"Selamat pagi, Mbak, saya mau antar roti."
"Pagi," jawab seorang resepsionis itu.
Senyum ramah langsung terpampang di wajah mulusnya yang berpulas perona pipi. Wanita itu mengintip kardus yang dibawa Ridwan. Kemudian, nota pembelian yang dibawa Ridwan diserahkannya kepada sang resepsionis. Sedikit terkejut wanita itu membaca nama toko roti di dalam nota. Sebab, selama ini yang mengantar roti tidak pernah ganti.
"Mbak Diandra lagi berhalangan, jadi saya yang antar roti pesanan Pak Narendra."
Kalimat itu seolah-olah menjawab kebingungan si resepsionis. Yang tadinya ingin bertanya jadi urung. Sebab, jawaban sudah diberikan.
"Baik, saya terima rotinya, ya, Mas."
Ridwan kemudian meletakkan kardus-kardus berisi roti manis itu di sana.
"Saya permisi dulu kalau gitu, Mbak."
"Silakan."
Baru saja Ridwan ingin berbalik, tiba-tiba Narendra datang. Diamatinya pria pengantar roti itu. Tatapan bingung tak bisa ditutupi oleh Narendra.
"Kok bukan Diandra yang antar rotinya?"
"Mbak Diandra tadi kepleset, Pak," terang Ridwan. "Kakinya kesleo, jadi belum bisa dipakai bergerak yang terlalu berat."
Narendra terlihat sedikit terkejut.
Setelah mengucapkan terima kasih, Narendra kemudian pergi ke ruangannya.
"Hari ini kita ada rapat di mana saja, Pak?"
"Hanya bertemu dengan pihak TV itu, Pak."
"Oke."
Narendra mengagendakan untuk menemui Diandra di jam makan siang.
"Pak Narendra terlihat sedikit resah, kenapa?"
"Ah, sedikit memikirkan teman yang sakit."
Narendra tidak sedang bercanda, ia benar-benar khawatir. Memikirkan Diandra, padahal sebenarnya tidak ada hubungan spesial dengannya.
Lalu kemudian muncul pertanyaan di jati Ridwan, sedangkan selama ini Diandra begitu senang melakukan pengantaran pesanan sendirian.
Waktu terasa sedikit berjalan lambat nadi Narendra sebab keresahannya belumlah usai. Bahkan, rapat dengan pihak TV yang ingin dibuatkan iklan pun tidak bisa mengembalikan fokus lelaki itu. Wajah Diandra terus memenuhi kepalanya. Untuk itu, saat jam makan siang tiba, ia langsung pergi.
"Pak, sebelum pergi tolong tanda tangan!"
"Apa ini?" Narendra sedikit berkerut melihat berkas yang lumayan tebal disodorkan ke arahnya oleh Pak Cokro. "Maaf, Pak, mungkin saya bisa memeriksanya nanti. Saat ini saya sedang buru-buru."
"Baik."
"Terima kasih untuk pengertiannya, Pak."
Pak Cokro mengangguk. Ia juga membungkuk saat Narendra berjalan melintasinya menuju pintu ruangan itu. Sebuah sikap yang tidak pernah diinginkan Narendra, tetapi Pak Cokro sudah terbiasa melakukannya sejak dulu kepada Darmawan. Jadi, Pak Cokro merasa tidak ada masalah dengan hal itu. Walau, di mata Narendra sikap seperti itu sedikit berlebihan.
Sementara itu, Narendra terus melangkah dengan cepat menuju mobil hitamnya yang berada di parkiran. Sepanjang perjalanan, para karyawannya terlihat sebagian sedang mulai beristirahat. Ada yang hendak menuju kantin, sedang makan roti dari toko Diandra, ada pula yanh masih berkutat dengan komputer di meja.
***
Mobil Narendra membelah lautan kendaraan yang beradu klakson. Merayap menuju toko roti Diandra. Sebelum itu, Narendra membelikan makan siang untuk gadis yang kelak akan menjadi kakak iparnya itu.
"Pak Narendra?" Mela terlihat sedikit terkejut. "Bukannya pesanan sudah diantar?"
"Sudah."
"Ah, syukurlah. Saya kira Pak Narendra ke sini karena pesana nggak sampai." Mela tersenyum malu.
Narendra mengulurkan makanan yang dibelinya pada Mela. Ia juga menanyakan keberadaan dan keadaan Diandra. Laki-laki itu mengatakan sangat khawatir dengan pemilik toko roti itu.
"Saya khawatir Diandra belum makan siang."
"Sayangnya Mbak Diandranya sudah pulang."
Ada kekecewaan yang membayang di wajah Narendra. Akan tetapi akhirnya ia memutuskan untuk mendatangi rumah sang calon kakak ipar. Setidaknya ia mengecek keadaannya. Begitu yang dipikirkan Narendra.
"Kalau gitu saya ke rumahnya aja, deh."
Mela mengembalikan makanan yang memang dibelikan untuk bosnya itu. Narendra menyambarnya secepat kilat, kemudian berpamitan. Ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan mengingat waktu yang dimilikinya tak banyak. Meski, sebenarnya bisa saja ia datang lagi nanti sore sepulang kerja.
"Eh Pak Narendra ada di sini?" sapa seseorang.
Narendra menoleh ke arah suara dan ternyata Ridwan. Tidak ingin berbasa-basi, Narendra mengatakan ingin menjenguk Diandra. Ridwan mengangguk paham. Walau, dalam hati karyawan baru itu sedikit merasa janggal.
"Tinggal dulu, ya, Mas." Narendra melambaikan tangan, lalu melesat. Dirapatkannya kaca mobil yang tadi sempat terbuka.
Sepuluh menit kemudian, Narendra mulai memasuki halaman rumah Diandra yang tak seberapa luas. Ia membukan pagar sendiri karena memang tak terkunci. Lalu, segera memarkir mobil di sisi kiri halaman.
"Siapa?"
Sebuah suara terdengar berteriak dari dalam. Itu siara Diandra. Narendra segera membuka pintu.
"Aku, Di. Maaf nggak ngasih kabar. Aku khawatir dengar kamu kesleo," terang Narendra seraya menghampiri Diandra yanh duduk di sofa membelakangi pintu. Ia sedang menontom televisi.
"Ren, ya ampun repot amat. Jangan berlebihan. Aku cuma kesleo aja," timpal Diandra sedikit tak enak hati.
"Kesleo itu bahaya, Di. Kamu harus istirahat total biar pulihnya cepet." Narendra tiba-tiba berubah layaknya seorang dokter.
Ia meletakkan makanan yang dibawanya.
"Apa itu, Ren? Kamu repot-repo banget, sih?" Diandra bisa menebak bungkusan itu adalah makanan.
Narendra tak menggubris, malah segera memeriksa kaki Diandra. Terlihat sedikit membengkak. Dieluskan bagian itu.
Diandra menatap Narendra nanar.
Pertanyaan-pertanyaan muncul di hati Diandra. Kenapa Narendra perhatiab sekali? Sebenarnya apa maksudnya?
Narendra sudah selesai memeriksa kaki Diandra, kemudian meletakkan bokongnya di sisi kiri gadis itu.
"Udah makan siang belum kamu, Di?"
Diandra menggeleng. Ia cukup kesulitan untuk bergerak, makanya belum bisa ia mengambil makanan. Memang perutnya pun tidak begitu lapar.
Melihat gelengan Diandra, laki-laki itu segera mengeluarkan bungkusan makanan yang dibawanya. Pamit ke dapur untuk mencari alat makan. Tak lupa menyediakan minum sekalian.
Diandra terbengong-bengong menyaksikan semua yang dilakukan Narendra.
"Ren, aku jadi ngerepotin kamu banget."
Sungguh tak enak hati Diandra.
"Udah jangan berisik, makan aja!"
Kini, laki-laki itu sudah siap dengan nasi goreng spesial di piring. Diambilnya sesendok dan disodorkannya ke mulut Diandra. Ragu, Diandra justru menatap Narendra. Ada perasaan aneh di hatinya.
"Ren aku bisa makan sendiri, kok."
"Buka mulutnya dan jangan protes!"
Mau tak mau Diandra membuka mulutnya.
Mereka tak tahu ada orang lain di sana.
"Ren, kamu ke sini Kinara tahu nggak?"
"Nggak."
Diandra hampir tersedak. Untung saja, Narendra sigap menyodorkan air minum. Diteguknya air putih itu sebanyak mungkin oleh Diandra.
Diandra mengelus lehernya yang terasa tak nyaman akibat insiden barusan.
Narendra kembali menyodorkan suapan.
"Kamu nggak takut dia marah, Ren?"
Narendra menggeleng. Dengan isyarat mata, ia menyuruh Diandra untuk kembali membuka mulut. Bahkan, menatapnya dalam saat gadis itu belum mau juga melakukannya. Akan tetapi, gadis itu benar-benar menolak. Akhirnya Narendra menyerah.
Ia justru bangkit dan bermaksud hendak ke dapur. Ia merasa kerongkongannya kering. Namun, saat ia tak sengaja menoleh ke arah pintu masuk, Kinara sudah terlihat mematung di sana.
Narendra segera mengurungkan niatnya untuk mengambil air. Ia melangkah pasti ke arah sang kekasih. Menyambutnya tanpa rasa bersalah.
Kinara yang sebenarnya sedikit kecewa menjadi tidak begitu antusias. Rentangan tangan Narendra yang lebar pun disambutnya dengan biasa saja. Bisa dibilang, Kinara tidak menyukai kejutan yang sangat di luar dugaannya.
Lagi pula, memang tidak ada yang niat memberi kejutan. Narendra datang semata-mata karena menjenguk Diandra. Kinara sendiri tak memberitahu Narendra bahwa hari itu akan pulang ke rumah.
Diandra yang kakinya sakit berusaha berdiri.
Kinara yang melihat itu sedikit tak peduli.
"Di, jangan paksa buat berdiri sendirian!"