Bab 10

1159 Words
Kinara mengompres kaki Diandra menggunakan air hangat. Ia berharap kakaknya bisa beraktivitas seperti biasanya. Pergi ke toko roti dan bekerja. "Nar, kamu nggak marah sama Kakak, 'kan?" "Marah kenapa, Kak?" tanya Kinara balik. "Masalah Narendra ke sini tadi itu," terang Diandra sedikit tak enak hati. Ia tak ingin adiknya salah paham. Apalagi sampai berpikir yang tidak-tidak. "Nggak apa-apa, Kak. Aku seneng Rendra perhatian sama Kakak. Jadi kalau misal aku lagi pergi, dia bisa jagain Kakak." "Memangnya Kakak anak bayi apa dijagain?" "Elah, nyatanya ini kaki bisa kesleo," keluh Kinara menunjuk pergelangan kaki kiri Diandra yang sedang dikompresnya itu. "Ini nggak sengaja. Masa Kakak sengaja jatuh, sih," kilah Diandra. Giginya diperlihatkan, kacamatanya dibenahi dengan tangan kiri. "Nah, makanya kalau ada Rendra jadinya aku nggak begitu khawatir, Kak." Ucapan Kinara terdengar serius. Ia masih terus mengompres. Wajahnya yang masih penuh riasan tampak begitu begitu fokus ke arah kaki Diandra. Sesaat kemudian, Kinara selesai mengompres. Gadis yang masih bersanggul itu membawa baskom bekas kompresan ke belakang. Ia mencuci tangannya, kemudian mengambil air dari kulkas. Meminumnya setengah botol dengan begitu cepat. Keringat mengucur deras. Kinara balik ke ruang tamu guna mencari handuk kecil yang selalu dibawanya dalam tas selempang. Segera, Kinara menyeka keringat. Diandra yang memperhatikan gerak-gerik sang adik hanya tersenyum. Ia tahu adiknya lelah dan kepanasan. Dengan cekatan, Diandra mencari remot AC dan menekan tombol on. Kinara yang melihat sang kakak mencari remot awalnya khawatir. Akan tetapi Diandra mengaku kakinya terasa sudah ringan dibawa jalan. "Enak banget abis kamu kompres, Nar." "Syukurlah." Mereka berdua duduk bersebelahan. Kinara menggeret koper yang memang sengaja diletakkan tak jauh dari sofa. Dibukanya koper itu dan Diandra melongo. Begitu banyak sambal kemasan yang berwadah kaca di dalam koper itu. Kinara terkikik. Ia memang sengaja membeli banyak sambal dari ikan-ikan khas Manado untuk Diandra. Gadis berkacamata tebal itu lumayan suka olahan ikan apalagi yang khas. "Kinara emang terbaik pokoknya," seru Diandra sambil mencubit pipi adiknya. "Siapa dulu kakaknya?" balas Kinara. "Kamu memang paling bisa ambil hati." "Kalau nggak gitu, Rendra nggak bakal jadi pacarku, Kak." Kinara menutup mulutnya seolah-olah menyesal karena salah bicara. Namun, justru disambut cubitan sang kakak lagi di pipinya. Mereka asyik bercerita tentang apa saja. Diandra bercerita tentang tokonya yang memiliki karyawan baru. Menceritakan awal mula laki-laki itu datang dan akhirnya jadi karyawan. Juga mengenai Narendra yang tiba-tiba datang. "Narendra itu perhatian banget, ya...." "Tipe aku banget, Kak. Perhatian, baik, dan nggak pelit. Aku paling nggak suka sama cowok pelit, Kak." Diandra mengangguk-angguk paham. Dalam hati Diandra tiba-tiba membayangkan hal-hal indah di luar jangkauannya. Di dalam angan-angannya, Diandra sedang berada di taman bunga yang begitu luas. Bunga warna-warni bermekaran. Kupu-kupu menari-nari dari satu bunga ke bunga yang lain. Di sana Diandra bersama seorang lelaki tampan, berkarisma, dan memiliki senyum yang menawan. Ia tersenyum dan menggandeng tangan sang lelaki, bergelayut manja. Gaun putih yang dipakainya mengembang indah. Pria itu adalah Narendra. Di dalam angan-angannya, Narendra adalah kekasihnya. Pria idaman yang selama ini selalu diimpikannya. Mereka berdua masih terus tertawa bahagia. Mentari yang bersinar gagah di langit, seoalah-olah menjadi saksi kemesraan mereka. Kemesraan sepasang kekasih yang saling mencinta. Hingga, keduanya saling mendekatkan wajah. "I love you," bisik Diandra tanpa sadar. Kinara yang mendengar kalimat itu segera menoleh ke arah sang kakak. Diamatinya wajah ayu yang berbingkai lensa tebal itu. Ia mengernyit. Digoyang-goyangkannya telapak tangan Kinara di hadapan sang kakak. Namun, Diandra benar-benar tidak sadar. Melihat hal itu, Kinara memutuskan untuk menepuk-nepuk pipi sang kakak. "Kaaak," panggil Kinara dengan was-was. "Eh, apa, Nar? Ngapain nepukin pipi kakak?" Diandra gelagapan mirip kucing yang tercebur ke kolam renang. Ia bingung sendiri. "Kakak bilang 'I love you' ke siapa tadi?" Diandra melotot tak percaya. Ia tak bisa menyembunyikan semburat merah di wajahnya. Terlalu absurd jika ia mengakui apa yang ada di pikirannya tadi. Lagipula, bisa-bisa Kinara menuduhnya lengkhianat. "Eh, ya bilang ke kamu lah, masa ke siapa." Kinara terkejut dan bingung. Dahinya makin berkerut. Ia mencurigai sesuatu. *** Diandra baru saja selesai mandi saat Narendra datang. Laki-laki itu tampak gagah dan memesona dalam balutan baju bermerek terkenal. Aroma parfumnya serbak hingga Diandra rasanya ingin sekali menghidunya dari dekat. Menyesapi tiap partikel wangi yang disebarkannya ke udara. "Hai, Di. Kaki kamu gimana? Udah enakan?" Diandra yang tadi seperti sedang mereguk sari-sari bunga di nirwana, tiba-tiba merasa terempas ke jurang mendengar sapaan Narendra. Gadis itu sedikit tergagap dan menjawab dengan anggukan. Ia kemudian mempersilakan Narendra masuk. Dan, tepat saat itu Kinara sudah keluar dari kamar, menenteng tas tangan hitam. Seperti bidadari, malam ini Kinara tampil memukau dengan gaun cantik berbahan sutera. Kilaunya membuat kecantikan gadis itu makin terpancar. Apalagi pulasan gincu warna senada, menabah pesonanya naik ke level tertinggi. Diandra sibuk berandai-andai. Akan tetapi, akhinya ia sadar bahwa apa yang dilakukannya tidak benar. Harusnya ia bahagia melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajah sang laki-laki yang dicintainya. "Kak, aku tinggal dulu nggak apa-apa, ya." "Silakan." Hanya itu yang mampu dilontarkan Diandra sebagai jawaban. Bahkan, lidahnya terasa kelu saat menjawab, meski Hanya satu kata. Rasanya berat. Mata Diandra mengikuti langkah kedua insan berlawanan jenis kelamin itu. Mengawasi mereka hingga menghilang ditelan pintu. Kemudian, pelan-pelan Diandra menuju salah satu kaca jendela. "Kamu cantik banget malam ini," kata Narendra. Diandra masih bisa mendengar jelas kalimat itu dilontarkan Narendra penuh kekaguman. Mereka rupanya masih berdiri di depan mobil, saling menatap. Dan, detik berikutnya apa yang dilihatnya membuat ia menjauh dari kaca jendela. Menenangkan diri. Diandra tak ingin melihat ciuman itu lebih jauh. Cukup sekali ia menjadi patung dan menyaksikan adegan panas itu berlangsung di hadapannya. Ia tak ingin mengulanginya lagi. Demi apa pun. "Kenapa aku harus mencintainya. Ya, Tuhan?" "Mencintai siapa, Kak?" Kinara tiba-tiba saja sudah ada di dekat Diandra. Ia menatap penuh selidik ke arah sang kakak. "Ah, eh, anu. Men-mencintai Ridwan, Nar." Ya, entah mengapa nama itu terlontar. "Hah?" "Iya." Kinara yang awalnya terkejut, akhinya bisa menguasai dirinya. Walau agak bingung bisa-bisanya sang kakak mencintai laki-laki seperti Ridwan. Setahu Kinara, Diandra bukan gadis yang gampang jatuh cinta. "Apa gara-gara ditolongin pas jatuh kemarin?" Diandra mengangkat bahu, memberi isyarat tak tahu. Namun, akhirnya ia tertawa. Kemudian, memeluk sang adik begitu erat. "Kakak kayaknya ngiri sama kalian, jadi sedikit baper. Terus ada cowok yang tampangnya lumayan dan rajin kerjanya, jadilah naksir." Diandra berbohong. Tidak ada dalam hatinya sedikit pun perasaan lebih kepada karyawan barunya. "Kapan-kapan kita double date, yuk, Kak!" Diandra melepaskan pelukannya. Ia menutup mulut saking tak percaya pada pendengarannya. Bagaimana mungkin ia bisa melakukannya? "Eh, Kakak nggak PD. Apalagi kamu tahu, Kakak belum pernah nge-date sebelumnya." Diandra mencoba bernegosiasi dengan Kinara. Diandra tak ingin termakan kebohongannya. "Nar, kok, lama banget?" Tiba-tiba Narendra sudah menyusul Kinara. Ia bingung karena Kinara tak kunjung datang yang katanya hanya ingin mengambil ponselnya. Ternyata justru mengobrol dengan Diandra. "Ren, Kak Di lagi jatuh cinta, tuh," seru Kinara. "Mau tahu nggak sama siapa? Itu tuh karyawan barunya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD