Bab 5

2033 Words
Rutinitas yang sama, kini aku merasa jemu dengan layar datar yang menampilkan beberapa tab dokumen yang tulisannya mendadak blur di mata. Aku memejamkan kelopak mata, mencoba untuk mengistirahatkan indraku itu. Aku menengadah, memandang langit-langit kantor yang terlihat kotor karena adanya beberapa sarang laba-laba di pojoknya. Kulihat meja sampingku kosong semua menandakan Rama dan Siska sedang survey lapangan. Sepertinya sudah saatnya untuk memperbarui data sensus—dan karena suatu hal yang aku tidak tau apa, biasanya kami yang menerima relawan tahun ini sepertinya telat. Jadi terpaksa kami yang bergantian untuk sensus. Untung wilayahnya tidak terlalu besar—tapi tetap saja, namanya sensus ya repot. Aku melihat kalender duduk yang ada dimeja, lusa adalah acara yang kugarap dengan Puskesmas. Artinya, besok aku harus mempersiapkan semuanya dengan fix. Tapi ini saja, masih ada barang yang belum tau jluntrungnya dimana. Entah ada kesalahan penginputan data atau pengecekan dari pihak puskesmas. Rencananya acara  akan dilaksanakan di balai kelurahan, nanti besok pagi barang-barang puskesmas akan dikirim kemari. Aku mendesah berat, mengetikkan pesan WhatsApp pada salah satu koordinator yang berasal dari Puskesmas, namanya Pak Syahrul. Dokter gigi yang masih muda. Sepertinya umurnya tidak jauh beda dari Elvin yang hanya berjarak 3 tahun dariku. Sabrina Faza : Siang dok, maaf ganggu. Jadi gimana untuk ketersediaan vaksinya yang delay kemarin? Apa sudah ada kabar? Tidak lama aku melihat pesanku centang dua biru, tanda kalau sudah dibaca. Tidak lama sebuah pesan balasan datang. dr. Syahrul Mustafa : Siang Bu Sabrina. Iya, katanya siang ini datang. Ini saya masih diluar jadi belum bisa cek. Nanti akan saya follow up. Aku menghela nafas lega. Alhamdulillah, akhirnya. Beban di kepala bisa berkurang sedikit. Sabrina Faza : Alhamdulillah. Ok, terimakasih dokter. Aku meletakkan ponsel diatas meja, masih belum lama layar ponselku kembali memunculkan pop up. dr. Syahrul Mustafa : Iya, Alhamdulillah. dr. Syahrul Mustafa : Bu Sabrina, mohon maaf sebelumnya, tapi sepertinya saya tidak bisa kembali. Baru mendapat kabar jika pertemuannya diperpanjang. Saya diluar kota, kalau boleh, saya ingin minta tolong ke Bu Sabrina. Aku segera mengetikkan balasan. Sabrina Faza : Ya, Dok. Bantuan apa? dr. Syahrul Mustafa : Bisa minta tolong untuk cek ketersediaan vaksin dan obatnya di puskesmas, hari ini? Nanti saya minta tolong teman saya untuk ngecek jenisnya. Bu Sabrina bisa memastikan jumlah yang dibutuhkan. Bagaimana Bu? Sabrina Faza : Baik, Dok. Jam berapa saya bisa ke sana? dr. Syahrul Mustafa : Saya baru mendapat kabar kalau barangnya sudah ada. Teman saya masih ada jadwal praktik, mungkin jam empat sore, Bu? Sabrina Faza : Baik, Dok. dr. Syahrul Mustafa : Terima kasih Bu Sabrina. Maaf merepotkan. Sabrina Faza : Tidak masalah, Dok. Terima kasih kembali. Aku melirik jam dinding, masih ada beberapa jam lagi sebelum aku kesana. aku memutuskan kembali memusatkan pandangan pada layar komputer yang ada dihadapankku lagi. *** Jam 15.35 WIB aku mengemasi barangku. Tadi aku sudah melaporkan perkembangan acara pada Pak Lurah, dan beliau mengijinkanku langsung pulang setelah ke Puskesmas sore ini. Aku berjalan menuju tempat absen, meletakkan jari untuk melakukan finger print. Setelah absen pulang, aku berjalan menuju parkiran. Disana aku melihat Rama yang barusaja memasukkan motor honda beat milik Siska ke tempat parkir. Ia melepaskan helm—yang kutahu itu milikku, dan membawanya kearahku. “Mau kemana Bu?” tanyanya. Aku mengambil alih helm kyt hitam itu, “ke puskesmas. Mau cek barang yang delay kemarin. Dokter Syahrul nggak ada, jadi yah, disuruh ngecek. Daripada nggak fix juga.” Siska menunggui Rama yang juga mendekat kearah kami. Wajahnya yang semula putih perawatan menjadi sedikit merah—karena paparan sinar matahari. Aku jadi teringat kata dokter kulitku dulu, kalau perawatan wajahnya tidak tepat biasanya wajah terlihat putih dan cantik instan tapi akan menimbulkan bercak merah kalau terkena matahari. Aku tidak yakin wajah merah siska ini karena hal itu, atau memang wajahnya sensitif sinar matahari. “Udah selesai sensusnya?” “Masih kurang banyak, cuy. Kapan sih kerjaanmu kelar? Bantuin dong,” keluh Rama yang diimbuhi anggukan setuju Siska. Aku tersenyum, merasa sedikit senang karena pekerjaan mereka tak jauh beda dengan pekerjaanku. Aku mengibaskan tangan, memakai masker sebelum memasang helm, “dah sana minggir. Aku mau kerja dulu,” pamitku. Halaman puskesmas terlihat lebih longgar dari terakhir aku datang kesini—kemarin pagi—mungkin penuh karena banyaknya warga yang berobat, sekarang kan sudah jam pulang jadi wajar parkiran motor ini terlihat sepi. Setelah menitipkan motor pada tukang parkir, aku melenggang menuju gedung utama. Beberapa perawat terlihat bersiap untuk ganti shift. Mereka yang beberapa hari ini familier dengan wajahku saling bertukar sapa. Karena sudah tau tempatnya, aku menuju kantor administrasi. Ruangan itu terlihat sepi tapi pintunya dibiarkan terbuka. Aku mengetuk pintu sejenak, tidak ada balasan. Hingga dua, tiga kali tetap tak terdengar apa-apa. Setelah menimbang sebentar, kuputuskan untuk melangkah masuk kedalam. Lalu pandanganku tertuju pada seseorang yang sedang duduk dipojok ruangan dengan ponsel yang terhubung dengan kabel daya. Seperti anak kecil yang tertangkap sedang makan permen—padahal dilarang, ia menatapku terkejut. Bahkan aku bisa melihatnya memegangi jantung sebagai antisipasi. “Oh Maaf, saya kira tidak ada orang. Saya sudah mengetuk pintu dua kali, tapi tidak mendapatkan jawaban,” jawabku mencoba untuk mendistraksi pikiran yang tiba-tiba mulai mengeluarkan kepingan ingatan saat melihat sosok itu dengan jelas—lengkap dengan wajah terkejutnya. Kalau boleh bilang, aku juga terkejut melihatnya disana. Ia menunjukkan ponselnya, seolah hendak memberikan penjelasan padaku, “daya ponsel saya habis. Karena tidak tau letak stop kontak dimana, jadi, ya ini satu-satunya,” jawabnya, mirip anak sekolah dasar yang memberikan penjelasan karena kedapatan mencontek. Aku tersenyum menenangkannya, “feel free to do your bussiness.” Ia balas tersenyum. Aku memilih duduk di salah satu kursi yang kosong, mengeluarkan berkas checklist dari dalam tas yang harus kuselesaikan sore ini. Aku melirik ke sekitar, meski banyak perawat maupun anggota staf puskesmas yang berlalu lalang diluar ruangan, tidak ada satupun dari mereka yang masuk kedalam ruangan. Aku melirik jam tangan sekilas, sudah pukul 16.10 WIB. Karena tak mendapatkan pencerahan, aku mengetikkan pesan WhatsApp pada Dokter Syahrul. Sabrina Faza : Maaf Dok, saya harus bertemu dengan siapa, ya? Karena saya di ruang administrasi tidak ada staf sama sekali. Baru kuletakkan ponsel dimeja, lalu sebuah panggilan masuk. Dari Dokter Syahrul, segera ku terima panggilannya. “Ya. Waalaikumsalam dok.” “...” “Ya, saya sudah ada di ruangan. Jadi bagaimana?” “.....” Setelah mendengar penjelasan dokter Syahrul, aku refleks menoleh pada orang itu—yang sedang asik membaca buku—ditempatnya. Seharusnya aku sudah menduganya sejak 10 menit yang lalu karena tidak ada siapa-siapa lagi yang ada disini selain aku dan dirinya. “Ya, Dok. Saya mengerti. Terimakasih.” “....” “Waalaikumsalam.” Setelah menutup panggilan, aku berjalan kearahnya—dokter muda itu yang sedang konsentrasi dengan pekerjaannya. Ia baru menoleh saat aku berdiri dihadapannya. “Maaf dok, perkenalkan, saya Sabrina sebagai perwakilan koordinator dari kelurahan. Apakah benar dokter sebagai pengganti Dokter Syahrul untuk mengecek obat dan vaksin yang datang hari ini?” Laki-laki itu mengangguk, masih duduk ditempatnya. “Ya, saya sudah mendapatkan pesan dari Dokter Syahrul.” Aku tersenyum masam. Harusnya bilang dari tadi bro! Kesalku dalam hati. Tidak mungkin kan aku protes didepan dokter ini langsung. Wajahnya masih terlihat datar—tanpa rasa bersalah atau apapun, karena jujur aku tidak bisa membaca isi pikirannya—membuatku bertambah dongkol. “Jadi, apa bisa kita kesana sekarang, Dok?” tanyaku masih berusaha terlihat sopan. Ia tidak menanggapi, malah mengambil ponselnya, menyalakan benda itu sebentar. Seolah menimbang sesuatu, ia menatapku. “Apa kamu keberatan kalau saya menunggu daya ponsel saya sampai 10 persen? Hanya kurang 1% lagi.” tanyanya masih tanpa ekspresi. Aku memaksakan senyum agar terlihat lebih polite. Aku mengangguk dan berjalan melenggang menuju kursi tempat tas dan barang-barangku disana. Aku sengaja membuat suara gaduh saat memasukkan barang-barangku. Ku kibaskan sedikit rambutku, merasakan gerah yang mendera diri karena menahan emosi padahal ruangan ini full AC. “Ehm, dok, apa 1% nya masih lama, ya? Karena tadi saya lihat parkiran pengunjung ditutup jam 5,” elesku. Aku hanya mendengar obrolan dari pak satpam tadi, jadi tidak sepenuhnya salah—atau aku tidak yakin juga benar. “Kenapa tidak parkir di staf saja? Lagi pula, sejak kapan parkiran ditutup,” ucapnya masih tidak menangkap apa maksud terselubung dari ucapanku. Helo, bos, dokter, saya ini juga mau pulang istirahat. Ini hampir jam 5 tapi kita masih belum memeriksa apa-apa. Ingin kukatakan satu persatu kata dalam kalimat itu dengan penekanan agar terdengar jelas, tapi lagi-lagi kuurungkan niatku. Bagaimanapun juga, aku harus bersikap se-profesional mungkin. Sebetapa menyebalkannya laki-laki itu. Tidak lama aku melihatnya melepaskan charger, menaruh benda itu begitu saja di meja. Jadi bahkan charger pun tadi hasil meminjam secara ilegal, ya? Pantas tadi terkejut gitu mukanya. Aku menyembunyikan tawa geli—hanya senyam senyum saja. Ia menyernyit menatapku, “Ada yang salah?” “Tidak,” balasku kilat. Ia hanya mendengus, sebelum bergumam, “siapapun pemilik charger ini, terimakasih ya. Saya letakkan kembali disini. Semoga kebaikannya dibalas Allah swt, aamiin,” ucapnya kalem. Mau tidak mau aku tersenyum lebar, ada-ada saja dokter satu ini. Ia melenggang keluar ruangan staf yang langsung kuikuti. Laki-laki ini tampak santai menggunakan celana kain berwarna putih dan juga kemeja biru muda yang sudah dilipat setengah lengan. Meski rambutnya tidak serapi saat pertama kali aku bertemu dengannya di RS kemarin, tapi rambut yang little bit messy really suit him more! Membuatku salah tingkah saat kedapatan sedang mengawasinya. Kami melewati lorong-lorong puskesmas yang tampak kosong. Di sisi kanan kini terdapat ruang terbuka hijau sebagai tempat sirkulasi udara. Banyak ruangan yang sudah tutup—karena memang sudah jam tutup kecuali untuk ruang IGD. Hawa sore Surabaya masih terasa pengap walau tidak sepanas tadi siang, dan berada disekitar ruang penghijauan setidaknya menyejukkan mata walaupun tidak menurunkan sedikitpun suhu kota yang dijuluki metropolitan kedua ini. Kami sampai pada ruangan yang terletak di sayap kanan bangunan. Dia—dokter Kafa tampak merogoh saku sebelum mengeluarkan sebuah kunci ruangan yang bertuliskan storage ini. Melihat banyaknya kunci ditangannya, membuatku berpikir ia mirip tukang kunci. Aku yakin akan banyak orang yang mengantre kunci padanya—cause he’s damn hots! “Sabrina...” Lamunanku buyar saat kudengar namaku disebut, buru-buru aku menengadah memandang dokter Kafa yang tampak menunggu responku. Ia mengarahkan kepalanya—memberitahuku agar mengikutinya masuk kedalam ruangan itu. Hal yang pertamakali kurasakan tentang ruangan itu—pengap dan berdebu, baru satu langkah memasuki ruangan, hidungku terasa gatal. “Hatsuuuuu!!” Terkejut, dokter Kafa menoleh kearahku. Wajahnya tampak aneh, meski sekilas aku melihat bibirnya terangkat tipis. Oh kampret, dia menertawakan aku. Segera ku tutupi hidung, tapi naasnya bersin sekali tidak berlaku untukku. “Hatsuuuu!!!” Segera ku seka hidungku yang mendadak gatal dan sedikit berair. Aku merogoh tas, mencari dimana letak tisu tapi tak kunjung menemukannya. Sebuah tangan tersodorkan padaku, sebuah saputangan putih dengan bingkai coklat muda. Ku pandangi dokter Kafa yang menawarkannya padaku dengan pandangan menelisik. “Pakai saja, disini memang banyak debu,” ucapnya datar. Ingat ya, apapun yang dilakukan dokter ini tidak serta merta mengubah ekpresinya yang seperti sudah di set ‘kaku’. Aku tidak langsung menerima saputangannya, mulutku yang tanpa sensor langsung menceletuk, “masih jaman ya, dok, pake sapu tangan gini?” Dokter Kafa tidak menjawab, tapi kulihat ekpresinya ‘kaku’ mirip triplek naik satu tingkat lagi. Aku masih merogoh tas untuk mencari tisu, tapi tetap tidak menemukannya. Astaga! Sebenarnya apa saja sih isi tasku ini, kenapa banyak sekali sampah tidak berguna. Menyerah, akhirnya aku mengambil saputangannya. Wajah dokter itu tampak tersenyum sinis, seolah dalam hati menertawakan aku. Ya memang aku juga sih yang nggak tau malu. Mencela tanpa tau diri lebih dulu. Gengsi? Kelaut aja, namanya juga kepepet butuh. Kugunakan saputangan itu untuk menyeka ingus, setelahnya hidungku terasa lebih nyaman. “Dok, saya bawa dulu ya, sapu tangannya. Besok saya kembalikan,” ucapku sambil melempar benda itu kedalam tas. Bukannya menjawab, Dokter Kafa sibuk membuka kotak-kotak kardus yang ditumpuk dekat rak kayu. Aku mengikutinya. “Dok, saputangannya saya kembalikan besok, ya,” kataku sekali lagi, kali ini kubuat nada semanis mungkin. “Ya. Kamu pakai dulu saja tidak apa-apa.” Ah, rupanya dia nggak tuli. Masih bisa menjawab pertanyaanku walaupun sekali lagi minim ekspresi. Aku akhirnya membuka daftar checklist-ku dan memulai pekerjaan kami agar segera selesai. berduaan dengannya seperti ini kalau kelamaan bisa membuatku keki mati gaya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD