sama Bude Widya, eh tiba-tiba nyendat terus putus. Kata Bude sinyalnya jelek," jawabnya, masih belum menurunkan ponsel. Segera kuambil ponselnya, mencari tahu letak kesalahan 'susah sinyal' itu. Setelah aku mengecek paketan data, langsung kupasang wajah sangsi ke Ibu. "Yah, kalau gini namanya bukan gak ada sinyal, Bu. Tapi paket datanya yang habis, nih..." Ucapku sambil mengembalikan benda itu kepadanya. Ibu memandangku dengan tatapan polos, "woalah, padahal lagi seru ngobrolnya." Aku mengajak Ibu untuk duduk di sofa lantai dua. Ibu terlihat sibuk dengan ponselnya. "Ngobrolin apa Bu, yang seru?" Ibu masih berkonsentrasi dengan benda itu, tapi beliau menjawab pertanyaanku, "ini, katanya Bude Widya punya tetangga yang barusan lulus pendidikan polisi. Lumayan, pangkatnya sudah tinggi." Aku menaikkan alis tidak mengerti maksudnya. "Ya apa hubungannya, Bu?" Ibu mendesah, kali ini pandangannya tertuju padaku, "Ya hubungannya itu, Ibu sama Bude Widya kan pengen (ingin) ngenalin kamu. Siapa tau jodoh." Aku berdecak sambil memutar bola mata, "Bu, obrolan ini sudah offside," jawabku kalem. Ibu tampak tidak terima, "Lha lapo o (lha kenapa) kok offside? Lawong kamu jomblo, dia juga." Aku tidak menjawab, tapi memberikan gesture seolah tak ingin membicarakan ini lagi. Ibu meletakkkan ponselnya di atas meja, memadang lurus kepadaku. "Nduk, kamu ini sudah hampir 26 lho. Kamu ndak pengen nduwe bojo, nduwe anak koyok kanca-kancamu liyane ta (apa kamu tidak ingin punya suami, anak seperti teman-temanmu)?" tanya Ibu dengan suara yang kalem. Pandangannya kini penuh sorot kekhawatirnya. Aku memegang tangannya, "Bu, Sabrina tau. Sabrina juga ingin. Tapi sekarang masih belum saatnya. Nanti kalau sudah saatnya, pasti Sabrina nikah," ucapku lagi-lagi mencoba menenangkannya. "Nanti itu kapan, nduk? Ibu sudah tua, nggak sehat lagi." Aku menghela nafas berat, kalau sudah begini, tanda-tanda ibu akan merajuk padaku. "Iya, insyaallah tahun depan ya, Bu. Doakan saja Sabrina." "Tahun depan yakin lho ya, kalau tahun depan nggak dapat, kamu kudu manut apa jare (harus menurut apa kata) Ibu!" ucapnya final. Aku mengangguk, lalu tersenyum sebelum menghujani beliau dengan ciuman dan pelukan. "Nggih Bu, sendika dawuhh... (ya bu, siap laksanakan)" ucapku sambil tertawa. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD