Diandra mengutuk keadaan. Bisa-bisanya ia justru terjebak dalam kebohongan. Kebohongan pertama dan mungkin yang terburuk selama hidupnya.
Gadis itu mondar-mandir dengan kakinya yang belum sembuh benar. Ia bingung harus bagaimana. Mengajak Ridwan menemaninya berbohong?
Ah, rasanya egois. Akan tetapi, jika tidak, maka Diandra tak tahu apa yang dipikirkan Kinara selanjutnya. Ia tak ingin cinta terpendamnya ketahuan.
Narendra sudah memilih Kinara, jadi tak elok jika ia terus-terusan menaruh hati.
"Selamat malam, Ridwan. Sibuk nggak?" ketik Diandra di ponselnya. Kemudian, dengan debaran jantung yang tak menentu, ia menekan tombol kirim. Ia berkali-kali menutup wajah. Merasakan panas di seluruh permukaannya.
"Selamat malam, Mbak Di, saya nggak sibuk."
Hampir loncat Diandra mendapatkan balasan.
"Bisa ketemu sama saya malam ini nggak?"
"Bisa."
"Saya tunggu di restoran ayam goreng di dekat toko, ya. Nggak pake lama pokoknya." Dengan takut-takut, Diandra mengetik hal itu.
Sungguh, ini pengalaman pertama Diandra.
"Siap."
Sejenak, Diandra termenung. Menata hati, mencoba merangkai kata. Kira-kira bagaimana ia harus memulai ini.
"Ridwan sebenarnya saya mau minta tolong."
Lama tak ada jawaban. Diandra resah. Namun, ia berpikir mungkin saja Ridwan sudah bersiap-siap menemuinya. Jadilah kemudian ia bergegas menuju ke kamar dan menyambar tas selempangnya.
Diandra sengaja tak menukar baju. Ia juga tanpa riasan. Hanya pertemuan biasa.
Akhirnya setelah membulatkan tekad, gadis berkacamata tebal itu segera meluncur.
Selama perjalanan hatinya terus merangkai kata. Memilih dan memilah kata apa yang akan diucapkannya pafa Ridwan. Ia tak ingin membuat kesalahpahaman yang bisa saja berakhir tak enak.
"Hai, Mbak, Di." Suara lembut itu menelusup perlahan ke gendang telinga Diandra. Ia memarkirkan motornya segera.
"Hai, udah sampai juga kamu?"
Mereka saling menatap. Ada jeda dan kekakuan yang tiba-tiba menyergap. Itu membuat Diandra merasa ragu. Ia berkeringat dingin.
"Mau makan di dalam, Mbak? Atau mau ngobrol di mana? Bebas aja, kok."
Seulas senyum berhasil diterbitkan bibir ranum Diandra yang tanpa gincu.
Matanya berkali-kali mengedip, mencoba mengatur wajahnya agar tak terlihat kaku atau sejenisnya. Ia benar-benar mati kutu. Andai bisa, mungkin lebih baik jika ia lari dari sana. Kabur.
"Kamu lapar nggak?" tanya Diandra yang perutnya justru merasa mual. Malah sekarang bertambah dengan mulas. Melilit seperti orang sembelit.
Ridwan menggeleng. Laki-laki itu melihat ekspresi tak enak pada Diandra. Ia berpikir Diandra memang tidak lapar.
"Kalau nggak mau makan kita ngobrol di sana aja, Mbak." Ridwan menunjuk taman kecil yang ada di seberang tempat itu. Suasana di sana terlihat lebih tenang dan mungkin cocok untuk mengobrol.
Diandra mengangguk dan mendahului Ridwan melangkah ke sana.
Bukan tak sopan, bukan juga tak menghargai, sesungguhnya Diandra benar-benar tidak nyaman berjalan berduaan dengan laki-laki.
"Sini aja nggak apa-apa?" tanya Diandra.
"Nggak apa-apa, Mbak. Enak juga tempatnya." Ridwan mendahului duduk di bangku taman berwarna putih itu.
"Maaf, ya, ganggu malam-malam gini, Wan."
"Nggak masalah, Mbak. Saya senang kalau bisa bantu. Memangnya ada apa?"
"Gini," Diandra memulai bercerita. Ia mengatakan bahwa dirinya mengaku-ngaku sudah punya pacar hanya agar tidak diejek oleh sang adik. Diandra tak menceritakan masalah yang sesungguhnya. Tentang ia yang diam-diam cinta pada Narendra. Diandra tak seterbuka itu pada orang lain.
Pada karyawan lain saja yang sudah seperti teman baik, ia tak berani bercerita.
"Jadi kita akan pura-pura pacaran, Mbak?"
Diandra mengangguk penuh harap.
Ia menatap Ridwan masih dengan debar khawatir seperti sebelumnya. Takut ditolak. Lalu, kalau laki-laki itu menolak bagaimana?
Sedangkan, Ridwan membuang pandangannya ke arah lain. Hatinya tiba-tiba saja seperti diremas. Ia merasa harga dirinya sedang diinjak.
"Kamu bisa bantu saya, 'kan, Wan?"
Andai saja Ridwan bisa menolak, ia pasti melakukannya. Namun, mengingat Diandra yang sudah begitu baik padanya, akhirnya ia mengangguk. Menyanggupi. Niatnya membalas kebaikan Diandra sebisanya.
Biarlah harga diringa jatuh, asal ia tak menyakiti gadis yang sudah baik padanya.
"Kenapa mesti saya, Mbak? Apa nggak malu punya pacar kayak saya, walau cuma pura-pura? Kita nggak selevel."
"Memang ada aturan baku dalam pacaran?"
"Nggak ada, sih. Tapi, saya sudah sering dihina karena kasta. Maklum rakjel."
"Memangnya saya apa? Putri raja? Ngaco."
Diandra menunduk. Ia merasakan emosi lain dalam kalimat terakhir laki-laki di sampingnya. Seperti ada kesakitan luar biasa di sana.
Namun, tekad Diandra untuk meneruskan kebohongannya tak bisa diurungkan.
Diandra tak mau ketahuan. Ia tak ingin hubungannya dengan sang adik menjadi hancur. Ia juga tak bisa membayangkan apabila Narendra tahu tentang perasaannya. Sungguh tak bisa dibayangkan.
"Kapan kita mulai pacaran, Mbak?"
"Sekarang."
"Hanya pura-pura, kan? Itu artinya kalau nggak di depan mereka kita tetal seperti biasa? Tetap bosa dan karyawan, kan?"
"Kenapa kita nggak berteman aja, Wan?"
"Saya takut mengkhayal ketinggian, Mbak."
Ada nada getir yang ditangkap Diandra.
Lagi-lagi, kalimat itu membuat Diandra sedikit merasa bersalah. Akan tetapi, semua sudah telanjur. Ia berharap tidak ada masalah serius ke depannya.
"Kita nggak beda, Wan. Saya juga bukan keturunan raja atau sultan. Rakjel."
Mau tak mau akhirnya mereka tertawa.
Ada kelegaan di hati Diandra.
"Lalu, pacaran seperti apa yang hendak kita pertontonkan pada mereka?"
"Hah? Ya... pacaran biasa aja, Wan. Memangnya pacaran ada macam-macam?"
Ridwan tertawa. Ia baru menyadari kepolosan sang gadis yang tak lain adalah bosnya itu. Ia jadi merasa bersalah padanya.
"Ya, maksud saya, sejauh mana kontak fisik yang akan kita pamerkan?"
Diandra mengernyit. Pikirannya terbang ke adegan romantis yang sering ditontonnya di drama Korea. Terlintas saat para pemainnya bergandengan tangan, berpelukan, dan... berciuman.
Diandra menggeleng-geleng keras. Ia merinding membayangkannya. Apa ia juga harus begitu dengan Ridwan?
"Apa boleh pacaran tanpa sentuhan, Wan?"
Ridwan menggeleng. Diandra yang melihatnya langsung tegang. Padahal maksud laki-laki itu tidak sedang menjawab pertanyaan Diandra.
"Pacaran yang sehat sebenarnya nggak mementingkan kontak fisik, Mbak."
Mata Ridwan menatap sekilas gadis di sampingnya.
Ada rasa kasihan yang menyergapnya.
Ridwan tak ingin gadis sepolos itu harus terjebak lebih jauh dalam masalah seeprti ini. Ia sendiri takut kebablasan. Ridwan bukan tipe laki-laki yang mementingkan kontak fisik, tetapi ia menyadari dirinya begitu gampang luluh dengan sikap polos perempuan. Ridwan takut baper.
"Kita pacaran sehat aja kalau gitu, Wan."
Benar, kan? Gadis itu terlalu polos dan naif. Ridwan sampai menahan napas.
Ia sengaja mendekatkan wajahnya ke Diandra.
"Kalau nanti saya baper gimana, Mbak?"
Diandra yang tadi sedang menunduk, perlahan menoleh dan mendapati sorot mata Ridwan yang menghunjam. Tatapan mereka terkunci. Begitu pula bibir Diandra. Ia benar-benar seperti dihipnotis.
Ridwan terus mendekatkan wajah pada Diandra. Menyunggingkan senyum manis. Kemudian, ditempelkannya sedikit bibirnya ke pipi gadis itu. Sekilas, tetapi cukup membuat Diandra tersentak.
"Kenapa kamu malah cium pipi saya, Wan?"
Ridwan menjauh. Ia berdiri dan menatap langit. Perasaannya tak menentu.
Haruskah aku bermain api? tanya batin laki-laki berkemeja rapi itu. Ia tak ingin menyakiti Diandra bagaimanapun caranya. Akan tetapi, Ridwan juga tak kuasa mengerem apabila hatinya sudah di luar batas.
"Mbak, saya takut baper. Kalau saya baper jadinya kayak tadi. Bahkan bisa lebih."
Mendengar itu, Diandra jadi serba salah.
Haruskah membatalkan apa yang baru saja mereka setujui? Atau bisakah dilanjutkan dengan konsekuensi yang Diandra sendiri tak begitu yakin akan sanggup mengendalikan hati mereka masing-masing? Semua pertanyaan kini berputar di kepala gadis itu.
Ridwan berbalik dan mencoba meraih tangan Diandra. Menggenggamnya lembut seolah-olah mereka benar-benar pasangan. Beberapa saat Diandra tak menunjukkan penolakan.
"Aku nggak keberatan atas apa yang akan terjadi di antara kita selanjutnya."
Mendengar itu Ridwan mengeratkan genggamannya.
Hati mereka sama-sama saling menekan ego. Saling mengontrol hasrat. Mereka sama-sama berjuang untuk saling menjaga.