Bab 13

1141 Words
Jika boleh memilih, Diandra ingin tidak merasakan tersiksanya mencintai dalam diam pada laki-laki yang mencintai adiknya. "Mbak, Di, ngelamun terus dari tadi?" "Eh, Wan. A-aku cuma lagi bingung aja." Diandra yang tadinya sedang memeriksa berkas keuangan tokonya, akhirnya memilih untuk keluar. "Bingung kenapa, Mbak kalau boleh tahu?" Ridwan mengintil Diandra sampai ke depan. "Kayaknya aku nggak bisa cerita ke siapa-siapa." "Oke kalau gitu. Tapi, ketika Mbak Di siap cerita, saya janji akan jadi pendengar. Pendengar yang baik." "Apa menurut kamu di depan teman-teman juga kita harus pura-pura pacaran?" "Itu terserah Mbak Di aja, tapi idealnya, sih, iya. Masa di depan adik Mbak Di aja. Ya bisa aja, tapi jadi nggak total, bakalan lebih susah aktingnya." "Jadi intinya kita harus akting terus-terusan?" "Ya kalau mau hasilnya kayak beneran." "Ah, repot ternyata membangun kebohongan." Mereka berdua masih berdiri bersisian. "Kalau gitu jangan bohong lah, Mbak Di!" "Udah telanjur. Mau nggak mau harus dilanjut. Kamu mau bantuin saya, kan?" Ridwan menoleh pada gadis itu sejenak. Diandra, juga menoleh pada Ridwan. "Buat Mbak Di, apa, sih, yang nggak?" "Gombal!" "Serius." Ridwan tersenyum. Apa yang dikatakannya memang benar, ia tak mengada-ada. Entah sejak kapan hati laki-laki itu merasa gadia di sampingnya itu butuh dirinya. Butuh pelindung, sosok yang begitu perhatian dan sayang. Walau Ridwan ragu dengan perasaannya, tetapi yang jelas ia tak mengada-ada. Hatinya mulai tersentuh. "Jangan berharap banyak dari saya, Wan!" Ridwan lagi-lagi tersenyum. Ia sadar dirinya tak layak mendapatkan cinta gadis itu. Akan tetapi, jika ia bisa membantu Diandra, kenapa tidak? Diandra bergegas masuk ke toko tanpa Ridwan. Sedangkan, pria itu mengehela napas. Mengutuk diri karena mudah sekali terbawa perasaan. "Susah jadi cowok baperan emang." Mau tak mau Ridwan kembali masuk toko. Di dalam toko tampak para karyawan sibuk menghitung roti-roti. Ada yang menyiapkan kardus, lakban, dan gunting. Ridwan tahu, mereka pasti sedang menyiapkan pesanan Narendra. Ridwan izin untuk menyeduh kopi terlebih dulu pada Diandra. Ia memang terbiasa menikmati kopi sesaat sebelum mengendarai kendaraan. Aroma kopi yang bercampur s**u merebak memenuhi ruangan. Di toko itu memang tidak tersedia mesin yang menghasilkan kopi nikmat. Hanya ada dispenser air panas dan kopi kemasan. Sangat murah meriah. Ridwan membawa kopinya ke depan toko. Dari dalam, Diandra mengawasi pria itu. Terlihat Ridwan mengeluarkan sebatang rokok, kemudian menyulutnya. "Cowok kenapa suka banget ngisep rokok?" "Udah umumnya begitu, Mbak," jawab Mela yang sedang melakban kardus. "Iya, sih, tapi rokok itu nggak sehat, 'kan?" "Memangnya mi instan sehat, Mbak?" "Ya nggak sehat, sih. Tapi mi instan enak." Diandra masih terus menatap Ridwan. "Tapi kan nggak sehat, Mbak. Buat mereka yang ngerokok, mungkin rokok itu juga enak," jawab Mela lagi. "Tapi baunya nggak enak banget, 'kan?" Mela menoleh ke arah Diandra dengan lelah. Memang bosnya itu bila sudah bicara tak bisa dibantah. Jadi Mela memilih diam. Sedangkan, teman-teman lain justru terkikik. Mereka semua paham dengan tabiat Diandra. Tak lama, toko roti itu dipenuhi suara merdu Maudy Ayunda dengan Perahu Kertas-nya. Diandra dan semua karyawan wanitanya bersenandung bersama. Mereka terlihat begitu bersemangat menyiapkan roti-roti sambil bernyanyi. Suasana riuh itu terdengar sampai ke luar. "Rame banget di sini?" Ridwan yang memang belum begitu paham dengan kelakuan para gadis itu hanya melongo. Ia mengamati betapa semangatnya mereka. Akhirnya Ridwan tersenyum maklum. *** Kinara sedang dalam penerbangan yang kembali dipertemukan dengan Mario. "Mau ke mana aja rencananya, Nar?" Mario yang sengaja menjajari Kinara bertanya tentang rencana gadis itu menghabiskan malam di Pulau Dewata. Suara roda koper mereka mengiringi derap sepatu. Menjadikannya riuh. "Belum ada rencana, sih, Kep. Kenapa?" Kinara balik bertanya pada Mario. "Siapa tahu mau nemenin saya ke bar." Kinara memajukan bibirnya sejenak. Mario menoleh untuk menunggu jawaban. Mario dan Kinara akhirnya janji untuk bertemu di luar hotel, lalu akan pergi bersama. Tempat yang mereka tuju tidaklah terlalu jauh. Hanya saja sedikit beda arah dengan tempat yang didatangi oleh rekan terbang mereka. "Kenapa pergi ke bar, Kep?" tanya Kinara. Kini mereka sedang menyusuri jalanan di dekat hotel menuju bar. Mario bejalan sambil menikmati kepulan asap dari rokok yang diisapnya. Matanya menyusuri deretan toko penjual suvenir yang dipenuhi para wisatawan. Musik saling sahut antara toko satu dengan yang lain. Tak jauh dari sana deretan bar juga sama ramainya dengan toko suvenir. Sebenarnya tidak ada alasan khusus kenapa Mario ingin ke bar, selain lelah. "Lagi males pergi jauh, tapi pengen keluar." "Ngopi aja gitu, Kep. Kan lebih aman. Daripada besok nggak bisa terbang, Kep." "Cuma mau minum dikit aja, kok, Nar." "Tapi saya nggak minum alkohol, Kep." "Bisa minum minuman ringan di sana." Akhirnya Kinara mengalah. Ia juga lumayan suka mendengarkan entakan musik cepat yang diputar di bar-bar. Hal itu kadang bisa mengurangi lelah. Kelelahan melayani para penumpang yang kadang kelakuannya lebih songong dari raja. Sampai di bar, mereka memesan minuman. Kinara mulai mengangguk-angguk mengikuti musik yang terdengar. Sembari menunggu minuman, keduanya mulai bercerita apa saja keseruan dan pengalaman-pengalaman selama terbang. Kinara merasa cap sangar pilot itu pudar. Ia justru merasa Mario adalah sosok menyenangkan. Di antara ingar musik dan aroma alkohol yang menyengat, mereka mulai tertawa. Membicarakan kekonyolan mereka berdua saat menjalani profesi di dunia penerbangan. Mario bercerita pernah ketiduran saat terbang semasa masih jadi FO gara-gara semalaman diare. "Lagian, kok, bisa diare, Kep?" tanya Kinara. Gadis itu membayangkan Mario menahan mulas semalaman. Belum lagi ketiduran di kokpit saat menerbangkan pesawat. Sungguh pengalaman ajaib yang mau tak mau membuat Kinara tertawa geli. Mario juga bercerita tentang pengalamannya mencoba arak bali yang mengakibatkan ia terpaksa rela gagal terbang. Kinara tak henti-hentinya tertawa. Namun, gadis itu tiba-tiba merasa kepalanya pusing. Padahal ia tak minum alkohol. Makin lama terasa kiat berat. Kinara memijit kening dan pelipisnya. "Kamu nggak apa-apa, Nar?" tanya Mario. Kinara menggeleng. Akan tetapi, badannya ikut merasa lemas. Sampai-sampai gadis itu menelungkup di meja bar. "A-aku kenapa begini, sih?" gumam Kinara. "Mungkin kamu kelelahan, Nar," bisik Mario. "Sa-saya ma-mau ke toilet dulu, Kep." "Aku antar, aku antar!" Dengan sigap, Mario menopang tubuh Kinara yang lemah. Dilingkarkannya tangan kokoh itu ke pinggang Kinara. "Pusing banget, Kep, lemes, mual." "Habis ini langsung pulang aja, ya!" "Iya." Kinara memuntahkan isi perutnya di wastafel. Namun, rasa mualnya belum juga hilang. Ia terus-terusan berusaha mengelurkan isi perut, tetapi tak membuahkan hasil. Keringat dingin mulai mengucur. Bahkan, rasa lemasnya semakin menjadi. Ia sampai hampir terjerembap. Untung saja Kinara bisa keluar dari sana. "Udahan muntahnya? Udah enakan belum?" Mario tampak sedikit khawatir. Kinara hanya menggeleng seraya menyandarkan tubuhnya pada Mario. Ia sudah tak kuat berdiri sendiri. Lalu, entah mengapa aroma segar yang menguar dari kulit pria itu tiba-tiba terasa begitu nikmat di indra penciuman Kinara. Ia mendekatkan hidungnya ke leher sang kapten. "Kep, wangi banget. Bikin h***y," bisik gadis itu terang-terangan. Ia bahkan seolah-olah tak peduli dengan batas profesional. Mario hanya menanggapi hal itu dengan senyuman. Ia berusaha membawa Kinara keluar dari bar. Memapahnya menuju hotel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD