Bab 1

1019 Words
Pagi-pagi sekali Diandra sudah membuka rolling door toko rotinya. Ia berharap hari ini pelanggan datang lebih banyak. Dengan semangat empat lima ia menata roti-roti baru saja selesai dikemas. Seorang pekerja membersihkan kaca, seorang lagi mengepel lantai, dan satu lagi berkutat di dapur dengan adonan. Ya, Diandra memiliki tiga pegawai di toko rotinya yang hanya seluas 5x10 meter itu. Aroma roti hangat menguar. Alunan suara merdu milik Maudy Ayunda yang menyanyikan Perahu Kertas menemani mereka. Sebuah mobil berhenti di depan toko roti. Mela yang selesai dengan lap di tangannya buru-buru masuk ke dapur, di susul Alia yang juga sudah menyelesaikan pekerjaan mengepelnya. Seorang lelaki terlihat keluar dari mobil yang tadi berhenti di depan toko. Penampilannya begitu trendy dengan tatanan rambut berpomade. Kemeja hitamnya terlihat begitu pas dengan tubuh itu. Sejenak Diandra terpesona. Mulutnya sampai sedikit terbuka. Namun, kesadarannya kembali pulih saat sebuah suara asing mengusik telinganya. "Sudah buka, kan, Mba?" Pria itu sudah berada tak jauh dari tempat Diandra berdiri. Bahkan, kini, aroma citrus itu seolah-olah sudah memenuhi ruangan. Sungguh, aroma maskulin yang seperti mendadak berubah fungsi menjadi obat bius. Diandra mengerjap. Kacamatanya dibenahi. Nyawanya dipaksa kumpul. Ia tersenyum semanis mungkin. "Sudah," jawabnya singkat. Bukan, bukan Diandra tidak ingin menjawab dengan kalimat panjang, tetapi tenggorokannya seakan tercekat. Bahkan, jantungnya seperti sedang dikejar setan. "Boleh saya lihat ada roti apa saja?" Lelaki itu bertanya dengan seulas senyum. Senyum yang membuat Diandra kembali melayang. Rasanya sendi-sendi tubuh wanita berkacamata tebal itu dipaksa untuk melemas. "Boleh." Kembali, hanya satu kata yang sanggup dikeluarkan oleh Diandra. Kelu. Lidahnya sangat tidak ingin diajak kompromi. Narendra—nama laki-laki itu—terlihat mulai mengitari meja-meja dan rak-rak yang digunakan sebagai tempat menaruh roti. Mata lelaki itu meneliti dengan saksama roti-roti yang terbungkus rapi dan berjajar cantik di tempatnya. Ia seperti sedang bimbang menentukan pilihan. "Mba," panggil Narendra. Ia sepertinya sudah punya pilihan, roti-roti mana yang akan diangkutnya. Atau mungkin ia ingin bertanya hal lain. Diandra yang masih berdiri di tempatnya langsung mendatangi Narendra. "Ada yang bisa saya bantu?" Diandra kembali tersenyum. Ia memberanikan diri menatap wajah tampan milik Narendra. Sedetik tatapan mereka beradu. Singkat, tetapi efeknya luar biasa. Diandra dengan cepat mengalihkan pandangan. "Ehm, ini saya bisa minta roti manisnya 100 buah?" tanya Narendra. Ia sibuk melihat varian rasa roti manis di hadapannya. Pilihannya jatuh pada tiga varian yaitu cokelat, keju, dan vanila. "Tiga rasa ini aja." "Baik." Diandra dengan cekatan menurunkan roti-roti manis sesuai permintaan Narendra. Diandra kemudian mengemas roti-roti itu menggunakan kardus bekas air mineral. Dibantu Mela dan Alia, pekerjaan itu cepat kelar. Hanya 5 menit. Narendra menunggu sambil menelepon seseorang, "Udah beres." Diandra diam-diam menguping. Ia jadi tahu alasan Narendra memborong roti pagi-pagi. Dari pencurian data yang dilakukan telinganya, Diandra tahu bahwa roti-roti buatannya akan dibawa ke kantor. "Silakan, Mas," Diandra mempersilakan Narendra untuk membayar. Narendra bergegas mengeluarkan dua lembar uang merah sesuai total belanja. Diandra menghitung uang tersebut dan memberikan kembalian. Diandra ikut membantu Narendra membawa kardus berisi roti manis itu ke luar. Mengantarkan sampai ke mobil dan memasukkannya ke bagasi. "Terima kasih banyak, Mba." ucap Narendra. "Sama-sama." Narendra tersenyum, lalu melambaikan tangan sekilas pada Diandra. Mobil hitam itu melaju perlahan meninggalkan toko roti milik Diandra. Meski singkat, tetapi pertemuan itu membuat hati Diandra berbunga-bunga. Wajahnya merona. Diandra memang bukan pertama kali menyukai laki-laki, tetapi baru kali ini yang rasanya begitu indah. Kemudian, ia melantunkan lagu Perahu Kertas. *** Narendra sudah sampai kantor. Ia bergegas menyuruh OB untuk membawa roti-roti itu ke pantry. Kebetulan hari ini akan menjadi sejarah baru dalam karier pria itu. Ia akan diperkenalkan oleh sang ayah menjadi direktur kepada seluruh karyawan berdasarkan kesepakatan kedua pemegang saham, yaitu Darmawan Jaya—ayahnya—dan Handoko Adipramana. Masalah roti-roti itu, Narendra memang sengaja ingin membagi-bagikannya kepada para karyawan. Ia ingin karyawannya paling tidak mengganjal perut mereka dengan roti seandainya tidak sempat sarapan di rumah. Kenapa roti? Itu tidak lain karena roti adalah sahabat baik kopi atau teh di pagi atau sore hari. "Selamat pagi semuanya," sapa Pak Darmawan. Seluruh karyawan yang sudah berkumpul di ruang pertemuan utama kompak menjawab, "Selamat pagi, Pak." Perusahaan ini bergerak di bidang jasa periklanan. Bermacam-macam iklan sudah mereka tangani. Dari iklan di media cetak maupun elektronik. Pak Darmawan yang sudah berusia hampir 70 tahun merasa sudah sangat lelah mengurusi tetek bengek perusahaan itu. Darmawan akhirnya meminta pertimbangan kepada Handoko mengenai keinginannya untuk berhenti. Handoko yang mengetahui Narendra adalah sarjana ekonomi, akhirnya berpikir tidak ada salahnya mengangkat anak bungsu rekan bisnisnya itu untuk menggantikan posisi yang sebelumnya dipegang sang ayah. Handoko yakin hal itu akan menjadikan perusahaan mereka punya napas lebih segar. Ia yakin anak bungsu keluarga Darmawan itu akan bisa membawa kemajuan. Maka, ia meminta kesediaan sang ayah untuk mengangkat anaknya ke kursi direktur. Handoko juga sebelumnya sudah sering mengamati cara kerja Narendra sewaktu jabatannya masih di bawah, yaitu sebagai salah satu staf keuangan. Memang, Handoko tidak aktif ngantor di PT. Adi Jaya Advertising, tetapi banyak mata-mata yang ia tempatkan di sana. Gunanya tidak lain untuk memantau seluruh kegiatan perusahaannya. Bukan, Handoko bukan tidak percaya kepada Darmawan sebagai direktur, tetapi ingin semuanya lebih terukur. Mata Handoko juga akan jeli melihat mana-mana yang berpotensi dan mana yang hanya menjadi biang keladi. "Perkenalkan, ini anak bungsu saya. Mulai hari ini dan selanjutnya, dia yang akan menggatikan posisi saya. Jadi saya mohon pada saudara-saudara sekalian agar dapat bekerja sama dengannya." "Perkenalkan, nama saya Narendra Putra Darmawan, mungkin banyak yang belum kenal. Mohon kerja samanya." Narendra mengangguk hormat di podium. Terdengar riuh tepuk tangan para pegawai. Dalam kesempatan itu, Pak Darmawan juga mengenalkan orang-orang penting di perusahaannya yang akan menunjang pekerjaan sang anak. Kini, tiba saatnya Narendra menghampiri para karyawan dan menjabat satu per satu tangan mereka. Narendra memasang senyum sambil terus menyalami tangan-tangan itu. Ucapan selamat dan segala bentuk pujian ia dengar dari mereka. "Pak, ganteng banget, sih!" pekik seorang karyawati yang sedang dijabat tangannya oleh Narendra. Hal itu sontak membuat sang bos baru merasa sedikit tidak enak hati. Pun, berdampak kepada si karyawati yang akhirnya kena sikut oleh yang lain. Narendra hanya mampu menggeleng-geleng.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD