Marriage Of Two Worlds 3

2170 Words
Barabara mengerjapkan matanya. Tangannya terangkat memegang keningnya, saat di rasa kepalanya berdenyut. Barbara menghembuskan napas untuk menghalui rasa sesak yang di rasakan oleh dadanya. Matanya terbuka sempurna lalu mengamati ke sekitar. Dia mengingat-ingat peristiwa beberapa jam yang lalu, tubuhnya tersentak bangun, dimana dia sekarang? "Sudah bangun?" Suara itu? "Kau ...." "Kenapa?" "Kenapa aku ada disini?" "Karena aku yang menginginkannya." "Brengsek." Barbara akan turun dari ranjang namun kakinya tidak bisa di gerakan. Matanya melihat ke arah kakinya, lalu mengeram melihat apa yang pria itu lakukan. "b******k! Apa yang kau lakukan sialan?!" "Aku ingin kau menjadi istriku." Barbara mengepalkan tangannya, "Maaf, kau bukan tipe idamanku." "Tanpa harus memakai tipe mu, kau akan jatuh cinta padaku." "Jangan Mimpi!" Barbara menggerakan kakinya dengan brutal, dia berteriak kesal karena usahanya gagal. Tidak peduli ada satu pasang mata yang menatapnya dengan pandangan mengejek. "Sampai kapan pun kau tidak akan pernah bisa lepas dari benda sialan itu, selain aku yang memotongnya." "Lepaskan aku b******k?!" Aarav berdiri dari duduknya, lalu melangkah mendekat. Duduk di samping Barbara yang menatapnya dengan penuh amarah. Aarav menarik dagu Barbara untuk menatap matanya. Aarav terkagum melihat mata indah itu yang berkilau, sungguh baru pertama kali melihat mata seorang wanita yang memiliki mata begitu indah. Tangannya terangkat lalu mengusap mata itu, dia berbeda. Aarav menarik tangannya lalu mengusap kepala Barbara dengan halus. "1 Minggu lagi kita akan menikah. Persiapkan diri untuk tampil cantik. Aku harap semuanya akan berjalan lancar." "Kita liat saja nanti." Barbara menatap benci pria yang ada di depannya. Tidak habis pikir, bagaimana bisa dia memperlakukannya seperti ini? Barbara merasa seperti seekor anjing yang harus menuruti semua perintah tuannya. Sedangkan Aarav hanya bisa tersenyum lalu mengecup kening Barbara, setelahnya keluar meninggalkan gadis itu seorang diri. Aarav tahu aksinya kali ini memang kurang ajar namun jika tidak seperti itu orang yang di inginkan nya pasti akan slalu menolaknya. Aarav menghembuskan napas tidak habis pikir, ternyata orang yang selama ini yang dia incar bukan Bianca melainkan Barbara, pantas saja rasanya berbeda. Bianca lebih pendiam, feminim, tutur katanya pun lembut berbeda dengan Barbara, dia lebih berani bersama umpatan kasar yang keluar dari mulutnya. Dan salahnya, kenapa Aarav bisa melupakannya? Aarav pikir hanya ada satu wanita yang di inginkan namun ternyata ada dua. Mereka saudara namun tidak terlalu indentik. Aarav mengusap wajahnya, mengingat memang 1 tahun ini dia slalu bersama dengan Bianca. Mereka banyak melakukan hal yang indah tapi ternyata itu kesalahannya. Aarav lebih menyukai wanita pemberani seperti Barbara bukan waniat seperti Bianca. Ketika pertemuan keluarga pun saat Tante dan Omnya mencerca Bianca wanita itu hanya diam melirik padanya. Dan dari sanalah Aarav baru mengerti dia bukan wanita impiannya. "Permisi, Tuan. Ini sarapannya." "Taruh saja dulu di meja. Biar nanti saya yang menyuapinya." "Baik, Tuan." Wanita paruh baya itu masuk kedalam kamar. Awalnya dia baik-baik saja namun langkahnya langsung berhenti. Matanya membulat melihat siapa sosok wanita yang berbaring di atas ranjang. "Nyonya, kenapa bisa di ikat seperti ini?" "Oh hallo, Bi." Barbara tersenyum, "Saya bukan Bianca." "Nyonya ini berkata apa. Bagaimana bisa Nyonya seperti ini? Apa yang Nyonya lakukan sampai Tuan menghukum Nyonya? Setahu saya Tuan tidak akan tega memperlakukan Nyonya seperti ini." Barbara menghela napas, dia mengumpat di dalam hati mengutuk pria yang bernama Aarav. "b******k! Saya bisa minta tolong, Bi? Lepaskan ikatan ini. Ini benar-benar menyakiti saya." Bi Sari menatap bingung pada calon istri tuannya. Tumben sekali wanita yang dia kenal dekat ini, berkata kasar. Bianca yang dia kenal tidak pernah berkata seperti itu, bahkan dia memiliki tutur kata yang baik. "Hallo, Bi. Bibi dengarkan apa yang saya katakan? Tolong lepaskan ini?" Barbara menunjuk besi yang memborgol lengannya. "Nyonya kenapa berubah?" Barbara memutar bola matanya, bukankah Barbara sudah mengatakan jika dia bukan Bianca? Apa pembantu ini tuli? "Dia bukan Bianca, Bi." Bi Sari memutar tubuhnya. "Tuan?" "Dia saudara kembarnya Bianca namanya Barbara." Bi Sari menatap Barbara dengan teliti. "Bukankah Tuan Ajuman hanya memiliki seorang Putri?" "Biar nanti saya jelaskan, Bi. Bibi sekarang bisa kembali ke dapur." Bi Sari mengangguk. Aarav meraih nampan di tangan Bi Sari. "Saya pamit, Tuan." Bi Sari undur diri, dengan pertanyaan yang terus mengusik pikirannya. Sebelum pintu tertutup rapat, Bi sari sekilas melihat wanita itu yang menatapnya dengan tajam. "Ayo makan." "Bagaimana cara aku makan jika tanganku terikat seperti ini? Kau tidak bodoh kan?" "Biar aku yang suapi." "No! Bagaimana jika kau memberikan racun di dalam makanan itu?" "Astaga! Kau lihat, aku akan memakannya." Aarav menyuapkan nasi itu ke dalam mulutnya, mengunyah dengan pelan sampai nasi itu tertelan. "Lihat, aku tidak apa-apa bukan? Ayo makan?" "No! Aku tidak menerima bekas sendok yang sudah kau pakai." "Apa kau mau makan lewat mulutku?" "Tidak dua-duanya." Barbara memalingkan wajah. Kesal! kenapa harus di perlakukan seperti ini? Memang apa salahnya? Bukankah dia calon suami Bianca? Barbara langsung menatap pria itu. Keningnya mengerut, Barbara ingat jika pria ini kemarin pernah dia tusuk memakai pisaunya tapi kenapa dia seakan baik-baik saja? Barbara yakin tusukkan kemarin lumayan dalam. "Kenapa? Heran, aku dalam kondisi baik-baik saja?" Barbara tidak menjawab. "Tusukkan mu memang lumayan dalam sampai aku harus mendapat 27 jahitan. Tapi tidak apa-apa hal itu sudah biasa, bahkan aku pernah lebih dari hal itu." "Memangnya aku peduli?!" Aarav tersenyum. Inilah yang Aarav suka. Aarav mencari seorang istri yang bisa di andalkan bukan tahunya mengandalkan saja. Teruntuk lagi Aarav putra tunggal Rochester, kemungkinan terbesar banyak yang tidak menyukai kehidupannya. Terutama keluarga Ayah dan Ibunya yang slalu menekannya untuk lengser dari posisinya sekarang. Perut Barbara berbunyi membuat Aarav menatap wanita itu dengan senyum geli. Barbara, wanita keras kepala namun di balik kekerasan yang dia lakukan ada tingkah konyolnya. Selain kelakuannya yang seperti pria, ucapannya pun ceplas-ceplos semau dia. Di saat saudaranya memilih melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi wanita ini berbeda. Barbara lebih memilih berkelana dengan hidupnya tanpa mau ambil pusing dengan pendidikan. Sungguh Aarav ingin tahu, kenapa Rajendra Ajuman menyembunyikan Barbara dari publik? Mengingat selama ini hanya Bianca yang di beri tahu pada semua orang. Maka dari itu Aarav mencari informasinya. Tanpa menunggu lama Informasi tentang Barbara sudah dia kantongi. Barbara meruntuki perutnya yang tidak tahu malu bersuara. Dia pun mengumpat di dalam hati karena sejak semalam perutnya belum sama sekali terisi sesuap nasi pun. Barbara bukan pemilih makanan tapi yang pasti harus ada nasi di dalamnya, hal itu sangat wajib. "Ayo makan." "Lepaskan dulu, baru aku akan makan." "Tidak. Kau akan tetap seperti ini sampai kita menikah." Barbara menggeram, dia memutar otak untuk berpikir. "Baiklah, aku berjanji setelah selesai makan kau bebas melakukan apapun tapi dalam batas yang masih wajar." Aarav menatap mata indah itu yang menatapnya dengan serius. Awalnya Aarav tidak ingin mengabulkan namun saat mata itu menatapnya dengan dalam, akhirnya dia membuka borgol yang mengikat kedua tangan Barbara. Barbara langsung bangkit duduk. Tubuhnya di gerakkan dengan nikmat dan suara tulang terdengar cukup nyaring. "Kakinya? Biar sekalian." "Tidak!" "Ayolah, kakiku terasa begitu pegel." "Kau berjanji tidak akan kabur?" "Hmmmm." Aarav membebaskan kedua kaki Barbara. Barbara yang sudah terbebas langsung berdiri turun dari ranjang. Aarav bersikap waspada melihat Barbara yang turun dari ranjang. Tidak bisa di pungkiri Barbara wanita pemegang sabuk hitam yang bisa kapan saja menyerangnya. Aarav akui Barbara gadis yang tahan banting. "Ayo makan." Barbara kembali duduk bersila di atas ranjang. Menarik nampan yang isinya hampir menu kesukaannya. Barbara makan dengan lahap, kapan lagi dia seperti ini? Hanya hitungan menit, nasi itu habis ludes tanpa sisa. Aarav kembali terkagum melihat Barbara makan hanya dalam beberapa menit. Makanan di nampan itu banyak tapi dia mampu menghabiskannya. Aarav mengerjapkan mata, saat mendengar Barbara bersendawa cukup kencang, dia meringis mendengarnya. Barbara tidak ada anggun-anggunnya sebagai perempuan. "Akhirnya perutku kenyang." Barbara menjatuhkan kembali tubuhnya. Rasa lelah langsung menghampirinya. Barbara menutup mata, mulutnya menguap dan tidak lama dia tertidur tanpa memikirkan kondisi selanjutnya. Aarav melongo. Astaga! Aarav benar-benar tidak tahu harus berkata apa lagi melihat Barbara dengan entengnya tertidur begitu saja meninggalkannya. What the Hell! Jika wanita lain di luaran sana mengalami hal yang sama, Aarav yakin mereka akan menangis meraung minta di keluarkan kecuali wanita itu memang sejenis Barbara, Aarav maklumi nya. Aarav melihat Barbara yang meringkuk seperti janin, rambutnya yang berwarna merah menyala dengan terang. Aarav mengusap dadanya yang berdebar kencang, 1 Minggu lagi dia akan memiliki wanita ini. Aarav tidak masalah jika dia tidak jadi menikah dengan Bianca, karena memang selama ini Barbara yang menjadi incarannya. "Kau cantik tapi menyebalkan." Bisik Aarav sambil mengecup kening Barbara. Setelah itu dia bangkit dari ranjang. Aarav tidak ada niatan lagi untuk mengikat Barbara, karena dia yakin wanita itu sudah tertidur. Aarav pergi meninggalkan kamarnya, menutup pintu dengan pelan, setelahnya hilang di telan pintu sebelahnya. Barbara mengintip di balik bulu matanya. Dia tertawa cekikikan lalu membuka mata dengan lebar saat tidak ada siapapun di dalam kamar. "Hah, untung saja pria b******k itu tidak mengikatku lagi. Tanganku sakit sekali, apa dia tidak memiliki perasan sedikit saja? Aku ini wanita, bagaimana bisa dia mengikatku begitu kuat." Mata Barbara memandang ke arah sekitar. Bangkit dari ranjang lalu berjalan ke arah kaca yang tertutup gorden. "What the f**k. Sialan! Jika aku meloncat dari setinggi ini, bisa-bisa semua tulang ku remuk." Barbara menggerutu saat melihat tingginya tempat yang dia tinggalin dengan lantai bawah. Barbara membuka kaca dengan lebar, untung saja tidak ada teralis yang menghalangi kacanya. Menengok ke bawah, rasanya dia akan terjun kebawah untuk melakukan bunuh diri. Barbara berdehem membasahi tenggorokannya, matanya memandang ke sekeliling. "Untung saja ada beberapa bangunan di sampingnya." Barbara keluar dengan hati-hati dari jendela, kakinya menapak dinding mencari pijakan. "b******k!" Kembali Barbara mengumpat saat melihat ada beberapa pengawal yang sedang berpatroli. Pikirannya berkelana, apakah sekaya itu calon suami Bianca? Gila! Barbara benar-benar tidak habis pikir. Kenapa juga Bianca membatalkan perjodohannya? Bukankah prinsip hidup saudaranya itu menginginkan pria kaya untuk menopang gaya sosialitanya? Ah bodo amat yang penting sekarang Barbara harus keluar. Barbara tidak tahu dengan calon suami Bianca, kenapa harus dia yang menjadi korban penculikan? Kenapa tidak orang lain saja? Maksud pria itu apa menginginkannya? Memang sepertinya pria itu gila. Bianca yang menjadi tunangannya, kenapa Barbara yang harus menikah dengan dia. "Huaaaa ... Akhirnya aku bisa menghirup udara bebas lagi." Barbara berteriak di atas gedung sebelah rumah pria itu. Dia merentangkan tangannya saat angin menerpa wajahnya. Barbara menatap bangunan di sampingnya lalu mencibir. "Rasanya aku ingin membakar kastil Iblis itu. Benar-benar menyebalkan!" *** Bi Sari berjalan dengan pelan bersama beberapa anak buahnya di belakang. Mereka membawa pesanan Tuannya untuk di persembahkan pada seseorang yang ada di dalam kamar. Bi Sari masih bingung dengan Calon istri Tuannya. Sering bertemu, maka dari itu Bi Sari tahu persis seperti apa Bianca. Namun Tuannya mengatakan jika wanita itu bukan Bianca tapi Barbara, otomatis siapa wanita yang akan menjadi Istri Tuannya? Bi Sari sudah tahu Bianca, Bianca memiliki rambut panjang berwarna hitam, tatapannya pun meneduhkan, Bianca pun tidak pernah berkata kasar. Berbeda dengan wanita yang baru di temuinya, rambut wanita itu berwarna merah, tatapannya pun tajam. Mereka memiliki sifat yang berbanding berbalik. Bi Sari berdecak, saudara tidak mungkin slalu sama dalam hal apapun. Eh, bukankan Rajendra Ajuman hanya memiliki seorang Putri? Tapi jika memang memiliki dua Putri pasti berita pun akan mengetahuinya. Bi Sari yakin ada sesuatu yang di sembunyikan oleh Calon Besan, Tuannya. "Bi, jangan ngelamun." Tegur Aarav. "Eh, Tuan." "Kenapa, Bi?" "Oh itu, saya cuman lagi mikir kenapa Nyonya Bianca bisa punya saudara sedangkan Tuan Rajendra hanya memiliki satu Putri." Aarav yang mendengar itu hanya bisa mengangkat bahu. Kenapa bisa salah satu Putri Rajendra Ajuman tidak di ketahui publik? "Nanti saya kasih tahu kalau informasinya sudah lengkap. Sekarang Bibi berikan ini, kemungkinan dia sudah bangun." "Baik Tuan. Saya permisi." Bi Sari menganggukkan kepala memohon undur diri. Kakinya melangkah pergi meninggalkan Tuannya seorang diri. Aarav pergi kelantai bawah, ada sesuatu yang mesti dia urus. Namun baru beberapa langkah menuruni tangga suara teriakan Bi Sari terdengar. Aarav memutar tubuhnya, berlari ke arah dimana perempuan paruh baya yang sudah mengabdi pada kelurganya itu berteriak. Membuka pintu dan matanya langsung terpaku saat di dalam ruangan tidak menemukan siapapun. Aarav bergerak ke arah kamar mandi, membuka pintunya dengan kasar tidak ada orang di dalamnya. Matanya berkeliling menyorot tajam pada satu arah. Aarav bergerak ke arah jendela menengok ke bawah yang tidak mungkin wanita itu lalui. "Sialan! Kenapa dia bisa kabur?!" Aarav memukul pembatas jendela dengan kasar. Dia yakin wanita itu kabur dengan sangat hati-hati, bagaimana bisa dia kabur melewati jendela sedangkan kamarnya pun lebih terasingkan? Aarav berteriak kencang, melupakan sebuah fakta yang baru di ketahui nya jika wanita itu memiliki kemampuan di atas rata-rata. "Kalian beritahu pengawal di bawah, cari calon istri saya sekarang juga." "Baik, Tuan." Beberapa Art yang mengikuti Bi Sari langsung bergerak cepat. Sedangkan Bi Sari hanya diam melihat Tuannya yang frustasi. Baru kali ini Aarav seperti ini, bahkan di saat Bianca pergi beberapa minggu untuk mengadakan fashion week pria itu seakan biasa-biasa saja. Namun saat di tinggal wanita satunya lagi Aarav seperti kehilangan arah. Bi Sari tersenyum dengan lebar, ah ... leganya, akhirnya Aarav menemukan tempatnya pulang, walaupun dia lebih suka Bianca di banding yang ini tapi sepertinya Aarav lebih menyukai wanita itu. Siapapun yang menjadi pasangan Aarav nanti Bi Sari hanya bisa mendoakan yang terbaik. "Lihat saja jika aku menemukanmu." Gumam Aarav tangan terkepal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD