"Jangan so tahu, jika kau ada di posisi ku, kau akan melakukan hal yang sama seperti apa yang aku lakukan. Jika kau ingin menggantikan posisiku, silakan saja, aku akan berterima kasih padamu."
"Jika aku memiliki wajah yang sama denganmu, aku akan melakukannya dengan seneng hati. Aku akan menjadi wanita paling bahagia di muka bumi ini, mengingat bagaimana reputasi keluarga Rochester di dunia bisnis. Sayangnya, jangankan wajah, bentuk badan kita pun sangat berbanding sekali."
"Kalau begitu diam lah, apapun yang aku lakukan itu keputusanku." Sharon hanya menggelengkan kepala.
Hanya Barbara orang gila yang menolak seorang Aarav Caesar Rochester. Hanya Barbara wanita gila yang tidak menginginkan hidup mewah. Sharon tahu jika Barbara tidak tergiur dengan harta, karena yang dia inginkan hanya kehidupan sederhana namun penuh cinta tanpa harus ada drama dalam keluarganya.
"Apa kau tidak merasa takut jika dia mencari mu? Dia orang berpengaruh disini."
"Aku tidak peduli. Lalu apa masalahnya denganku? Mau orang pemilik dunia sekalipun aku tidak akan peduli."
"Bar, aku tahu kau ingin menemukan sosok seorang pria yang sederhana tapi jika Tuhan mentakdirkan mu berjodoh dengan pemilik dunia, bagaimana?"
"Entahlah, aku mungkin akan memintanya menjadi seorang petani."
"Apa kau sudah tidak waras? Kau sudah mendapatkan pria yang hampar sempurna dan kau lebih memilih hal semacam itu? Demi Tuhan! Di luaran sana pasti ada banyak wanita yang ingin ada di posisimu. Bahkan aku yakin wanita jaman sekarang tidak ingin memiliki suami biasa saja. Jika para wanita di suruh memilih antara pria kaya dan pria yang mencintainya, aku yakin mereka akan memilih pria kaya."
"Aku bukan mereka dan aku yakin masih banyak wanita sepertiku yang lebih memilih pria biasa, yang bisa mencintai kita dengan kesederhanaan mereka." Sharon menggelengkan kepala lagi. Barbara dengan pemikirannya sendiri tanpa mau mendengar ucapan orang lain. Baginya Tahta tidak ada artinya karena Barbara hidup pada kini masa lalunya. Pemikiran yang sangat kolot di jaman sekarang.
Sharon sempat tidak percaya melihat Barbara pagi-pagi sekali sudah datang ke apartemennya. Barbara tidak akan mungkin datang jika memang dia tidak memiliki masalah. Sharon rasa memang hanya tempat inilah yang membuat jiwa wanita itu tenang.
"Lantas sekarang, apa yang akan kau lakukan?"
"Tidak tahu."
"Apa kau tidak ingin mengetahui tentang keluargamu setelah apa yang kau lakukan ini? Mereka pasti khawatir." Barbara menghentikan kunyahan nya lalu kembali mengunyah.
"Santai saja. Aku masih membutuhkan ketenangan, jika sudah waktunya aku akan pulang."
"Tapi Bar setidaknya kau kabari mereka, siapa tahu ada satu hal yang terjadi. Jika kau sudah tahu bagaimana kondisi keluargamu, itu akan lebih melegakan. Bukankah kemarin kau mengatakan jika Aarav datang ke rumahmu?"
"Laki-laki b******k itu. Aku tidak habis pikir, di jaman sekarang masih ada laki-laki yang menghalalkan berbagai cara untuk mendapat keinginannya. Dia dengan entengnya mengatakan tidak masalah jika dia harus gagal menikah dengan Bianca asalkan dia menikah denganku. What the f**k! Memangnya siapa yang mau menikah dengannya? Kecuali dia memberikan sesuatu yang aku inginkan dan itu bukan hal yang mudah di dapatkan."
"Terserah mu saja."
"Aku merasa bingung beberapa hari ini, Sha. Memangnya dia pikir aku bisa di tukar tambahkan? Aku hanya memiliki satu nyawa dan nyawaku bisa kapan saja melayang hanya karena Patukan ayam saja." Sharon menghela napas. Dia meraih soda kalengnya lalu meneguk minuman itu dengan kasar. Heran, Barbara ini manusia apa sih? Sehina-hina dirinya, Sharon tidak pernah memiliki pemikiran seperti Barbara.
Jika Barbara ikut bergabung dalam komunitas pecinta drama, sepertinya sahabatnya itu akan dengan senang hati melakukanya. Jiwa Barbara sepertinya memang sudah di tukar dengan iblis. Dia seperti memiliki dua kepribadian namun sialnya pemikirannya harus di patahkan karena memang ini asli seorang Barbara. Hidup luntang lantung beberapa tahun memang membuat mereka memiliki karakter kuat untuk membela. Banyak rintangan yang menghadang sampai akhirnya mereka bisa dalam titik ini. Mungkin bagi Barbara apa yang terjadi padanya dulu untuk pengalaman tapi bagi Sharon itu masa lalu yang buruk.
Barbara menatap Sharon yang termenung. Kadang kala dia paling tidak suka jika melihat wajah murung sahabatnya. Ingin membantu pun percuma, karena memang dia tidak tahu harus bagaimana. Uang yang di milikinya pun sekarang itu tidak bisa menutupi segala kerugian yang terjadi. Barbara berpikir dengan keras, apa yang harus di lakukan nya supaya bisa membantu teman-temannya keluar dari tempat laknat itu? Suara dering ponsel mengangetkan kedua orang itu, mereka saling melirik satu sama lain hingga akhirnya mata mereka tertuju pada satu benda pipih berwarna hitam di atas meja.
"Angkatlah." Barbara mengulurkan tangannya, meraih ponsel miliknya. Keningnya berkerut saat melihat nama Bianca tertera di sana. Tiba-tiba perasaanya jadi tidak tenang, Barbara menggeser tombol hijau lalu menempelkannya di telinga.
"Halo, Bi?"
"Bar."
"Ada apa?" Barbara ikutan panik saat mendengar suara Bianca yang menangis terisak.
"Bara ...."
"Kau ini kenapa?"
"Bara." Barbara memutar bola mata.
"Katakan sekarang atau aku akan tutup teleponnya?"
"Bar ... Papa ...."
"Ada apa dengan Papa?"
"Papa masuk rumah sakit."
"APA? BAGAIMANA BISA?" Mata Barbara membulat. Sharon yang mendengar teriakan Barbara merapatkan tubuhnya ikut mendengar penelpon di sebrang sana.
"Kemarin waktu kau pergi bersama Aarav. Aarav memberi peringatan pada Papa, apapun yang terjadi dia menginginkan mu yang menjadi istrinya. Papa menentang keras, bagaimana pun Papa tidak rela anaknya harus menikah dengan laki-laki seperti Aarav. Tapi Aarav memberikan ancaman, jika Papa melakukan sesuatu akan ada akibatnya untuk keluarga kita. Dan ...."
"Dan apa, Bi?"
"Semua investor yang bekerjasama dengan Perusahaan Papa mereka menarik sahamnya." Barbara terdiam kaku. Kenapa bisa begini?
"Dalam satu hari banyak orang pula yang menyalahkan Papa. Papa di tuduh tidak becus mengurus perusahaan. Sekarang karyawan Papa berdemo karena tidak terima harus di PHK secara besar-besaran."
"Aku takut, Bar. Mama berkali-kali pingsan. Seg-" Ucapan Bianca terputus saat Barbara mendengar ada suara bentakan di ujung telponnya.
"Bianca? Bi? Apa kau baik-baik saja? BIANCA?!"
"Hallo, Sayang." Barbara terdiam.
"Ini lah akibatnya jika kau mengabaikan peringatan ku. Aku bisa melakukan apapun, bahkan untuk membunuh keluarga besar mu pun aku sanggup."
"Jangan pernah coba-coba sentuh keluargaku! Jika kau berani melakukan itu, aku tidak akan segan-segan menyeret mu ke penjara?!"
"Benarkah? Ara, Ara bahkan tidak akan pernah ada seorang pun yang bisa memasukkan ku kedalam penjara. Uang yang berjalan di sini sayang, bukan kebenaran." Barbara mengepalkan tangannya. Ah jika saja Barbara tidak ingat kepada keluarganya sudah dia abaikan. Sialnya walaupun Barbara jarang pulang ke rumah kasih sayang untuk keluarga tetap ada.
"Apa yang kau mau?"
"Datang ke rumahku dan kita akan menikah."
"Jika aku menolak?"
"Kita lihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Kemungkinan kau akan kehilan-"
"Aku pergi sekarang!" Barbara mematikan sambungan telponnya. Menggenggam ponselnya dengan erat, matanya memerah menahan amarah.
"Kau yakin?" Sharon memandang Barbara dengan tidak yakin. Sharon tahu apapun akan di lakukan Barbara demi orang tercintanya. Mungkin Barbara orang yang keras dan tidak peduli pada keadaan sekitar namun nyatanya dia orang yang paling tidak bisa mengabaikan yang meminta bantuannya.
"Jangan membuatku menjadi bimbang dengan pilihan sialan itu, Sha. Bagaimana pun aku tidak akan bisa memilih antara masa depanku atau keluargaku. Ah, sial! Jika saja aku anak yatim piatu, aku tidak akan pernah mengorbankan apapun untuk kehidupan masa depanku."
"b******k! Seharusnya kau bersyukur masih memiliki keluarga lengkap. Bagaimana jika Tuhan mengabulkan ucapan mu barusan?"
"Aku tarik kembali ucapan ku barusan. Sudah, aku akan pergi sekarang."
"Jangan lupa hubungi aku jika kau sampai di sana."
"Aku sibuk."
"So sibuk."
"Bukan so sibuk. Aku yakin setelah tiba di kastil iblis itu semuanya akan banyak yang berubah. Sudah, aku malas sekali berdebat, aku pergi." Barbara memeluk Sharon sesaat setelahnya pergi meninggalkan wanita itu sendirian.
Sharon memandang punggung Barbara. Helaan napas terdengar dari bibirnya, tidak habis pikir dengan kelakuan sahabatnya. Dia mempertaruhkan kelangsungan hidupnya demi orang-orang seperti mereka. Sharon mengusap sudut matanya saat merasakan setetes air mata jatuh dari sudut matanya. Barbara bagi mereka berharga, maka dari itu melihat dia dalam keadaan seperti ini ingin rasanya membantu. Namun jika lawannya orang lain pasti mereka akan berusaha tapi jika berhadapan dengan Aarav Caesar Rochester tidak akan mudah.
***
Aarav memberikan ponselnya pada Bianca dengan kasar, matanya menatap tajam wanita itu. Bianca hanya bisa menunduk dengan ketakutan. Sebagai saudara dia tidak bisa melindungi Barbara dari pria ini. Bianca merutuki hidupnya, kenapa bukan dia saja yang menjadi sasaran pria ini? Kenapa harus Barbara? Dari dulu Barbara sudah mengalami hidup yang rumit, di tambah ada pria gila yang terobsesi pada saudaranya.
"Perempuan pintar. Kalau begitu terima kasih atas permainan yang sudah kau lakukan." Bianca menggelengkan kepalanya.
"Kenapa kau melakukan hal ini pada Barbara? Barbara tidak tahu apa-apa."
"Kau bilang tidak tahu apa-apa? Selama ini aku menginginkan Barbara bukan wanita seperti mu, Bianca."
"Lalu kenapa kau baru sekarang menginginkan itu?"
"Karena aku pikir kau wanita itu tapi ternyata aku salah. Selama ini aku tertipu akan kehadiranmu dan aku baru tahu, seorang Bianca dan Barbara itu berbeda!" Bianca tahu memang jika di bandingkan dengan saudaranya dia tidak ada apa-apanya.
Barbara memiliki segalanya, jika saja tidak tertutupi oleh kelakuan brengseknya mungkin semua orang akan mengelus-elus Barbara di banding dirinya. Terkadang Bianca slalu merasa iri pada saudarinya. Namun jika di pikirkan olehnya, selama ini Barbara tidak pernah menuntut haknya sebagai seorang anak. Dia slalu berdiri tegak dengan kakinya. Berbeda dengannya yang jika terjadi sesuatu pasti akan berlindung pada kedua orang tuanya.
"Aarav apa yang kau inginkan dari saudariku?" Aarav menatap Bianca dengan dalam.
Apa yang Aarav inginkan dari Barbara? Banyak! Aarav ingin memiliki Barbara sebagai teman hidupnya. Memiliki anak yang lucu-lucu dan yang pasti penuh dengan cinta. Aarav baru tahu jika Bianca memiliki warna kulit kuning langsat sedangkan Barbara putih s**u. Harusnya dia sudah sadar sejak awal pertemuan.
"Apa selama ini aku tidak bisa memberikan apa yang kau inginkan? Aku bisa menggantikan Barbara, Aarav."
"Tidak akan ada yang bisa mengantikan Barbara. Dia perempuan yang selama ini aku harapkan. Selama kita mengenal satu tahun, banyak kejanggalan dalam hatiku dan semakin aku telusuri ternyata aku menginginkan saudarimu." Bianca menghela napas kembali. Bagaimana lagi supaya Barbara keluar dari perangkap pria itu? Ini semua salahnya.
"Jangan pernah mencari cara untuk memisahkan ku dengan Barbara karena hal itu tidak akan pernah mungkin terjadi. Camkan itu baik-baik!" Aarav berlalu pergi meninggalkan Bianca yang langsung merosot. Air matanya mengalir, dia memikirkan bagaimana nasib Barbara sekarang? Apa yang akan terjadi pada Barbara nanti? Bisakah Barbara melewati semuanya dengan baik? Membayangkan saja Bianca sudah bergidik ngeri.
Seseorang merengkuh tubuhnya, "Papa harap saudarimu baik-baik saja. Ini yang Papa takutkan, Ara banyak orang yang mengincar."
Bianca paham, kenapa selama ini Barbara di sembunyikan dari area publik. Bianca hanya bisa berdoa semoga Saudarinya baik-baik saja di sana. Rajendra hanya bisa memeluk putrinya dengan erat. Hatinya berteriak tidak terima saat salah satu putrinya di perlakukan tidak adil. Selama ini Barbara tidak pernah meminta banyak hal padanya. Namun kenapa Barbara harus mendapatkan nasib buruk seperti ini. Rajendra berdoa di dalam hati semoga Barbara baik-baik saja. Teruntuk sekarang istrinya berada di rumah sakit jika mendengar kabar ini pasti kondisinya akan kembali drop.
Rajendra pikir dengan adanya perjodohan ini semuanya akan baik-baik saja namun semuanya hancur tak kala mendengar keluhan Bianca tentang perilaku keluarga calon besannya. Namun di saat dia memiliki tujuan untuk menghentikan pernikahan Bianca itu salah besar. Semuanya kacau akibat Barbara yang menampilkan wajahnya. Sekarang Putra dari Rochester mengincar Putri satunya lagi yang entah dimana sekarang. Peristiwa kemarin saja masih membekas, bagaimana dengan selanjutnya? Rajendra tidak tahu harus bagaimana sekarang.
Rajendra pulalah yang salah karena sempat meminta Barbara untuk menggantikan posisi Bianca. Rajendra pikir Aarav tidak berperilaku seperti itu, karena selama beberapa tahun mereka berkenalan tidak ada tanda-tanda mencurigakan. Tapi sekarang semua topeng Aarav terbongkar dengan jelas. Hatinya berteriak marah pada dirinya sendiri. Barbara ada di tangan Aarav, apa yang akan di lakukan pria itu pada Putrinya?
***
Barbara berkacak pinggang di depan sebuah rumah. Rumah ini seperti kastil kerajaan Vampir yang sempat dia tonton. Barbara berdecak, apa pria ini seorang Vampir? Tapi memangnya di jaman sekarang mahkluk itu masih ada? Barbara mengangkat bahunya tidak peduli. 15 menit setelah dia datang tidak ada satu pun pergerakan darinya. Dia hanya diam, termenung dengan wajah bingungnya. Beberapa bodyguard berkeliaran di sekitarnya namun tidak ada yang peduli padanya.
Mungkin mereka pikir aku seorang gelandangan yang meminta sumbangan pikir Barbara. Tidak lama sebuah mobil berhenti di sampingnya. Barbara bergerak ke kanan beberapa langkah sebelum mobil itu berhenti. Melihat siapa orang yang akan keluar dari dalam mobil itu membuat dia waspada. Tidak lama pintu terbuka menampilkan seorang wanita berpakaian glamor turun dari mobil mewah itu. Barbara mengerutkan keningnya, ondel-ondel dari mana ini?
Wanita itu menatap Barbara dengan pandangan sinis lalu berlalu pergi begitu saja meninggalkannya. Barbara tidak perduli, memangnya apa urusannya dengan dia. Hanya saja, berapa lama lagi dia harus menunggu di sini? Harus berapa lama lagi dia berdiri seperti ini? Sepertinya kembali pulang itu lebih baik. Barbara memutar tubuhnya namun saat itulah matanya berpandangan dengan mata milik pria itu yang tersenyum dengan lebar. Memutar bola mata, hanya itu yang bisa dia lakukan.
"Ayo kita masuk."
"Kemana?"
"Ke istana kita."
Barbara menghela napas untuk tidak meninju wajah pria itu, "Katakan padaku, apa mau mu?"
Barbara memang bertemu dengan orang ini hanya ingin bertanya. Percakapan di telepon baginya hanya sebuah gertakan saja. Tidak peduli jika mereka harus baku hantam di sini, setidaknya kalau pun Barbara mati tidak ada lagi yang tersakiti.
Aarav menatap wanita di depannya dengan sayu. Dadanya berdebar kencang. Dari awal sudah di katakan, Aarav membutuhkan Barbara bukan Bianca. Saat satu tahun berdekatan dengan Bianca tidak ada debaran sama sekali, masih berpikir positif kemungkinan sudah lama tidak bertemu. Namun semakin lama mereka sering bertemu debaran itu tidak pernah datang. Aarav mulai berpikir kemungkinan dia sudah tidak mencintai wanita itu. Namun sebelum itu kejadian ternyata ada yang berbeda dan sekarang dia tahu apa yang terjadi.
Jantungnya jika berdekatan dengan Bianca akan terlihat baik-baik saja, walaupun sudah 1 tahun mereka bersama tidak ada kemajuan tapi saat bersama Barbara jantungnya berdetak dua kali lipat dari sebelumnya. Jantungnya berdetak seperti dulu saat dimana pertama kali matanya bertatapan dengan Barbara. Hanya dalam waktu beberapa detik Aarav bisa merasakan jatuh cinta dan sampai detik ini Jantungnya masih berdetak hanya dengan satu Wanita. Aarav tidak pernah tahu jika saat pertama kali mereka bertemu membuatnya gila seperti ini. Hanya dalam beberapa jam setelah beberapa tahun mereka tidak bertemu jantungnya kembali berulah.
Aarav mengerti sekarang, mereka memang sama namun di antara salah satunya hanya Barbara yang bisa membuat jantungnya berdetak seperti ini. Sejauh hubungan mereka nanti Aarav yakin tidak akan pernah ada detak kan ini, karena pemiliknya bukan Bianca. Pemiliknya ada di depannya, menatapnya dengan penuh keberanian. Selama ini Aarav terlalu bodoh untuk mencari tahu kehidupan Wanita ini. Aarav terlalu bahagia untuk kehidupan mendatangnya. Tidak tahu karena terlalu bahagia orang yang dia inginkan bukan lah sosok yang di carinya.
"Ayo masuklah lebih dulu. Kita bisa membicarakannya di dalam dan jangan lupa, aku sedang marah padamu karena kau pergi dari rumah tanpa persetujuan dariku."
"Apa kau bodoh? Jika aku meminta izin kabur darimu itu sama saja aku kembali pada lubang yang sama."
"Setidaknya aku tidak akan melarang mu, jika kau meminta izin padaku."
"Ya sudah kalau begitu aku meminta izin pergi dan tidak akan kembali. Kau pasti mengizinkanku, bukan?"
"Jika hal itu aku tidak akan mengizinkan mu."
"Kalau begitu jangan berbicara tentang izin perizinan jika akhirnya kau sendiri pun tidak menepati ucapan mu itu." Aarav menghembuskan napas.
Orang mungkin menganggapnya manusia jahat yang slalu membuat orang-orang tersakiti namun jika memang itu pemikiran orang lain Aarav terima. Karena bagaimana pun orang lain hanya akan melihat dari sisi negatifnya bukan dari sisi positifnya.
"Ya sudah ayo kita masuk."
"Aku akan menerima semua alasanmu apapun itu tapi kau harus menjawab dengan jujur."
"Walaupun kau harus menjadi istriku?" Barbara terdiam.
Alasan, memang itulah yang dia inginkan. Alasan apapun itu Barbara akan terima asalkan memang menyangkut kebaikan. Dan Barbara pun merasa tidak suka jika apapun urusannya di sangkut pautkan pada keluarganya.
Aarav berpikir, apakah sudah saatnya dia bercerita pada orang lain? Tapi Aarav belum sanggup untuk melihat tatapan prihatin padanya. Tapi dia pun bingung jika memang alasan inilah yang bisa membuat Barbara bertahan di sampingnya, sepertinya tidak ada salahnya mengutarakan ceritanya. Namun cerita apa? Selama ini Aarav menginginkan Barbara karena mencintainya bukan alasan apapun.
"Baiklah, nanti akan aku ceritakan alasan apa aku menginginkanmu."