Bab 3

1613 Words
Malam Minggu Merana. 3M yang beberapa waktu ini terus dikeluhkan oleh Rama yang masih bersenderan manja di sofa ruang tengah. Ia sejak sore tadi terus mengeluh, mengajakku agar mau menonton air mancur menari di pesisir kota sebelah utara—daerah kenjeran. Tentu saja aku menolaknya, aku bukannya perempuan, cewek, atau apalah itu yang masih kecil, yang akan terhibur hanya dengan melihat pertunjukan air mancur dengan highlight warna-warni semacam itu. Sungguh keinginan yang kekanakan! Kalau saja ia mengajakku ke mall atau setidaknya nonton di bioskop, mungkin aku masih akan menemaninya, tapi ini? Nonton pertunjukan air mancur?! Hei ingat umurmu, nak! Aku berulang kali menyuarakan ketidaksetujuanku—sebanyak ia menawariku. Ibu yang merasa kasihan padanya, malah menyuruhnya makan nasi berkat, bingkisan yang diperoleh sepulang pengajian. Aku gedek saat mendengar mulutnya berkata tidak—disisi sebaliknya–mulut  itu juga yang melahap habis makanan itu tanpa bersisa. “Mbok ya ditemani, kasihan dia klimprak klimpruk (duduk tidak berguna) disini gini. Lagian sambil nonton kan ya, le?” Aku berdecih saat mendengar Ibu membelanya lirih. Aku memandang Rama dengan sengit, dasar manusia tidak tau malu. Ibu yang seharusnya membela anak kandungnya yaitu aku, kini malah berpihak karena wajah melasnya. Bukannya takut karena aku sudah mengeluarkan tatapan membunuh, Rama malah nyengir kuda merasa dibela. Sableng ini anak. “Nggak papa, Tan. Kayaknya aku tau kenapa Sabrina nggak mau diajak kesana,” kata Rama menenangkan Ibu. Ibu yang mulanya tidak tau apa-apa menjadi sedikit penasaran, “Lha opo o ta le (kenapa begitu nak)?” Aku yang didapur hanya bisa samar-samar saja mendengar percakapan itu. Tapi aku sudah tau jelas, akal bulus Rama yang hendak menghasut ibu dengan cerita jenakanya. “Ya gitu, Tan. Si Sabrina nggak mau KSWW. Soalnya pernah diajakin kesana sama mantan pacarnya!” Aku yang sedang meneguk air mineral langsung terbatuk mendengarnya. Astaga, fitnah ini berlebihan! Segera kubawa gelasku yang masih berisi air kehadapan mereka, aku menyepakkan kakiku pada tubuhnya yang bersandar di bawah sofa. “Jangan ngaco ya kalo ngomong!” ucapku sebal. Rama mendengus kesakitan menerima tendangan kakiku. Tidak hanya itu, aku segera turun tangan. Satu-satunya kekurangan Rama yaitu dia tidak kuat geli. Aku menggelitikinya sampai ia minta ampun. “Opo ta iku, KSWW?” tanya Ibu yang akhirnya berhasil menghentikan pembalasan dendamku. Aku menghela nafas panjang. Rambutku yang tadinya kukuncir kuda rapi, kini sudah tidak beraturan bentuknya. Sama halnya dengan rambut Rama yang tadinya turun rapi menjadi berdiri dan acak-acakan. Yeah, we do it. Kita sama-sama bergulat saling menggelitik dan menjambak. Mungkin orang lain akan mengira ini ‘another kind of affection’. Tapi yang jelas keluargaku tidak. Rama yang hampir menghabiskan waktunya—sejak SMA, kuliah sampai kerja disini sudah mirip anak ketiga Ibuku. Yeah, aku anak keduanya, yang pertama Elvin tentu saja. Jadi mereka santai saja. Kadang aku sampai menangis karena Rama yang menggodaku hingga aku benar-benar merasa benci pada siapapun yang ada dirumah ini—karena membelanya. Merasa kasihan karena tidak ada satupun yang berpihak padaku. Sungguh kedatangan Rama benar membuat kedudukanku semakin goyah. “KSWW itu, Kelingan Sing Wes-Wes (teringat yang sudah berlalu) Bu...” sahut Mbak Ine yang rupanya ikut menyimak dari dalam kamar. Mbak Ine keluar dengan Fahmi yang terlihat melek di gendongannya. Aku melihat ibu ber oh ria meski tidak yakin beliau paham makna sebenarnya. Yah biarkan saja, yang penting Ibu senang kan? Fahmi yang bergerak-gerak membuat Rama tertarik. Ia segera membawanya kedalam pelukan. Mbak Ine duduk di sofa sebelah Ibu, sedang Rama berkeliling ruangan mengajak Fahmi untuk mencari cicak. Dikira Fahmi akan tertarik gitu? Mana dari tempatku duduk, aku bisa mendengar Rama menyanyikan tembang ‘cicak cicak di dinding’ dengan suara cemprengnya. “Ah brisik Ram!” protesku, suara sumbangnya benar-benar tidak bisa diterima oleh telingaku. “Kamu lho, bengak bengok (teriak-teriak). Udah malam ini, mbok ya (tolong), jangan berisik,” gantian Ibu yang memarahiku. Kan? Patut dipertanyakan, disini aku atau Rama yang anak kandung? Mbak Ine hanya terkekeh geli ditempatnya, tidak berniat untuk menambahi. Ia mengambil toples berisi kacang mente yang tadinya ada digenggamanku. Bu sui itu menyemili kacang dengan lahap selagi melihat audisi dangdut yang sedang ditayangkan di tv. Cukup tau saja, ibuku penggemar genre musik ini, karena ingin bergumul di ruang tengah jadilah kami mau tidak mau mengikuti seleranya. “Emang sama mantan yang mana si Sab, kamu jalannya ke Kenjeran. Lagian Kenjeran banget Sab... Sab.” Kan. Bisa kudengar Rama yang terkekeh di sana selagi menggumamkan tembang entah apa itu pada ponakanku, sedangkan kakak iparku sama sekali tidak membantu. Ia malah menambahkan garam diatas luka. Kakak ipar jahat! Aku mencoba tidak menggubris, tapi Ibu lagi-lagi meresponnya. “Nah ya, mantanya Sabrina enek pira (ada berapa) sih, Ne?” tanya Ibu ingin tau. Alamak! Rama yang tadinya terkekeh pelan jadi tertawa. Mbak Ine? Tentu saja sama. Mereka memang perpaduan klop lambe-lambe turah yang ada dirumah. Oke. Aku nggak ada teman, tapi banyak lawan. Merasa tidak ada gunanya—karena menjawab pun tak akan merubah apa-apa—akhirnya aku memilih untuk bangkit. Menikmati hawa kekalahanku dengan menyeret kaki masuk kedalam kamar. Sebelumnya, kucuri sebuah ciuman pada pipi Fahmi yang membuat anak itu memberontak tak nyaman yang membuat Rama harus menenangkannya. Rasain! Aku segera masuk kedalam kamar. Menyalakan speaker wireless merk JBL yang baru ku beli lewat shopee waktu promo bulan kemarin. Lumayan, gratis ongkir mana diskon pula! Aku memutar lagu korea favoritku. Tidak lama terdengar lagu KPOP hits tahun ini. Aku tidak tau lirik awal-awalnya, tapi aku hafal bagian reffrain nya. It goes down down baby Rideume onmomeul It goes down down baby Matgigo sorichyeo Oh oh oh urin Oh oh oh We going ko ko bop Aku menggoyangkan badan mengikuti irama. Se bodo amat deh dengan 3M yang dikatakan Rama tadi. Toh aku happy-happy saja. Contohnya ini, menikmati lagu korea yang kebanyakan aku tidak tau artinya, tapi gerakan dan iramanya syahdu diikuti. Lalu kini lagunya beralih, lagu yang pernah populer dijamannya—meskipun kini sedang hiatus karena banyak anggotanya yang sedang menjalani wamil—dan kegiatan individu lain. judul yang membuat good mood tiap kali mendengarnya, Good Person milik Super Junior mengalun mengisi ruangan kamarku. Niga useumnyeon nado joha, neon jangnan nira haedo Neol gidaryeotdeon nal, neol bogo shipdeon bam Naegen beokchan haengbok gadeukkhande Naneun honja yeodo gwenchanha, neol bol suman itamnyeon Neul neoye dwiyeseo, neul neol bara boneun geuge naega gajin mokshin geoman gata Merasa pemanasan cukup, aku mengganti lagunya lagi, kali ini dengan lagu barat favorite ku. It’s My Life, Bon Jovi. It’s my life its now or never But i ain’t gonna live forever I just want to live while i’m alive (Its my live) My heart its like an open highway Like Frankie said, “I did it my way” I Just want to live while i’m alive Its my live Setelah puas bernyanyi dan menggerakkan tubuh, aku menyetel lagu yang lebih slow selagi membaringkan tubuhku di tengah kasur. Dan yang terputar adalah lagu Innocence, Avril Lavigne. Sesungguhnya ini random playlistku, jadi aku tidak tau lagu mana yang selanjutnya diputar. Tapi bait pertama lagu ini mengingatkanku tentang kenangan jaman SMA yang sesungguhnya mulai pudar—tapi malah semakin membekas. This inoocence is brilliant, I hope that it will stay This moment is perfect, Please don’t go away I need you now And i’ll hold on to it, don’t you let it pass you by Kenangan itu... (flash back) Dengan wajah yang bersemu malu, aku mengantarkan sepucuk amplop berwarna merah jambu dengan pita biru. Anak rambutku tertiup angin yang berhembus samar-samar dibawah pohon beringin rindang yang ada didekat perpustakaan. Dihadapanku sekarang, seorang anak laki-laki dengan buku tebal mirip ensiklopedia ditangan, pun kacamata yang melorot hingga ujung hidungnya yang mancung. Aku menyodorkannya, surat yang ku tulis sepenuh hati, pertama kali dalam hidupku, pada orang yang pertama kali bisa menggetarkan hatiku. “Terimalah ini surat ini!” suaraku bergetar yang bergetar, berusaha meredam degup jantung yang berusaha untuk diredam, berusaha menyembunyikannya. Tanganku yang menggantung tak kalah bergetar, lebih parah dari suara yang mungkin terdengar lirih karena terbawa angin. Satu detik, dua detik, hingga lima detik surat itu tak kunjung diterimanya. Apa dia tidak ingin menerimanya? Apa hal ini terlalu kekanakan untuknya? Apa dia malu karena amplop merah jambu yang dipilihnya? Apa mungkinkah ia tidak menyukai hal seperti ini? Mungkinkah ia akan membencinya setelah ini? Berjuta-juta pertanyaan menyembul dari kepalakuu, berdesakan ingin didengar—untuk diungkapkan. Tapi aku tak ingin merusaknya, aku berusaha keras menggigit mulut bawah, agar tak satupun dari pertanyaan itu yang akan terlontar dari bibir tipisku. Aku mendongak perlahan. Ini kali pertamanya aku bertatapan langsung dengan laki-laki ini dengan jarak yang dekat. Biasanya yang aku lakukan hanya mencuri pandang malu, kala laki-laki itu berjalan melewati kelasnya hendak bermain bola, atau sekadar menyapa teman sekelasku untuk diajak ke mushola. Aku ingin menyapa saat-saat itu, tapi mengurungkanya, tak sampai hati bila sapaanku hanya akan menjadi caci maki teman-teman sekelas. Tak dinyana, kini aku berkesempatan menatapnya terang-terangan. Detik-detik yang singkat ingin bagaikan slow motion yang bergerak sangat lambat, lekat, dan aku merekamnya dengan sepenuh hati. Rasanya tatapan itu sama menelisik seperti milikku, saling berpandangan sejenak seolah dunia berhenti berputar saat itu. Hanya aku dan laki-laki itu. Laki-laki itu di mataku, dan pantulan diriku di matanya. Lalu aku bisa melihat tangan laki-laki itu meraih suratnya, menggenggam hatiku, sepenuhnya. Dengan wajah bersemu merah yang siap untuk meledak kapanpun juga, aku tersenyum lalu berlari meninggalkan beringin dimana laki-laki itu masih berdiri ditempatnya. Untuk pertama kalinya aku merasa telah memeberikan hati pada orang yang tepat. Setidaknya untuk saat itu. Dalam hati aku berjanji akan selalu menyimpannya, dalam hati, rapat, dan selamanya. (flashback end) Dan sekali lagi hatiku terasa perih, bersamaan dengan perasaan hangat yang mengobati. Seperti racun, berikut dengan antidotenya. Perasaan ini kembali menggerogoti hatiku, sekali lagi.    ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD