7

1399 Words
Sore ini aku sudah berada di depan rumah calon murid les privatku. Berdasarkan informasi dari abang Izul, rumahnya beralamat di perumahan Cempaka Indah No.7. Rumah bercat kuning dengan pagar besar berwarna cokelat. Masalahnya, bukan cuma pagarnya yang besar, rumahnya juga. Bisa dibilang rumahnya empat kali lebih besar dari rumahku. Dari celah pagar, aku bisa melihat dua mobil dengan merk 'kelas tinggi' terparkir. Kaya amat ini orang. Jadi apa ya dia? Pejabat? Aku yang sore ini mengenakan celana jeans dengan kaos lengan panjang mendadak merasa seperti gembel. Apalagi, aku datang dengan sepeda motor bebek keluaran 2006. Kalau tahu sekaya ini, aku akan meminta gaji yang lebih tinggi. Dasar Abang Izul oon. Tangkapan besar kayak gini disia-siain. Aku menghela napas sejenak lalu memencet bel. Sembari menunggu pintu dibuka, aku memperbaiki rambutku yang sedikit berantakan. Tak lama kemudian pintu pagar terbuka, aku pun segera masuk. Setelah memarkirkan sepeda motorku, pintu pagar kembali menutup secara otomatis. Tak lama kemudian seorang Satpam mendatangiku. "Mbak Adel ya?" tebaknya. Aku mengangguk mengiyakan. "Silahkan masuk, Non. Nyonya besar sudah menunggu," kata Satpam itu dengan ramah sambil melakukan gesture agar aku mengikutinya. Eh? Non? Tadi perasaan dia manggil aku mbak, deh! Kupingku masih baik kan ya? "Mari, Non!" ajaknya lagi. Oke, fix. Kupingku masih oke. Aku hanya mengangguk lalu mengikuti Satpam yang sudah berjalan lebih dulu. Aku menoleh kiri-kanan, ada jalan setapak besar dengan lantai marmer menuju pintu rumah utama. Di kiri-kanan ada halaman yang sudah disulap menjadi kebun bunga. Jika boleh menebak, di belakang rumah ini pasti ada kolam renang seperti rumah konglomerat di drama Televisi. Saat kami tiba di depan pintu, satpam itu menekan bel pintu utama. Tak lama kemudian pintu dibuka, seorang wanita yang usianya melebihi setengah abad keluar. "Non Adel sudah tiba, tolong diantar ke nyonya besar," perintah Satpam pada wanita itu. Wanita yang cukup berumur itu mengangguk lalu melihat ke arahku. Dia memberikan senyuman ramah dan sedikit membungkukkan badan untuk menyapaku. Untuk sejenak, aku berpikir sudah menjadi pemeran utama wanita di drama bertema ahli waris keluarga kaya raya. "Silahkan masuk, Non," katanya mempersilahkan. Aku hanya mengangguk dengan membungkukkan badanku lebih rendah. Aku tidak mau dianggap kurang ajar di hari pertamaku bekerja sebagai guru privat. Akan sangat memalukan jika sampai dipecat hari ini. Wanita itu membawaku menuju ke ruang makan setelah melewati ruang tamu yang besarnya mirip gedung pernikahan. Di ruang makan, seorang wanita yang mungkin usianya masih 30 tahunan tersenyum menyambut kedatanganku. Sepertinya, dia si nyonya besar. Nyonya besar itu tampak glamor dengan baju mewah dan perhiasan yang terlihat mahal. Bahkan menjual ginjalku pun, tidak akan cukup untuk membeli perhiasan dengan berlian besar itu. Yang membuatku sangat iri adalah wajahnya sangat cantik. Di usia segitu, nyonya besar memiliki kulit terawat yang putih, mulus tanpa flek, jerawat, komedo atau masalah kulit lainnya. Uang memang tidak pernah berdusta. Apalah aku yang cuma memakai bedak bayi ke sekolah. Bayi? Aih, lagi-lagi aku inget dia. Lupakan dia, Adel. Lupakan. "Nona Adel sudah datang, Nyonya," kata wanita yang rupanya seorang pelayan. Nyonya besar itu dengan anggun meletakkan sendok dan garpunya. Setelah menyeka sudut bibirnya dengan tisu, dia berdiri lalu berjalan mendekatiku. "Hai, Adel," sapanya ramah. Aku terpaksa menyodorkan pipi saat nyonya besar itu memelukku dan menyodorkan pipinya. Ini benar-benar mirip drama Televisi. Untungnya ini bukan drama kolosal, ogah harus berlutut untuk sekadar menyapanya. "Wah, Adel cantik banget." "Terima kasih, nyonya besar." Nyonya besar itu tertawa kecil dengan menutupi mulutnya dengan satu tangan. Semakin diperhatikan, aku semakin yakin kalau nyonya besar berasal dari keluarga konglomerat. "Jangan manggil nyonya besar, dong." Dia mengibaskan tangannya. "Panggil Mama." What? Jangan bilang aku mau pura-pura diadopsi padahal mau ngambil organ tubuhku untuk anaknya yang sekarat. "Ah, Bi Asih, panggil My boy. Tell him, Adel was here," katanya memakai bahasa Inggris. "Yes, Mam," sahut pelayan bernama Asih itu. Dia bisa bahasa Inggris, Guys. Pembantu orang kaya emang beda. "Maaf ya, Del. Mama nggak bisa nemenin, ada janji sama teman-teman." "Ah, nggak apa-apa, kok." Aku merasa canggung. "Bentar lagi My Boy datang, santai aja. Anggap rumah sendiri. Mama pergi dulu ya," kata nyonya besar lalu menyodorkan tangannya. Ngapain nih? "Salaman, dong," katanya sambil mengedikkan dagu ke tangannya yang masih terulur ke depan. Aku yang baru paham maksud si nyonya besar segera melakukan apa yang diminta. "Nice. Baik-baik di rumah, dear," katanya lalu berjalan pergi. Aku yang ditinggal sendirian hanya melongo. Anggap rumah sendiri? Rumah sebesar ini? Apa boleh aku buka kosan di rumah ini? Lumayan bisa menghasilkan uang perbulan. Kesadaranku kembali saat mendengar derap langkah. Sepertinya calon muridku sudah datang. Aku mempersiapkan diri sebaik mungkin, bahkan memperbaiki baju dan rambut sekali lagi agar tidak terlihat menyedihkan di mata anak orang kaya. Aku menegakkan tubuh dengan wajah yang melengkungkan senyuman lalu berbalik, menyambut calon muridku. "Hah? Ngapain kamu di sini?!!" teriakku sambil melotot dengan tangan tanpa sadar menudingnya. Dia tersenyum miring. "Kan udah dibilang, jodoh nggak akan ke mana," sahutnya santai. Aku mendadak lemas, rohku sudah melayang bak di komik-komik. Bagaimana bisa si calon murid dengan gaji 400 ribu per bulanku adalah si bayi? Why? Kenapa harus dia?!!! "Del, aku tahu kalau aku ganteng tapi jangan sampai pingsan, aku bayar pelayan bukan buat nyeret kamu," katanya yang segera membuatku mendesis. "Udah alaynya, ayo ikut!" ajaknya sambil mengedikkan dagu ke arah tangga. Aku menoleh ke tangga yang dia maksud. Pasti akan ke lantai dua. Begitu pikiranku. Kami kemudian berjalan menaiki tangga berputar mirip parkiran mall, anak tangganya terlalu banyak, kepalaku sampai puyeng. Sepertinya si bayi ngerjain aku. "Kapan nyampeknya?" tanyaku. "Udah nyampe," jawabnya lalu berjalan santai menuju sebuah kamar. Dia masuk ke dalam, aku pun menyusul masuk. "Tutup pintunya!" suruhnya lalu melempar dirinya ke ranjang empuk yang pasti mahal amat harganya. Aku menurut, menutup pintu kamar dan segera memindai kamarnya. Besar, luas dan minimalis, begitu kesanku pada kamar si bayi. Anehnya, tidak ada banyak barang di sana. Hanya ada kasur, beberapa lemari, meja dan kursi. "Duduk aja di mana yang kamu suka, Del!" suruhnya sambil memejamkan mata. "Kita nggak belajar?" tanyaku. Si bayi menggeleng pelan. "Trus ngapain aku dibayar jadi guru privat?" tanyaku. "Nemenin aku," katanya. "Eh?" "Aku pengen lihat kamu terus, tapi kamu nggak mau kalau aku suruh ketemu aku secara gratis kan? Makanya, aku minta Mama buat mempekerjakan kamu sebagai guru privat," jelasnya. Si bayi bangkit lalu duduk. Dia memberikan senyuman kecil. "Gimana? Ide briliant kan? Kamu bisa ketemu aku dan dapat uang," katanya bangga. Aku meringis ngeri membayangkan betapa dasyatnya kekuatan uang. "Oh ya, kenapa di kamarmu banyak lemari?" tanyaku penasaran. "Ah, yang itu isi buku-buku, sebelahnya lagi berisi baju-baju. Kalau yang itu mainan, yang satunya lagi koleksi sepatu, topi dan jam tanganku," jelasnya dengan santai. Dia beneran kaya. Lemari aja isinya begitu. Kalau di kamarku, palingan hanya ada lemari baju dan meja belajar. Itu pun isinya baju dan buku-buku murah. "Tapi kok bukan lemari yang dari kaca, sih?" tanyaku heran. Si bayi terkekeh pelan. "Kebanyakan nonton drama ya? Kalau dari kaca, ketahuan isinya apa. Malas," katanya. “Trus, aku ngapain, nih?” “Semalaman tidurku tidak nyenyak, kepikiran kamu, jadi akum au tidur dan tugasmu tetap di sini sampai waktu les privat habis.” “Satu setengah jam aku hanya melihatmu tidur?” Aku melongo, kesal sekaligus tidak percaya. Si bayi mengangguk lalu merebahkan diri di Kasur. Tak perlu waktu lama baginya untuk tertidur. Aku pun hanya diam tanpa melakukan apa-apa. Seperti perintahnya, aku hanya duduk di sana, menjaga bayi tidur. Waktu berjalan dan waktu untuk les privat selesai. Aku melihat si bayi yang masih tertidur dengan pulas, tidak usah berpamitan, aku segera keluar dari kamar yang sudah mirip penjara itu. Aku kelaparan, dehidrasi dan lelah. Setelah melewati tangga berputar sekali lagi, aku keluar dari rumah besar itu dan mendekati sepeda motor bebekku yang masih setia menunggu. "Akhirnya pulang," gumamku bahagia, terharu bahkan nyaris ngeluarin air mata. "Non." Panggilan itu membuatku menoleh. "Ah, iya Bi?" sahutku pada Bi Asih. "Ini!" katanya sambil memberikan sebuah minuman kaleng. "Buat saya, Bi?" tanyaku. Bi Asih mengangguk. "Dari Tuan kecil," jawabnya. "Heh?" "Selain itu, ada pesan," lanjut Bi Asih. "Pesan? Apa?" "Kata Tuan kecil, hati-hati di jalan. Jangan mikirin soal keuangan, hidup Nona akan terjamin kalau sama dia karena hartanya nggak akan habis meski sampai tujuh turunan. Begitu pesannya, Non." Aku hanya mengepalkan tangan, kesal. Songong amat itu bayi. Nyebelin. Yuby Lesmana Agung Mahendra. Begitu nama si bayi yang aku tahu dari Bi Asih. Yuby? Nggak salah nama? Bagiku dia itu bayi Kyuubi, si rubah ekor sembilan. Apes amat aku harus nolongin dia waktu itu. Arggghh kesel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD