6

1505 Words
"Cahyani Ardianti Kusumaningrum, jangan ketawa gitu!" sungutku sebal. Cahyani tidak peduli, malah tertawa lebih keras. Dia memang sahabat abal-abal. Bukannya prihatin dengan apa yang terjadi padaku karena si bayi pagi ini, dia malah tertawa terpingkal-pingkal karena menganggapnya lucu. "Udah, dong! Niat amat ketawanya, Cah?" "Sorry, habisnya si bayi imut banget." Imut darimana? Aku nggak ngerasa dia itu imut sama sekali. "Udah, jangan manyun, Del," kata Cahyani.sembari meraih ujung baju olahraga lalu mengusap air matanya yang sampai turun saking ngakaknya tertawa. Saat ini kami sedang duduk di pinggir lapangan menonton anak-anak cowok sedang bermain bola. Setelah melakukan olahraga dan lari beberapa putaran, kami dibebaskan tetapi dilarang masuk ke kelas. Jadi anak cowok memutuskan bermain sepak bola sedangkan anak cewek menonton saja. Sungguh kerjasama yang luar biasa. "Jadi, kamu gimana? Luluh sama si bayi?" tanya Cahyani. Aku menggeleng. "Ogah! Mana mungkin aku luluh sama bayi, Cah? Aku nggak akan pernah pacaran sama dia. Never," delikku sebal. Cahyani tersenyum kecil. "Ya kali aja gitu, suatu saat yang kamu bilang never malah jadi forever," godanya sambil menoel-noel lenganku. "Dih, najis," sahutku sambil bergidik ngeri. "Aih, s***s amat reaksimu. Lagipula, apa salahnya sih pacaran sama yang lebih muda?" tanya Cahyani yang lagi-lagi membahas hal yang sama. "Malas aja, pokoknya bukan tipeku," sahutku menegaskan. Cahyani mendesah pelan. "Udah nggak musim patokan sama tipe, Del." "Musim? Emang dipikir buah? Ogah, pokoknya kalau aku harus pacaran, aku nggak mau sama si bayi. Titik, nggak pake koma." Cahyani terkekeh. "Tapi habis titik ada huruf kapital buat memulai kalimat baru lho, Del," goda Cahyani dengan senyuman maut menyebalkan. "Nggak usah senyum gitu, serem!" Cahyani tidak peduli. "Kamu tuh mikirin pacaran mulu, kita udah kelas 12! Apa persiapanmu menjelang UN, US dan masuk universitas?" todongku yang membuat Cahyani hanya memanyunkan bibir. "Aku bimbel, kok. Sampe otakku rasanya mau konslet karena kebanyakan belajar." jawab Cahyani. "Kalau kamu, Del?". "Aku belajar di rumah aja, bimbingan di sekolah udah bikin aku stress," jawabku. "Kamu kan smart, jadi nggak perlu banyak belajar aja udah jelas bakalan lulus," kata Cahyani rada nyindir. "Aih nggak usah gitu, aku ini kalangan elit ( ekonomi sulit ), nggak bakalan bisa bayar les gitu. Yang ada, aku malah berniat ngelesin privat ntar. Lumayan uangnya bisa ditabung buat nambah uang persiapan masuk kuliah atau hal lain!" "Sorry, aku nggak maksud gitu," kata Cahyani merasa tidak enak. "Nggak apa-apa, hidup tiap orang kan beda. Kalau kaya semua, yang miskin siapa? Ya nggak?" Cahyani memelukku sebentar. "Kita harus temenan selamanya ya," pesan Cahyani. Aku mencebikkan bibirku. "Selamanya? Ntar lulus SMA, beda kampus kamu bakalan ketemu temen baru dan lupa sama aku," cibirku. "Idih, ngejudge duluan. Kebiasaan burukmu yang harus segera diubah, tuh!" sergah Cahyani. "Biarin! Emang kebanyakan begitu, tuh." sahutku tidak mau kalah. "Aih nggak semuanya gitu, Adel." Cahyani mencoba meyakinkanku. "Ah, apa karena praduga cetekmu itu, kamu nggak mau pacaran sama yang masih muda?" Cahyani meluncurkan serangan dadakan. Aku hanya mengedikkan bahu. "Yang lebih tua belum tentu uangnya banyak, Del! Kalaupun banyak, tapi nggak loyal, buat apa? Ya nggak sih?" Aku diam, enggan menanggapi. "Oh!" pekik Cahyani tiba-tiba. Sahabatku itu menyikut lenganku membuatku menoleh ke arahnya. "Jadi pacarnya si bocah SMP aja, Del! Aku lihat dia lumayan tajir!" Cahyani ngawur. "Dia? Bayi itu? Aku aja yang SMA harus banting tulang buat bisa jajan, kamu malah bilang dia tajir. Tajir dari mananya?" delikku sebal. Cahyani nyengir. "Kamu nggak lihat? Dari ujung sepatu sampe jam tangan yang dia pake, semuanya bermerek, Del. Dia tajir tauk or minimal orang tuanya konglomerat," jelas Cahyani dengan yakin. Aku diam sebentar, memikirkan apa benar yang Cahyani katakana barusan. Kalau diingat, dia emang tampilannya kece dibanding anak SMP kebanyakan. "Jadi gimana? Mau pacaran sama si bayi?" "Lupakan! Aku nggak akan pacaran demi uang! Meski uangnya seabrek-abrek, itu uang orang tuanya. Lagian aku nggak akan mau pacaran demi uang, aku masih percaya suatu hubungan harus didasari atas cinta." Cahyani terkekeh. "Gayamu, Del! Nikah modal cinta doang nggak bisa, mau makan apa kamu? Batu?" "Ya nggak gitu juga, tetep makan nasi! Kan bisa usaha berdua, kerja," sanggahku. "Ya, dah," sahut Cahyani enggan berdebat. "Jadi, kamu dikasih roti sama si bayi? Minta dong?" "Rotinya udah aku makan tadi, laper," jawabku. Cahyani manyun, sedikit kecewa. "Enak rotinya?" "Enak tapi sayang," jawabku menggantung. "Kenapa?" Cahyani penasaran. "Rotinya kecil amat." "Bhak, haha." Cahyani terbahak. "Dasar kamu! Aku kira sayang kenapa," kata Cahyani masih sambil ngakak. Aku hanya nyengir. Menyenangkan rasanya saat melihat sahabat tertawa lepas atas lelucon garing yang kita buat. Setidaknya, dia bukan tertawa di atas penderitaanku. *** Bel tanda pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi. Namun, aku masih di kelas, menemani Cahyani piket, bukan membantu. Aku cuma menjadi Satpam untuk menangkap anak cowok yang suka kabur atau melalikan tugas. Anak cowok takut padaku karena bisa bela diri membuatku tidak menyesal belajar Karate. Setidaknya, berkat kemampuan ini, aku bisa melakukan kebaikan. Aku nggak suka cowok lemah. Walau lebih tidak suka pada cowok sombong dan sok kaya. Rsanya, ingin menonjoknya saja kalau bertemu dengan tipe cowok begitu. "Del," panggil Cahyani yang membuatku yang lagi makan es krim noleh sama dia. "Kenapa, Cah?" "Udah kelar." "Oh, mau pulang sekarang?" Cahyani mengangguk. "Iya, tapi temenin aku bentar." "Ke mana? Toilet?" Cahyani menggeleng. "Bukan! Bentar, deh! Aku buang sampah dulu," katanya lalu berjalan keluar dari kelas. Aku hanya mengangguk. Tak lama kemudian Cahyani kembali ke kelas. Setelah meletakkan keranjang sampah di tempatnya, Cahyani mengambil tas ranselnya lalu berjalan mendekatiku. "Ayo!" ajaknya. Aku mengangguk lalu mengikuti Cahyani yang sudah jalan duluan. Anehnya, dia bukan ke pintu gerbang, Cahyani malah pergi ke parkiran yang berada di belakang kelas XI. "Ngapain ke sini, Cah?" tanyaku setelah berhasil mensejajarkan posisi kami. "Ada yang ngirim surat," jawabnya. "Surat ancaman? Mana orangnya? Sini aku hajar!" kataku sambil menggulung satu lengan seragamku. Cahyani tergelak pelan. "Suratnya buat aku, Del. Bukan buat kamu. Jadi surat yang aku terima bukan surat ancaman, tapi surat cinta," jelas Cahyani. "Oh," kataku sambil ngangguk-ngangguk. Tiba di parkiran, aku melihat seorang cowok sudah menunggu Cahyani. Aku tidak mengenalnya. Mungkin adik kelas atau teman seangkatan yang tidak pernah satu kelas. Aku tidak begitu peduli dengannya. Jika dia macam-macam, aku akan menghajarnya. "Bentar ya," kata Cahyani lalu berjalan mendekati cowok itu. Aku hanya mengangguk lalu menyandarkan diri di tembok parkiran. Aku membiarkan mereka bicara berdua. Lagipula, itu bukan penembakanku. Walau tidak bisa mendengar pembicaraan mereka, bahasa tubuh mereka berdua begitu kentara dan mudah dibaca. Cahyani tampak bersemu merah saat cowok itu mengungkapkan cinta. Aku belum pernah mengalami proses penembakan seperti itu. Kebanyakan cowoknya to the point. Entah kenapa di saat memikirkan ini, wajah si bayi muncul di benakku. Dia benar-benar penghilang mood. Kenapa aku harus ditembak bayi, sih? Menyebalkan. Aku menegakkan tubuh saat Cahyani kembali dengan senyuman mengembang di bibirnya. Aku melihat ke arah cowok itu , dia juga melakukan hal yang sama. Mereka berpisah dengan senyum bahagia membuat hatiku rada gatal. "Kenapa kok senyum?" tanyaku penasaran. Cahyani mengangkat dua jarinya sehingga membentuk tanda oke. "Jadian," jawabnya. "Huh? Secepat itu? Emang kamu tahu dia siapa?" tanyaku bertubi-tubi. Cahyani mengangguk. "Tahu," jawabnya santai. "Siapa?" tanyaku. "Gandhi." "Kelas?" "Dua belas." "Jurusan?" "IPA." "Kok aku nggak tahu?" tanyaku heran. "Kamu apa yang tahu?" desis Cahyani membuatku cemberut. Menohok amat itu kata-kata. "Setidaknya aku tahu kamu siapa," sahutku. Cahyani terkekeh. "Udah ah," kataku. "Pulang yuk!" Cahyani mengangguk. Aku dan Cahyani berjalan menuju pintu gerbang sekolah. Sampai di pintu gerbang, aku menoleh kiri-kanan, memindai keadaan. Aku khawatir si bayi tiba-tiba nongol dan merusak hariku. "Nyari apa, Del?" tanya Cahyani penasaran. "Diem, deh! Aku lagi mindai keberadaan virus," jawabku sambil masih fokus noleh kiri-kanan. Aku bernapa lega setelah memastikan bahwa si bayi tidak ada. "Virus?" gumam Cahyani sambil menaikkan satu alisnya. "Udah nggak usah dipikirin. Yuk pulang!" ajakku pada Cahyani sambil senyum lebar. "Oke," sahut Cahyani. Aku berjalan santai dengan Cahyani menuju pinggir jalan untuk menunggu angkot. Belum juga angkotnya datang, sebuah sepeda motor berhenti di depan kami. Tentu saja ada yang mengemudi, bukan ghost rider. Pengemudinya pake jaket dan helm teropong jadi aku nggak tahu dia siapa. Kaca helm dibuka dan langsung melotot saat tahu bahwa dia si bayi. "Hai, Cah," sapanya ramah pada Cahyani. Cahyani yang awalnya kaget langsung  melambaikan satu tangannya. "Hai juga calon masa depan Adel," balas Cahyani yang segera aku sikut lengannya sebagai tanda protes. Cahyani cuek, cuma cekikikan. "Ngapain ke sini? Aku kan udah bilang mau pulang sama Cahyani. Nggak usah jemput! Lagian ngapain bawa sepeda motor? Katanya nggak punya SIM?" cerocosku. Si bayi hanya tersenyum tipis. Nyebelin. "Aku nggak jemput, kok! Aku mau ke suatu tempat," sahutnya. "Lagian, aku ke sekolah aja yang nggak pake sepeda motor soalnya ada peraturan nggak boleh bawa sepeda motor," jelasnya. "Kenapa ngomel? Laper ya?" godanya. Aku mendecih kesal. "Sorry, nggak bisa nemenin makan hari ini. Kita ketemu besok aja ya," imbuhnya. "Hah?" Aku meringis. "Sapa juga yang mau ketemu kamu? Ogah!" Si bayi tersenyum lagi. "Kalau jodoh nggak akan kemana, Del! See you soon," pamitnya lalu pergi. Aku mendengus kesal, terlebih saat Cahyani ketawa terpingkal-pingkal karena ulah si bayi yang sok banget itu. Dasar bayi menyebalkan. Masih bau kencur aja sok bilang jodoh. Dasar bayi! Siapa yang mau jadi jodohnya dia?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD