"Udah ngantuk belum, Nar?" tanya Narendra dari sambungan telepon video.
"Lumayan."
"Ya udah tidur aja, deh, biar nggak sakit."
Kinara mengangguk dan melambaikan tangan. Bibirnya didekatkan ke layar seolah-olah memberi ciuman selamat malam pada Narendra. Begitu pun pria di seberang, ia melakukan hal serupa.
"Nar, jadi keluar nggak, nih?" teriak seseorang.
Suara itu terdengar dari luar kamar.
Kinara menyibak selimut, lalu turun untuk membuka pintu. Ia membenahi rambut yang berantakan karena rebahan tadi. Kinara menyanggul asal rambutnya.
Di depan pintu terlihat ketiga pramugari lain berdiri. Mereka terlihat mengenakan gaun mini. Aroma parfum pun menyeruak.
"Gue mau tidur aja kayaknya, deh."
"Elah nggak asyik banget lo, Nar!"
"Tau, lagian besok terbang siang," timpal yang lain. Mereka berharap Kinara ikut ke kelab malam untuk bersenang-senang. Sudah bukan rahasia lagi, para pramugari memang senang menyisihkan waktu demi pengalaman indah di tempat-tempat yang disinggahi.
"Gue udah pamit tidur tadi, masa pergi?"
"Pamit sama siapa? Kapten? Dia aja ngeluyur."
"Bukan."
Ketiga pramugari yang menunggu merasa tak sabar, lalu bermaksud menyeret Kinara. Tiba-tiba dari arah lift tampak Mario sedikit terburu-buru menuju ke arah mereka. Ketiga pramugari itu pun akhirnya melepaskan tangan Kinara. Apalagi saat mata pria berambut cepak layaknya tentara itu menatap ketiga pramugari bergantian.
Dengan isyarat tangan, Mario mengusir ketiga awak terbangnya. Gadis-gadis itu akhirnya kabur. Tinggallah Kinara dan Mario.
"Pasti mereka pada ngajak clubing ya, Nar?"
Kinara mengangguk. Sebenarnya ia lega tak jadi ikut ke bar, tetapi justru takut karena kini ia bersama Mario. Pria yang menjadi kepala dalam pekerjaannya.
"Iya, Kep. Padahal saya udah ngantuk," jawab Kinara seraya mengucek mata. Membuat seolah-olah matanya sudah tak kuat untuk terjaga.
"Yah, sayang sekali. Padahal saya mau ajak kamu ke suatu tempat. Pasti kamu bakal suka." Mario menatap Kinara penuh harap.
"Kalau saya pergi sama Kapten, ya nggak ada bedanya. Ini saya ngantuk, Kep." Kinara mencoba bernegosiasi.
Beberapa saat berpikir akhirnya Mario mengangguk. Usahanya untuk merayu Kinara belum berhasil. Laki-laki itu mengeluarkan sepotong kertas.
"Simpan kartu nama saya, Nar. Kapan pun kamu butuh, telepon saya! Oke, Nar?"
"Siap."
"Mana kartu nama kamu?" tagih Mario.
"Saya nggak punya kartu nama, Kep," ujar Kinara sambil tersenyum. Dalam hati Kinara mencibir, era milenial kok masih pake kartu nama.
Mendengar itu, Mario akhirnya pamit.
"Besok kamu mau ke mana? Saya temenin?" Mario mencoba lagi usahanya.
Kinara hanya menggeleng. Padahal, ia ingin pergi berbelanja sebentar. Membeli oleh-oleh untuk Diandra dan Narendra. Tidak seharusnya Mario menemaninya.
Lagi-lagi Mario harus menyabarkan hari.
"Oke kalau gitu, Nar. Sampai besok siang." Mario melambaikan tangan, lalu mundur dan berbalik meninggalkan Kinara.
Gadis itu geleng-geleng karena merasa Mario sedang ada maksud padanya.
"Dasar laki-laki, bisanya ngerayu perempuan!"
"Ya kalau laki-laki ngerayu laki-laki, sakit."
"Eh, ada Kapten Vincent. Dari mana, Kep?" Kinara terkejut karena laki-laki itu tiba-tiba sudah ada di depannya.
"Abis dari nyari angin di depan mes, Mbak."
Sedikit basa-basi, mau tak mau Kinara melayani obrolan pria itu. Iya juga bertanya kenapa Kinara tak ikut teman-teman ke kelab malam. Kinara berkata jujur bahwa ia sudah mengantuk. Vincent mengerti dan akhirnya ia pun pamit. Laki-laku itu tentu tidak ingin mengganggu pramugarinya.
Kinara akhirnya bisa terbebas dari segala godaan. Ia berjingkat masuk ke kamarnya. Menaiki ranjang, lalu menarik selimut.
***
Perahu kertasku 'kan melaju
Membawa surat cinta bagimu
Kata-kata yang sedikit gila
Tapi ini adanya
Perahu kertas mengingatkanku
Betapa ajaibnya hidup ini
Mencari-cari tambatan hati
Kau sahabatku sendiri
Hidupkan lagi mimpi-mimpi (cinta-cinta)
Cita-cita (cinta-cinta)
Yang lama kupendam sendiri
Berdua kubisa percaya
Kubahagia kau telah terlahir di dunia
Dan kau ada di antara miliaran manusia
Dan 'ku bisa dengan radarku menemukanmu
Tiada lagi yang mampu berdiri
Halangi rasaku, cintaku padamu
Suara merdu Maudy Ayunda lagi-lagi memenuhi toko roti kecil milik Diandra.
Mereka bertujuh sibuk dengan tugas masing-masing.
"Mel, pesanan Pak Narendra udah siap?"
Mela yang sedang merapikan lakban dan perlengkapan pengemasan lain mengangguk.
Diandra akhirnya bersiap mengantar pesanan.
Namun, tiba-tiba dari luar datang seorang laki-laki. Ia menuju ke arah Diandra. Tangannya membawa map.
"Permisi, Mbak, apa di sini ada lowongan?"
Diandra termenung sejenak. Ia sebenarnya tak sedang ingin menambah karyawan. Formasi tokonya kini sudah cukup.
"Maaf, Mas, kami udah cukup karyawan."
Mendengar itu, pria itu mengangguk.
Diandra melihat ada kekecewaan yang mendalam di mata laki-laki itu. Akan tetapi, memang ia belum butuh lagi karyawan. Jadi, Diandra harus bisa menekan rasa iba di hatinya. Ia harus bisa bilang, "tidak."
"Kalau gitu saya pamit, ya, Mba, makasih."
Pria itu mengangguk sekali lagi, lalu pergi.
"Sialakan."
Diandra kemudian menyiapkan kardus-kardus berisi roti untuk diantar.
"Hati-hati ubin depan licin, Mbak," ucap Alia yang baru saja selesai mengepel.
Diandra hanya mengacungkan jempolnya.
Diangkatnya kardus-kardus itu, keluar melalui pintu. Namun, baru saja kakinya menapak di luar pintu, keseimbangannya tiba-tiba hilang. Kaki Diandra terpeleset. Tubuhnya limbung. Laki-laki yang tadi pamitan masih belum jauh jaraknya dari toko itu dan mendengar jeritan Diandra.
Laki-laki itu berlari dan menolong Diandra.
"Mbak, nggak apa-apa? Mari saya bantu." Laki-laki itu meletakkan mapnya asal, lalu dengan cekatan memapah Diandra.
"Maaf jadi ngerepotin, Mas," ucap Diandra.
Karyawan Diandra yang melihat kejadian itu segera keluar. Mengangkat kardus berisi roti manis yang sedikit penyok akibat terbentur lantai. Membawa kardus itu masuk dan memeriksanya.
Sedangkan Diandra, ia berusaha untuk berdiri sendiri. Akan tetapi, tak bisa. Ia merasakan kesakitan luar biasa di kakinya.
Melihat itu, si laki-laki membantu Diandra masuk ke toko. Mendudukkan wanita berkacamata itu di salah satu kursi. Ia juga memeriksa kaki Diandra. Mengamati sebentar, lalu menyentuh satu titik dekat mata kaki. Menekannya sedikit yang menyebabkan Diandra berteriak.
"Harus diurut ini, Mbak, boleh saya bantu?"
"Apa nggak bahaya, Mas?" tanya Diandra.
"Urut itu pengobatan tradisional, Mbak."
Laki-laki itu menjelaskan khasiat dari urut.
"Yang penting saya nggak sakit lagi, deh."
Diandra akhirnya menurut. Ia tak ingin kesakitan terus. Biarlah menahan sakit sebentar, yang penting setelahnya bisa sembuh.
Dengan hati-hati, pria itu mengurut Diandra.
Gadis itu berteriak karena sakit.
"Tahan, ya, Mbak. Sebentar lagi juga enakan." Jemari laki-laki itu terus mengurut.
Diandra sampai berkeringat saking kesakitan.
Karyawan Diandra sedikit khawatir.
"Mbak, rotinya gimana? Apa saya cari layanan antar aja?" tanya Mela sambil melirik jam di dinding toko. Ia khawatir Diandra tak sanggup mengantarkan pesanan itu.
Diandra ikut melirik jam di dinding tokonya.
"Mas, bisa naik motor nggak?" tanya Diandra.
Si laki-laki mengangguk. Ia memang tidak naik motor datang ke toko itu. Itu disebabkan motornya hilang beberapa minggu yang lalu.
"Saya bisa mengendarai motor dan mobil."
Pria itu bercerita pernah jadi sopir perusahaan.
Pria itu juga bilang bahwa ia terkena PHK.
Mendengar itu, Diandra semakin yakin.
"Kalau begitu, saya terima Mas kerja."
"Hah?"
Si laki-laki terkejut. Ia tak menyangka akhirnya Diandra menerimanya. Laki-laki itu sampai bersujud syukur.
Diandra senang, meski kakinya sakit.
"Anggap saja ini bentuk terima kasih saya."
Ya, Diandra merasa kakinya sudah enakan.
"Terima kasih banyak, Mba. Alhamdulillah." Laki-laki itu masih terus mengucap syukur seraya menengadahkan tangannya.
"Kita sekarang jadi satu tim, ya, Mas."
Laki-laki yang mengaku bernama Ridwan itu mengangguk. Hatinya dipenuhi kebahagiaan dan rasa syukur yang tak terhingga. Akhirnya, setelah sekian lama mencari pekerjaaan, Tuhan memberinya jawaban.