Bab 2

1970 Words
Mbak Ine menjelaskan ruam yang dialami yang dialami Fahmi. Dokter itu melihat dengan simpati ruam kemerahan yang ada di tubuh bocah yang baru berusia setahun itu. Aku hanya bisa mengamati keduanya dalam diam, lebih tepatnya karena linglung. Sedari tadi lonceng terus terdengar ditelingaku. Aku sibuk untuk menenangkan diriku sendiri. Berusaha untuk kembali menggapai daratan. Oke, aku pusing dan bingung. Segala obrolan itu tidak terdengar sama sekali ditelingaku. Segera saat aku menyadari kalau aku diajak bicara, sepertinya obrolan tentang ruam itu telah selesai. “Karena sudah pernah diberikan salep, sepertinya harus di cek darah supaya tahu penyebab penyakitnya, ya Bu.” ucap dokter itu, tetap kalem dan ramah. Aku lupa sejak kapan wajah dingin yang pernah kuingat ini berubah menjadi seperti itu. Aku yakin, dulu dia tidak tau caranya tersenyum. “Iya, Dok.” jawab Mbak Ine. Ketiganya, Mbak Ine, perawat, dan si dokter bekerja sama untuk mengambil sampel darah Fahmi. Aku membantu Mbak Ine, berjaga-jaga kalau Fahmi ‘berulah’. Tapi setelah berhasil mengambil darahnya, Fahmi hanya menangis. Suara tangisanya mengisi ruangan. Perawat segera memberikan sampel darah pada perawat lain yang berjaga. Aku mengeluarkan mainan gemercing untuk Fahmi, sepertinya tidak membantu karena mainanku hanya membuat ruangan semakin bising. Aku menatap Mbak Ine pasrah, “kayaknya haus dia.” ucapnya. Si dokter mempersilahkan agar Mbak Ine menyusui Fahmi diruang busui. Perawat mengantarkannya kesana. Aku baru saja hendak mengekor Mbak Ine saat dokter itu mengentikanku. “Eum, maaf.” ucapnya tiba-tiba. Aku berbalik, kami saling bertatapan. Aku merasakan gelanyar aneh, tidak mungkin kan kalau dia mengenaliku? “Sebenarnya saya hanya ingin bilang kalau kamu bisa menunggu disini. Saya tidak punya jadwal pasien lain lagi. Tentu saja kalau kamu tidak merasa keberatan.” ujarnya kemudian. Aku masih menelusuri ekspresi ‘ramah-tamahnya’. Ia tidak tersenyum berseri seperti saat berinteraksi dengan Mbak Ine tadi, tapi tidak juga datar tanpa ekspresi. Hanya saja wajah ini, seperti asing dimataku. Aku mengurungkan niat untuk mengekor Mbak Ine, lagi pula kalau aku keluar pasti tersesat. Karena menunggu dokter itu bicara, aku kehilangan beberapa detik. Aku kembali duduk ditempatku. Fokusku kualihkan pada kotak mirip mug berisi alat tulis yang didesain berbentuk jerapah. Sungguh lucu. Aku jadi ingin tanya dia beli ini dimana. “Kamu, saudaranya Bu Ine, ya?” Aku tidak menyangka kalau dia mengajakku bicara terlebih dulu. Meski sudah tidak melihat wajahnya—karena ia bersembunyi lagi dibalik layar, tapi aku bisa mendengar dengan jelas suaranya di ruang sunyi ini. “Ya. Adik iparnya.” terangku. Tidak ada kalimat lagi, hanya deru AC yang sudah bekerja keras bertahun-tahun seakan memproteskan haknya untuk pensiun. Mungkin hanya benda itu yang terasa tidak kompatibel dengan ruangan ini. “Kalau boleh tau, darimana asalnya? Rumah?” Aku menyernyitkan dahi, aku tau ini hanya basa-basi biasa, tapi seingatku dulu dia bukan tipe penyuka bahasan remeh seperti ini. Seingatku, kalau tidak ditanyai hal penting dia tidak akan mengatakan apapun. Ya, semahal itu suaranya! “Deket sini aja kok, Dok, di perumahan Kebonsari Elveka.” terangku padanya. “Oh berati masih sekitar sini. Rumah saya juga dekat sana.” aku dokter itu. Aku mengangguk-angguk tau. “Sekarang sibuk apa?” Kenapa aku merasa seperti disensus sih? Kenapa dia tanya-tanya seperti ini, annoying. Aku tidak segera menjawab, fokusku teralihkan pada benda dengan desain marsupilami yang ada dimeja kerjanya. Mataku membulat sempurna, “mug marsupilami imutnya...” ucapku tanpa terkendali. Ia sempat tidak mendengar ucapanku saat kulihat ia melengokkan kepalanya. Ia menatapku dengan aneh. “Itu, maksud saya mug marsupilami. Kalau boleh tau dimana ya membelinya?” tanyaku penuh harap. Aku pecinta marsupilami, hewan bertubuh kuning dengan ekor panjang yang biasa ia gunakan seperti peer. Aku sudah memiliki banyak benda dikamarku yang berbentuk sepertinya, jam dinding, boneka, pernak-pernik lainnya. Tapi aku belum pernah tau kalau ada mug nya, dan benda itu terlihat unyu sekali astaga... Dia mengikuti arah pandangku saat melihat aku sedang menatap mug nya. “Oh ini, hadiah dari Kakak saya. Dia beli saat berada di Disneyland HK sepertinya. Kamu juga suka marsupilami?” “I guess I'm,” jawabku menatap nanar benda itu. Kalau belinya saja harus ke Hongkong, sepertinya pupus sudah harapanku. Tidak mungkin kan kalau aku minta satu-satunya koleksi ini ke orangnya langsung? Betapa tidak tahu malu diriku. Ia terkekeh, “kalau benar-benar menginginkannya, sebenarnya saya punya satu buah lagi dirumah. Kakak saya membelinya sepasang.” “Really? Can I?” tanyaku menggantung penuh harap. Ia tidak menjawab, hanya memandangku seolah menilai. Oh ayolah, kenapa dia menjadi menyebalkan ini. Kenapa dia harus memberiku harapan kalau hanya akan menolakku. Bukannya aku tidak sadar kalau benda itu pastilah bernilai, selain limited edition juga kenangan yang terkandung didalamnnya. Tapi, dia sudah membuatku berharap dan itu menyebalkan. "Well, if you just want to turn me down, at least you shouldn't make me hope at beginning, right?” Ia sepertinya merasakan perubahan dari bahasa yang kugunakan karena saat ia hendak menjelaskan lebih lanjut, Mbak Ine sudah kembali dengan perawat. Kini Fahmi tampak tidur dipelukan Mbak Ine. Mbak Ine duduk disebelahku, aku menghela nafas. Seperti membaca suasana hati, Mbak Ine melemparkan pandangan penasaran. Aku hanya menaikkan pundakku. “Hasil lab akan keluar 2 jam lagi. Jadi bisa ditunggu atau ditinggal...” kalimat dokter itu menggantung, “saya tidak ada jadwal periksa lagi selain ada emergency...” kalimatnya masih menggantung saat tiba-tiba pintu ruangannya diketuk. Seorang perawat masuk kedalam ruangan, “Dok, ada pasien emergency.” Mbak Ine tersenyum maklum, ia dan aku berpamitan untuk meninggalkan ruangan. 2 jam ini sepertinya aku akan memilih untuk pulang saja dan Mbak Ine setuju. Fahmi tidak nyaman tidur seperti ini. Kami memutuskan pulang. “Kalau begitu, sampai ketemu nanti, Dok.” “Ya.” “Terimakasih.” Mbak Ine berpamitan, aku mengekorinya meninggalkan ruangan dengan perasaan sebal karena sesingkat itu aku merasa di PHP olehnya. *** Rama menunggu kami diluar ruangan, ia tampak asik bermain ponsel untuk membunuh waktu saat aku menyenggol lengannya agar ikut bergerak. “Udah selesai?” “Masih di cek darahnya. Nanti balik 2 jam lagi.” sahutku pada akhirnya. “Oh.” hanya itu balasan manusia ini. Memang, kalau sudah dihadapan pada ‘game’ dia juga bisa jadi laki-laki bodoh yang sepenuhnya gagu kalau diajak bicara. Seperti ada malfungsi yang ada diotaknya. Respon yang dikatakan tidak jauh dari kata, ‘apa, oh, tidak, dan ya.’ Mbak Ine duduk disebelah Rama, “tadi ngomong apa aja kamu Sab pas Mbak lagi nyusu?” tanya nya penasaran. Aku lupa, manusia yang menjadi kakak iparku ini mantan jurnalis suatu majalah—sebelum menikah dengan Elvin. Tentu saja rasa keponya tentang sesuatu sudah mendarah daging ditubuhnya. Dan yang aku tidak mengerti, kenapa ia harus bertanya langsung ditempat ini, sekarang, didepan ruangan yang bersangkutan. “Kenapa? Sabrina ngomong apa Mbak emangnya?” Nah, ini manusia kepo lainnya. Apa aku sudah pernah cerita, kalau si Rama ini cerewetnya, keponya bisa mengalahkan ibu-ibu yang sedang belanja di tukang sayur keliling? Nah ini dia, seperti ‘tumbu oleh tutup’ sifat Rama dan Mbak Ine saling melengkapi. “Nggak tau, makanya kepo. Kayaknya mereka bisa ngobrol akrab gitu tadi.” aku Mbak Ine. Aku menyernyit, dari mana Mbak Ine mendengar percakapan kami? Bukannya tadi dia keluar ruangan ya. “Tunggu bentar...” Rama mengumpatkan sesuatu, sebelum akhirnya terdengar suara ‘victory' dari ponselnya. Ia memenangkan permainannya selagi memandang kearahku dan Mbak Ine bergantian. Fokusnya sudah sepenuhnya, ia merasa sudah siap untuk melanjutkan jejak pendapat. “Dia akrab Mbak, sama Dokternya? Kok bisa?” tanya Rama. Alih-alih menjawab, Mbak Ine hanya mengendikkan bahunya. “Tunggu, kayaknya aku pernah tau nama ini deh.” Aku langsung berdiri saat Rama menunjuk plakat nama yang ada didepan ruangan. Aku menarik lengan Rama dengan paksa, menyuruhnya agar segera bergerak. “Ram, pulang aja yuk. Sejam bisa buat tidur di rumah.” “Oh gitu?” tanya Rama, beralih pada Mbak Ine yang juga menganggukkan kepala. “Oke deh, tunggu di depan aja, aku ambil mobil diparkiran dulu.” Rama pamit sebelum menghilang dari pandangan kami. Aku kira bisa menghembuskan nafas lega untuk sementara karena sepertinya Rama dan Mbak Ine sudah melupakan pembicaraan ini. Setidaknya untuk sekarang mereka tidak menuntut penjelasan padaku. *** Rama mengantarkan kami kembali ke rumah. Sepertinya acaranya ‘entah apa itu’ dibatalkan, jadi dia tidak punya acara sepanjang sore ini. Rama memilih untuk berselonjoran main game di ruang tengah selagi aku menamatkan drama korea favoritku. Ibu tadi pamit hendak pengajian di blok sebelah dan baru akan pulang nanti sehabis magrib. Sekalian arisan katanya. Mbak Ine masih mengurusi Fahmi dikamar. Pukul 3 sore, Mbak Ine keluar kamarnya. Pakaiannya sudah rapi, seolah siap hendak kembali ke Rumah Sakit, aku segera bangkit. “Sekarang Mbak?” Mbak Ine mengangguk, tapi wajahnya sedikit ragu, “Tapi Fahmi masih tidur, nggak enak banget kalau dibawa, ntar kebangun lagi.” “Jadi ditinggal aja?” “Kalau tinggal tes darah bukannya tinggal ambil resep aja ya?” “Ya iya sih Mbak.” akuku, aku juga tidak tau prosedurnya. “Ya udah kamu di rumah aja, Mbak aja sendiri deh.” “Eh nanti kalau Fahmi bangun gimana dong?”  “Nggak, nggak. Mbak bakalan cepet aja. Lagian ada susu nya yang Mbak pompa di freezer, tinggal masukin ke microwave. Bentar doang, ya, biar nggak ribet bawa-bawa juga.” Aku mendesah, menurut saja deh. “Oke, jangan lama-lama ya, Mbak.” pesanku. Mbak Ine baru akan mengeluarkan motor saat aku teringat tentang cecunguk yang hanya bermain di dekat kakiku. Segera ku goyangkan tubuhnya, “Heh, anterin Mbakku dong, dari pada jadi gombal muliyo (barang tidak berguna) disini juga.” Rama mendongak, melihat Mbak Ine yang kesusahan mengeluarkan motor, ia dengan sigap membantu. “Sama aku aja Mbak.” “Nggak repot?” Rama menaikkan pundaknya, “Yaudah, pake motor aja ya biar cepet, nggak ribet juga parkirnya.” ujar Mbak Ine. Rama mengacungkan jempolnya. Tidak lama dua manusia itu sudah menghilang dari halaman rumah. Aku segera masuk ke kamar Fahmi, siap siaga kalaupun bocah itu bergerak. Aku tidak bisa membiarkan titah Mbak Ine dikecewakan begitu saja kan? Sepuluh menit pertama, bocah itu bergerak gelisah. aku menepuk tubuhnya pelan, mencoba untuk mengantarkannya kembali tidur. Lima menit kemudian ia bergerak lagi, kali ini disertai dengan tangisan lirih, aku menepuk tubuhnya lagi, dan well, dia berhasil melanjutkan proses ‘pertumbuhannya’. Bukankah bayi tidur untuk mempercepat pertumbuhan ya? Tapi sepertinya hal itu hanya berhasil di lima belas menit pertama saja, karena setelahnya aku menepuk tubuhnya, bocah itu malah menangis keras. Buru-buru aku mengangkat tubuhnya, menggendong dan mengayun-ayunkan—seperti Mas Elvin dan Mbak Ine yang sedang menenangkannya, tapi walaupun sudah kugendong dan menggerak-gerakkannya, ia masih menangis nyaring. Rasanya aku dilanda kepanikan mendalam! Aku bergegas menuju kulkas, memasukkan dengan sembarangan sebotol kaca berisi susu ke dalam microwave. Setelah sesaat aku segera mengeluarkannya. Aku lupa kalau seharusnya aku memanaskannya tadi, dan tidak sekarang karena sekarang pasti susunya terasa sangat panas. Aku yang panik membawa Fahmi keliling ruangan, untung saja tangisnya reda saat aku mencoba menggendongnya seperti Mbak Ine tadi malam—shoulder hold. Bisa kurasakan perlahan nafasnya teratur, ia mulai nyenyak. Astaga, aku ingin menangis saja rasanya, untung Fahmi bisa tidur, kalau tidak aku sudah tidak tau lagi apa yang kulakukan. Wajah tegangku perlahan mereda saat kulihat motor Mbak Ine masuk garasi. Tidak lama Mbak Ine disusul Rama masuk kedalam rumah. “Nangis?” Aku mengangguk. Mbak Ine segera menuju kamar mandi untuk cuci tangan sebelum mengambil alih Fahmi dalam pelukannya. “Kayaknya pengen nenen Mbak, tadi telat manasin susunya, jadi ya...” sesalku. Mbak Ine mengangguk paham, ia membawa Fahmi ke kamar untuk menyusuinya. Aku memandang Rama yang tampak takjub dengan kelakuanku ini, “Apa lihat-lihat?!” bentakku. Bukannya takut, Rama malah memasang wajah usilnya, “ternyata, singa bisa juga nenangin bayik. Nggak nyangka, udah siap aja nih kayaknya, buat bikin sendiri...” tanyanya menggantung sambil menaik turunkan alisnya. Aku segera memukul wajahnya menggunakan bantal duduk dan menyuruhnya untuk diam. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD