Bab 4

1961 Words
Aku membuka kelopak mata dengan berat, mencoba meraih ponsel di nakas yang keukeuh membangunkanku sejak setengah jam yang lalu. Satu kata untuk benda itu, berisik! Aku membuka jendela kamar, membiarkan hawa subuh meregulasi udara pengap kamar yang digerakkan kipas angin semalaman. Percayalah padaku, udara paling segar dan enak di hirup selama aku tinggal di Ibukota Provinsi ini hanya dijam-jam seperti sekarang, saat subuh, menyongsong pagi. Another passing day, and here we go it’s Monday (again). Aku bukannya tidak menyukai hari Senin, pun mendambakan hari Jumat. Setiap hari dalam seminggu memiliki kedudukan yang sama karena aku juga melakukan rutinitas yang tidak jauh beda. Jika itu weekdays kemungkinan aku dijadikan pembantu koporasi, apabila weekends dijadikan babu. Mungkin pembantu korporasi lebih menyenangkan karena setidaknya aku dibayar untuk pekerjaan yang kulakukan, lah ini? Babu. Yeah, babu di rumah sendiri. Mana berani nodong uang dihadapan Ibu? Semakin kesini hari terasa semakin cepat seolah 24 jam tidak cukup untuk melakukan segala tugas termasuk istirahat. Seperti barusan, sepertinya aku baru tidur sepuluh menit belakangan, tapi ini sudah pukul 5 pagi. Tidur selama 6 jam bagaikan sekejap mata. Segera aku mencuci muka dan mengambil air wudhu. Setelah subuhan, aku menyirami tanaman gantung maupun rambat yang dibudayakan oleh Ibu dilantai atas ini merupakan tugasku. Kalau di-list daily routine yang harus kulakukan tidaklah banyak. Hanya menyapu, menyiram, mengepel dan membersihkan kamar mandi. Setelahnya aku tidak dituntut melakukan apa-apa, bahkan bila kamarku mirip kandang babi pun, Ibu tidak akan peduli. Dia malah akan menyanyi PadaMu Negeri kalau melihat bunganya mati karena layu kurang air. Kalau giliran mati karena dimakan hama, Ibu juga akan menyanyi Dari Sabang Sampai Merauke, segala sesuatu akan salah dimatanya walau itu bukan perbuatanku. Disini aku tau dari mana asalnya slogan ‘woman always right.’ Aku ingin memprotes, tapi Mbak Ine berkata padaku, 'you are woman too, Babe, but you’re left'—sambil terkikik geli. Tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikan pekerjaan rutin ini. Aku yang sudah terbiasa membuat kecepatanku meningkat. Setelah mandi dan bersiap-siap, aku menautkan diri didepan kaca. Seragam khaki yang terasa longgar menjadi alasanku untuk mengamati tubuh yang kian mengurus ini. Aku mendesah berat. Harusnya senang karena aku bisa diet tanpa usaha, tapi kenapa keringnya tubuhku ini seolah berbanding terbalik dengan beban pekerjaanku ya? Dilantai bawah Ibu sudah sibuk menyiapkan bekal di dapur. Kulihat Bu Wati—Mama Mbak Ine sibuk menggoyang tubuh Fahmi yang terkekeh bahagia. Tawanya seperti nyanyian merdu, membuat good mood di Senin pagi. Kemarin Bu Wati memutuskan untuk menginap di rumah—karena Elvin juga belum pulang. Mbak Ine berkata kalau dia tidak enak merepotkanku setiap malam karena aku juga masih bekerja pagi harinya. “Nggak sarapan dulu, Sab?” tanya Ibu saat aku melewati meja makan langsung menuju kulkas. Aku mengeluarkan sekotak stroberry milk, lalu memasukkannya kedalam tas. “Nggak usah Bu. Nanti aja. Masih mau apel pagi, terus lanjut ke Puskesmas. Mungkin nanti makan di luar," jawabku. Aku mencomot bakwan goreng yang masih panas dari atas serok, mengeringkan minyaknya menggunakan tisu sebelum melahapnya bulat-bulat. Aku menyeka tanganku dari minyak, mengambil sepatu heels 5 cm berwarna hitam dari rak. “Mbak, kunciku dimana?” tanyaku, menyadari kunci motor gantungan snoppy tidak ada ditempatnya. Mbak Ine muncul dari dalam kamar, lalu melemparkan benda itu pada diriku yang duduk di kursi kayu teras. “Thankyou.” Mbak Ine lagi-lagi mengekoriku yang masih mengeluarkan motor matic vario dari dalam garasi. Setelah kesusahan, aku menyetater motor, bersiap untuk berangkat saat Mbak Ine berceletuk, “eh, kemarin dapat salam dari Pak Dokter lho.” Aku menyernyitkan alis, siapa Pak Dokter? Perasaan tetangga sini nggak ada yang jadi dokter. Mentok mantri Puskesmas—yang sudah sepuh dan menunggu pensiun. Seolah membaca pikiranku, Mbak Ine menambahkan, “itu, yang kemarin meriksa si Fahmi. Pak Dokter Kafa, hehe.” Aku mengangguk-angguk mengerti. “Heh, disalamin bukannya dibales.” Aku memandanginya sewot, “Waalaikumsalam! Gitu aja ribet.” Oke. Aku tau, seharusnya aku nggak sinis pagi ini. Aku bahkan memiliki mood yang bagus setidaknya karena Fahmi nggak rewel. Tapi mendapat salam begitu saja dari manusia itu, kenapa membuat moodku terjun bebas seperti ini ya? Aneh! “Kenapa? Nggak masuk standartmu, ya? Lagian kok jadi aku yang kepo, bisa-bisanya dia nitip salam ke kamu, ya, Sab. Kalian emang ada apa-apa, ya?” Here we go... Jika diteruskan aku percaya kalau khayalan liar busui yang menjadi kandidat kuat salah satu admin lambe turah ini akan membuat masalah nantinya. Aku segera mengibaskan tangan, menghalau segala imajinasi yang dipaksakannya padaku. “Kalau Mbak kepo, kenapa Mbak nggak tanya dia aja sih. Lagian kenal aja nggak,” sahutku. Oke. Aku harus segera pergi, kalau nggak Mbak ku ini akan membuat senin pagiku berubah menjadi kelabu. Aku benci mood-ku dirusak sepagi ini—bahkan sebelum aku sempat sarapan. Membaca air wajahku, Mbak Ine mengangguk memahami. Aku segera berpamitan, melambaikan tangan sebelum meninggalkan halaman rumah. *** Setelah upacara, Pak Angga—Lurah, atasanku—segera menyuruhku untuk meeting di Puskesmas. Petinggi Puskesmas sudah menunggu kedatangan kami untuk membahas rencana penyuluhan kesehatan kepada warga sekitar. Meski bukan acara yang besar, tapi acara ini juga membutuhkan perhatian yang ekstra. Bahkan Pak Lurah dengan sengaja membebaskanku dari beberapa tugas yang seharusnya menjadi pekerjaanku ke orang lain agar aku bisa fokus mengurusi segala urusan perduniawi acara ini. Karena acara yang hanya tinggal menghitung dengan jari saja pelaksanaannya, aku jadi sering bolak-balik ke Puskesmas. Untung letaknya tidak terlalu jauh dari kantor kelurahan, hanya 10 menit naik motor, kalau tidak pasti tubuhku remuk dijalan karena berulang kali tertiup angin, terkena terik matahari, belum polusi kota, terlebih badan yang sudah kurus kerontang ini. Setelah mendiskusikan dengan rinci apa saja yang perlu untuk di-fix-kan hari itu juga, akhirnya aku bisa menghela nafas sedikit lega. Ya, walaupun besok dan lusa aku masih harus ke Puskesmas lagi untuk memastikan hal yang masih kurang. Kini kulihat jam tanganku menunjukkan pukul 14.25 WIB. Tidak heran kalau kepalaku agak berdenyut saat mengendarai motor menuju kantor. Sudah setelat ini dan aku belum makan siang. Di kantor kulihat Rama masih sibuk di depan layar komputernya. Ia sedang mengerjakan dokumen yang biasanya ditugaskan Pak Lurah padaku. Melihat beban kerjanya bertambah, membuatku sedikit simpati padanya, catat, hanya sedikit saja. “Ram.” Aku berdiri didekat kursinya, menggeser benda itu agar ia mengalihkan fokusnya padaku. “Hm,” jawabnya singkat. Dengan jurus wajah melas, aku mengajaknya makan. “Yuk, temenin makan, Ram. Aku belum sempet sarapan tadi, perih banget ini lambung.” Rama bukan orang yang mengenalku masih satu dua hari. Mendengar lambung disebut ia langsung bangkit, ditambah ngomel-ngomel pelan ala Ibu. “Kamu ini udah tau punya maag tetep aja bandel gak mau sarapan! Terus makan siang juga telat pula!” Ia berjalan terlebih dulu menuju koridor, tak lupa mampir keruang kesehatan untuk mengambil obat maag yang tersedia disana. Aku mengikutinya dengan lesu. Kalau disaat yang seperti ini aku malas menjawab omelannya yang tidak penting. Di kantin, Rama langsung memesan teh manis anget untukku. Tak lupa semangkuk soto kesukaan kami. Dari pesanannya aku merasa dia sudah makan siang tadi karena dia tidak memesan apa-apa. Ku biarkan Rama duduk didepanku. “Nih, makan dulu obatnya!” ucap Rama memberikan satu tablet obat maag padaku. Aku menerimanya dan langsung mengeremus dengan gigi. Tidak lama teh anget diantarkan lebih dulu. Meski sudah lewat jam makan siang, karena kantin ini juga bisa diakses oleh khalayak umum jadi masih cukup ramai. Beberapa tukang becak, ojek online suka makan siang disini. Biasanya kalau siang jam makan siang kantin akan ramai—saat itu pula kami bisa bertukar informasi seputar masyarakat sekitar. Pekerjaan sebagai pelayan publik membuat kami haru aware dengan keadaan masyarakat, setidaknya memahami isu-isu dan masalah yang terjadi dilingkungan sekitar. “Udah berapa persen persiapannya emang?” tanya Rama selagi membuka bungkus krupuk diatas meja. “Mungkin 65%” jawabku sedikit meragu, “masih ada beberapa obat dan vaksin yang masih nunggu stok dari pusat. Padahal tinggal sebentar lagi, nggak tau lagi deh gimana maksudnya.” Rama mengangguk paham, suara kriuk-kriuk gesekan antara krupuk dengan gigi memenuhi kesunyian kami. Tidak lama setelah itu, semangkuk soto panas sudah disajikan. Aku mengambil sendok, meniupi nasiku sebentar sebelum menyuapkannya dalam mulut. Saat aku menikmati makananku, kulihat Rama asyik memainkan ponselnya. Ia tampak tersenyum geli sesekali mengetikkan balasan disana. Suara ‘centung centung’ terdengar beberapa kali, menandakan balasan dari WhatsApp. Aku sedikit melirik, ingin tahu. “Girang banget, WhatsApp-an sama siapa emang?” tanyaku penasaran. Rama menunjukkan layar ponselnya padaku, sebuah room chat pribadi antara dia dan seorang wanita. Lagi. Aku menggeleng tak percaya. Masih belum 3 hari sejak dia bercerita tentang ‘who’s know her name’ tapi sekarang dia sudah beralih pada ‘another woman’. “Bisa ya. bukannya ada yang namanya masa berkabung ya kalo barusan putus itu?” Rama terkekeh, ia menutup room chatnya. Pandangannya kini sepenuhnya padaku, “Ya emang ada. Kan ini cuma kenalan baru.” Aku memutar bola mata sambil gedek saat mendengar ucapan Rama itu. ‘Cuma kenalan baru’ yang sebentar lagi akan bergelar someone special-nya. Siklus hidupnya sama, lagunya itu-itu saja. Nggak heran. Rama itu tipe ‘player’ yang nggak sadar kalau dia itu ‘player’. Mungkin waktu putus, hari pertama dia akan bete. Namun, kesedihannya tidak pernah bertahan lama. Seperti sekarang ini. Saat datang seseorang yang baru, hatinya—yang katanya membuat hatinya sakit dan patah, but then always open wide for another woman. Aku nggak yakin kalau dia itu pernah benar-benar sakit hati sama wanita—mantan pacar atau gebetannya. “Tau nggak kenalan dimana?” Aku tidak berniat menanggapi, tapi Rama yang bersemangat cerita padaku. “Waktu di parkiran rumah sakit kemarin. Pas sore. Aku nggak sengaja ketemu dia pas di lobi—dia perawat yang lagi jaga. Pas sore eh kita ketemu lagi, aku bantuin dia ngeluarin motor gara-gara pakir yang berantakan. Eh malah tukar kontak gini.” Rama berceloteh panjang lebar dengan wajah yang berseri. “Jadi mendadak tukang parkir jadi cinta gitu?” tanyaku. Rama tertawa, “yaelah, nggak elit banget sih. Ya jangan bilang tukang parkir gitu dong. Kayak judul FTV aja sih!” Hawa panas yang mengepul dari soto juga teh hangat didepanku ini mendadak membuatku terasa gerah. Tubuhku perlahan mengeluarkan bulir-bulir keringat. Hawa Surabaya selalu sepanas ini. Meski sudah berada di ruangan terbuka—lengkap dengan kipas angin disetiap sudut sama sekali tidak membantu. Angin saja terasa panas disini. Aku mengipas-ngipaskan tangan, untuk menghalau panas yang tiba-tiba melandaku. “And then...” sahutku saat kudengar ia tak bersuara. “Wait, just a moment. Dia barusan kirim aku PAP dong!” pekiknya girang selagi menunjukkan layar ponsel yang menampilkan wajah perawat itu. Seorang wanita dengan kerudung dan kacamata bingkai hitam yang membingkai wajahnya yang terlihat kotak. Make upnya terlihat tipis—lebih manis daripada pacarnya yang terakhir menurutku. Aku mengangguk-angguk. “Gercep banget udah PAP PAP-an.” Rama tak menghiraukan aku, dia sibuk mengetikkan balasan. Aku menggeleng. Soto yang masih tersisa separo tidak lagi menggugah seleraku. “Eh sorry, kamu tadi bilang apa, Sab?” tanya Rama saat ia meletakkan ponselnya. Belum sampai aku membuka mulut, layar gelap itu kembali mengeluarkan pop up tanda chat masuk. “Yuk balik ke kantor. Kalo prajuritnya hilang kelamaan nanti Bu Susi ngamuk-ngamuk.” Ajakku saat berjalan menuju kasir untuk membayar pesananku sekalian krupuk Rama. Aku langsung melenggang keluar kantin, mengabikan Rama yang masih kegirangan duduk di kursinya belum beranjak. “Ayo woy!” ajakku lebih keras. Ia mengantongi ponselnya, lalu berjalan sambil merangkul pundakku. “Elah, kucel banget buk, habis makan soto juga. Senyum dong, biar cantik!” Aku memutar mata mengabaikan omongannya yang ngalor-ngidul. Yeah, mungkin kalau beneran cantik kayak yang dibilang Rama nggak mungkin aku jomblo kali ya. Ya, mungkin, aku aja yang nggak mau pacaran. Ah entahlah, omongan semacam ini benar-benar basi ditelingaku, sudah kelewat tanggal kadaluwarsa! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD