Bab 3

906 Words
Hari-hari Narendra selalu diawali dengan bertemu Diandra. Bukan untuk kencan atau sejenisnya, melainkan sekadar mengambil roti manis pesanannya. Kebetulan memang rumahnya tidak jauh dari toko roti itu. Hampir tiga bulan semenjak pertama kali Narendra memesan roti manis, mereka semakin akrab. Kini, pesanan Narendra sudah berkisar dua ratusan roti manis per hari. Omset Diandra menanjak pesat. Ia juga sudah menambah karyawan demi memenuhi pesanan. Namun, dari keenam karyawannya tetap tidak ada satu pun yang bisa membawa kendaraan. Jadi lagi-lagi untuk urusan antar mengantar tetap Diandra yang melakukan. Pagi ini pukul 07:15 WIB, Diandra merapikan roti-roti yang baru keluar dari oven. Sesekali ia menoleh ke arah pintu, sekadar memastikan tidak ada orang yang masuk. Tidak seperti biasanya, Narendra belum mengambil pesanan. Tidak terasa napas gadis itu dihela dengan sedikit berat. Perasaannya seolah mengisyaratkan sesuatu yang tidak enak. Namun gadis itu mencoba bersikap biasa, sambil menata debar lain di hatinya. Di saat bersamaan, suara pintu dibuka membuat gadis itu reflek menoleh. Namun, senyum manis yang tadi disiapkannya berubah menjadi ekspresi penuh keterkejutan. Di sana terlihat sosok lain. Kinara. "Kangen." Diandra maju dan menubruk sosok itu. "Kakak juga," katanya. Keduanya berpelukan. "Ehm, mohon maaf mengganggu. Maaf, hari ini saya terlambat." Suara berat itu otomatis membuat kedua gadis cantik itu mengurai pelukan. "Ah, nggak apa-apa," sahut Diandra. "Sudah disiapkan?" tanya lelaki yang pagi ini mengenakan setelan hitam putih lengkap dengan blazer. Pomade di rambutnya menegaskan kesan rapi. Tampilan yang sungguh membuat mata gadis-gadis melotot dibuatnya. "Sudah." Dengan cekatan, Diandra mengambil dus-dus yang sudah disiapkan di meja khusus. "Aku bantuin, Kak," kata sebuah suara. "Boleh." Keduanya membawa dus-dus itu keluar. "Makasih, Nar," kata Diandra kepada Kinara. Kinara adalah adik Diandra. Ia bekerja menjadi pramugari di salah satu maskapai penerbangan. Ia tinggal di mes karyawan yang lokasinya jauh dari pusat kota. Gadis itu baru berusia 30 tahun, terpaut 5 tahun dari sang kakak. Mereka adalah gadis-gadis tangguh yang hidup tanpa orang tua. Keduanya selalu saling menjaga. "Sama-sama." Narendra sudah selesai membenahi dus-dus di bagasi mobilnya. Pria modis nan tampan itu kemudian mendekati kedua gadis yang tadi membantunya membawa roti ke dalam mobil. "Makasih banyak." "Sama-sama." Suasana hening setelah jawaban singkat Diandra. Ia heran mengapa Narendra belum beranjak dari tempatnya. Laki-laki itu malah terlihat mengulum senyum. Diandra tidak merasa sedang diajak senyum oleh pria yang sudah menjadi bunga tidurnya itu. Dengan penasaran, Diandra menoleh ke sampingnya dan mendapati sebuah kenyataan yang lumayan pahit. Sepertinya Narendra ... ah, sudahlah. Memang dari dulu Diandra selalu kalah pamor jika dibandingkan dengan sang adik. Jadi, Diandra memutuskan untuk mundur teratur. *** Narendra mengendarai mobilnya sangat pelan. Ia sedang merasa berbunga-bunga. Pertemuannya dengan Kinara dilanjutkan dengan kenalan ala kadarnya tadi sukses membuat hatinya bersorak. Gadis itu sangat cantik, batin Narendra. Narendra sampai kantor dengan masih dalam mood terbaiknya. Ia menyapa terlebih dulu semua karyawan yang ditemui. Mereka yang memang sudah terlanjur mengagumi sang bos, kini semakin mengelu-elukan sikap ramahnya. Benar-benar bos idaman. "Pak Narendra itu ramah banget, ya." "Aku penasaran kayak apa ceweknya." Itu salah satu adegan pergosipan yang terdengar. *** Diandra dan Kinara sedang menikmati makan malam di sebuah restoran. Mereka mulai membuka obrolan. Terutama Kinara yang memang senang sekali bercerita tentang pengalamannya. Lalu, Kinara mulai menyebut nama Narendra. "Narendra itu pelanggan Kak Dian udah lama?" Pertanyaan yang hampir membuat Diandra terbatuk. Ia tidak menyangka Kinara bertanya tentang Narendra. "Baru." Pada dasarnya Diandra bukan orang yang suka bercerita, meski kepada Kinara. "Dia ganteng banget. Kayaknya besok-besok aku mau sering-sering main ke toko Kak Dian. Boleh, kan?" Raut penuh binar kebahagiaan terlihat jelas di hadapan Diandra. Betapa nyata ketertarikan Kinara pada sosok pelanggan tampan toko roti Diandra. Diandra mengutuk keadaan. Ia benci harus selalu bersaing dengan adiknya. Ia tidak menginginkan hal itu. Kinara anak yang baik meski nilai akademisnya selalu kalah jika dibandingkan dirinya. "Datanglah," jawab Diandra akhirnya. "Asyik, aku bisa mengisi liburan kali ini dengan mencuci mata. Ya, syukur-syukur kalau dia juga tertarik. Iya, kan, Kak?" "Memangnya kamu libur berapa lama?" "Tiga hari, sih." Kinara menyuap salad sayur pesanannya, sedangkan Diandra menyendok nasi goreng. Keduanya memang saudara kandung, tetapi untuk beberapa hal mereka memiliki pilihan yang sangat berbeda. Gadis dengan tinggi 170 cm itu sangat anti dengan makanan berlemak. Bagi Kinara, menjadi langsing itu kewajiban. Ia akan sangat frustrasi saat berat tubuhnya naik, bahkan jika itu hanya 0,5 kilo. Diakui Kinara, menjadi seorang pramugari profesional memang berat tuntutannya. Terlebih mengenai penampilan. Diandra sendiri kadang kasian melihat sang adik yang akhirnya tidak bisa makan ini itu sepertinya. Bahkan, saat hidung mancung Kinara mengendus aroma vanila di toko rotinya, Diandra tahu sang adik mati-matian untuk tidak mencicipnya barang secuil. Kinara takut ketagihan. Jika sudah ketagihan akan makin susah untuk berhenti. Mau bagaimana lagi? "Kamu naksir Narendra?" Diandra hanya ingin kepastian. Ia akan bersiap untuk mengemasi hatinya yang telanjur berantakan. Masih dengan binar bahagia yang sama, Kinara mengangguk pasti. Bibirnya ditarik ke samping hingga tercipta sebuah senyum yang teramat indah. Bibir berpulas lipstik berwarna merah menyala itu seolah-olah berbicara pada Diandra untuk berbalik. Berbalik arah, lalu menyerah. Diandra harus benar-benar berbalik arah! "Memangnya Kak Dian nggak naksir dia?" Dengan berat hati, Diandra menggeleng. Kinara menyipit tak percaya, tetapi akhirnya mengangguk. Kembali menikmati makanannya dengan riang. Setidaknya aku tak lagi harus bersaing dengan Kak Dian, batinnya. "Lagian kalau Kakak naksir pun, mana mau dianya," jawab Diandra terkikik. Keduanya sama-sama terkikik. Biarlah aku yang mengalah, batin Diandra. "Kalau ternyata dianya mau, gimana?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD