Bab 14 (18+)

1131 Words
Kinara terbangun dengan kepala masih berdenyut. Ia mencoba duduk dan menyibak selimut. Matanya dipejamkan kembali guna mengurangi denyutan yang masih bercokol di kepala. "Udah bangun, Nar?" Sebuah suara mengagetkan Kinara, lengkap dengan elusan tangan di rambut berantakan gadis itu. Si pemilik suara itu pun ikut duduk. Kinara menoleh dan ternganga. Ia tak menyangka tengah berduaan dalam sebuah ranjang dengan sang kapten. Gadis itu sampai mengucek matanya berulang kali demi memastikan apa yang dilihatnya adalah nyata. "K-Kep, kok, di si-sini?" Kinara tergagap. Bingung dengan apa yang dialaminya. Mario mulai mengelus pramugari cantiknya. "Kamu sendiri yang minta ditemenin tidur." Kembali mulut Kinara membulat. Ia sampai menutupnya dengan kedua telapak tangan. Berharap apa yang didengarnya tidaklah benar. Namun, Mario meyakinkan bahwa apa yang dikatakannya itu benar. Mario mengatakan semalam mereka bercinta dengan panas. Tak lupa, elusan kembali diberikan oleh lelaki itu. Yang kemudian menjadi semakin intim. "Kep, i-ini nggak bener. Kalau sampai perusahaan tahu gimana?" Kinara benar-benar takut sekarang. Ia memastikan kariernya akan segera hancur jikalau ada yang tahu tentang ini. Dalam pikirannya, kemungkinan-kemungkinan terburuk mulai membayang. Ia bahkan mulai menangis. "Hei, jangan nangis! Jangan khawatir, kalau kita main bersih nggak akan ada yang tahu, kok. Mending sekarang mandi abis itu jalan-jalan." "Kep, tolong jangan lakukan ini lagi!" "Kalau memang kamu nggak mau, it's ok." Mario menyambar handuk dan pergi ke kamar mandi. Tak dihiraukannya lagi Kinara yang masih menatapnya dengan perasaan bermacam-macam. Laki-laki itu yakin penyesalan dan penolakan yang Kinara tunjukkan hanya sementara. Selanjutnya, ia yakin akan ada malam-malam panas lain. Kinara yang merasa diabaikan segera keluaf kamar itu. Mengatur langkah sehati-hati mungkin menuju kamarnya. Ia beruntung tak mendapati siapa pun selama perjalanan dari kamar sang kapten ke kamarnya. "Semoga nggak ada yang tahu semua ini." Kinara baru saja masuk ke kamarnya yang memang terhubung dengan kamar pramugari lain, seseorang menyapanya. Gadis itu terkejut setengah mati. Keringat dingin langsung merembes. Ia adalah pramugari seniornya, Ribka Maharani. Sang senior menatap Kinara dari ujung kaki ke ujung kepala. Tatapannya sedikit sinis. Tangannya bersedekap, tubuhnya disandarkan ke pintu penghubung kamar itu. Ia seolah-olah ingin menerkam Kinara. Kinara bergidik ketakutan. Ia kembali berpikir karier yang susah payah ia dapatkan itu pasti akan hancur dengan segera. Ingin rasanya Kinara kabur. Ketakutan Kinara bertambah mendengar kalimat yang dilontarkan oleh seniornya yang mengintimidasi. "Denger, gue tahu apa yang lo lakuin semalaman." "Mbak, memangnya sa-saya salah apa?" "Salah karena lo ngambil kesenangan gue." "Apa?" Ribka dengan bangga mengatakan bahwa Mario adalah pacarnya selama ini. Kinara bagai disambar petir mendengarnya. "Intinya, gue tahu kebusukan kalian." Kinara memejamkan mata, bingung. "Mbak, saya nggak tahu apa yang terjadi semalam. Yang saya ingat terakhir itu ke bar dan tiba-tiba kepala pusing banget. Abis itu nggak ingat." "Lo dikerjain sama Mario, bego!" "Dikerjain?" "Minuman lo pasti dicampur obat, abis itu dengan bebas dia bisa pake lo, bego!" "Terus saya mesti gimana, Mbak?" "Lanjutin aja kalau lo demen sama dia!" "Ah, nggak, nggak! Saya takut, Mbak." Kinara tahu selain kariernya yang terancam, ia juga dengar Mario sudah beristri. Ia tak bisa membayangkan dirinya berlaku sejahat itu pada wanita lain. Ribka hanya menyeringai. Ia menggeleng. Entah apa arti gelengan itu. Tiba-tiba Kinara ingat bahwa tas selempangnya tertinggal di kamar Mario. "Saran gue, sih, lo manfaatin aja tuh Mario!" "Mbak, maaf saya permisi mau ambil tas." Kinara kabur ke luar kamar, menyisakan Ribka dengan segala kesinisannya. Sampai di depan kamar Mario, Kinara segera mengetuk pintunya. Mengulangnya sekali lagi karena tak ada jawaban. Tak lama, pintu terbuka. Mario yang terlihat sudah mandi dan hanya mengenakan handuk dari pinggang sampai lutut itu menyeringai. Ia menunjukkan ponsel Kinara yang sedang berdering. Di layar tampak wajah Narendra dengan nama My Prince. Tangan Mario menarik Kinara untuk masuk ke kamarnya. "Kalau saya angkat panggilan ini, kira-kira apa yang akan terjadi, Nar?" tanya Mario dengan seringaian. "Kep, tolong jangan lakukan!" mohon Kinara. "Kenapa?" Kinara tak sanggup membayangkan akibatnya. Mario menggerakkan jempolnya ke arah tombol hijau di layar. Otomatis Kinara makin ketakutan. Gadis itu menggeleng tanpa henti. "Kep, tolong jangan lakukan itu!" Mario tertawa. Kemudian menggeser tombol ke arah ikon kamera yang berwarna merah. Sedikit kelegaan dirasakan Kinara. Namun, ketegangan tak sampai situ. "Dia telepon lagi. Angkat, ya! Bilang, kita abis bersenang-senang semalaman." Kinara rasanya sudah tak ingin hidup. "Kep, lakukan apa saja, asal jangan itu!" "Berarti ena-ena lagi sama kamu boleh?" Tidak ada pilihan lain. Kinara belum siap jika Narendra harus mendengar apa yang terjadi padanya semalam. Kinara tak yakin Narendra akan percaya padanya. Ia takut justru Narendra marah dan kecewa. Lalu, dengan terpaksa Kinara mengangguk. Mario tersenyum menang. Dengan semangat, ia menjamah lagi gadis yang bahkan belum sempat membersihkan diri dari dosa-dosa semalam. Laki-laki itu mengulangi lagi kesenangannya. Namun, beda tadi malam dengan saat ini. "Apa Kep nggak merasa bersalah ke istri?" Kinara melontarkan pertanyaan yang bahkan tak mampu memadamkan api. "Masalah merasa bersalah dirasain entar." Kinara hanya bisa prihantin dalam hati. Aktivitas mereka terus berlanjut. Dering ponsel Kinara juga tak berhenti. Kinara merasakan sensasi aneh dalam dirinya, antara prihatin, takut, tetapi mulai terbawa suasana. Apalagi Mario begitu piawai merangsangnya. Sentuhan halus tangan dan bibir laki-laki itu seolah sudah membuat Kinara terbang. Kinara bukanlah gadis yang baru sekali melakukan hubungan seksual, ia cukup berpengalaman dengan laki-laki. Kebetulan, Narendra bukanlah laki-laki yang serupa dengan mantan-mantan pacar Kinara. Sikap Narendra yang terkesan menghindar saat diajak bercinta sebenarnya cukup membuat gadis itu kesal. Namun, rasa cinta yang dimilikinya mampu meredam kekesalan. Hanya saja, saat seperti ini, semua hasrat yang selama beberapa waktu tersimpan, seperti sedang sengaja dibuka kerannya. "Oh, Kep! Jangan berhenti! Lakukan semaumu!" "Cieee yang h***y!" ledek sang kapten. "Tanggung jawab, Kep! Sampai puas." Napas Kinara sudha tak lagi normal. Ia mulai terengah-engah. Kata-katanya pun tak lagi utuh. Tak ada yang bisa membendung dosa itu. "Kamu tenang aja, Mario siap melayani." "Kep, ah! Jang-an bany-ak omong!" Kinara berusaha berbicara, meski napasnya terputus-putus. Bahkan, nadanya tak ubah sebuah desahan. "Ini nggak banyak omong, Sayang." Posisi mereka yang tadinya misionaris, kini berbalik. Kinara memacu hasrat di atas tubuh Mario. Menggeliat dan bergoyang semampunya. Meluapkan semua nafsu. Membanjiri tubuh di bawahnya. "Kep, udah lama... nggak begini, ah, nikmat...." Andai Kinara tahu, di seberang sana, Narendra sedang berusaha fokus pada kerjaannya. Kekhawatirannya memuncak sebab Kinara tak membalas pesannya sejak semalam. Hal yang tidak biasa. "Ke mana kamu, Nar? Angkat telepon aku!" Narendra bolak-balik menekan ikon gagang telepon berwarna hijau pada nama My Lovely Princess. Usaha Narendra menghubungi Kinara belum juga berhasil. Ia sampai frustrasi karenanya. Meja kerjanya menjadi sasaran kegelisahan dengan bolak-balik mengalami gebrakan. "Maaf, Pak, rapat dengan klien sebentar lagi dimulai. Apa semua berkasnya sudah Bapak pelajari? Semua sudah saya cek dan Bapak tinggal mempresentasikannya." Pak Cokro mengulang kalimat-kalimat itu sampai dua kali. Sayangnya, Narendra tak jua menanggapi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD