"Mau kemana?" tanya Barbara saat melihat Aarav sudah rapih.
"Aku harus pergi."
"Lagi?" Aarav menghela napas.
"Maafkan aku, tapi pekerjaan ku akhir-akhir ini begitu menyita waktuku." Barbara melipat tangan di atas meja.
"Tentu saja. Pekerjaan mu bahkan lebih berharga dari pada menemaniku."
"Ara bukan seperti itu." Aarav jadi serba salah. Dia tahu seharusnya mereka melakukan perjalanan Honeymoon.
"Lantas seperti apa? Kau pergi pagi, pulang malam. Begitu saja terus sampai aku meminta cerai darimu." ujar Barbara sambil bangkit berdiri dari kursi makan.
Aarav menatap punggung Barbara, masih ada waktu untuk berbicara dengan Istrinya. Aarav tahu, seharusnya dia tidak egois memperlakukan Barbara seperti seekor burung yang terkurung dalam sangkarnya. Mengusap kepalanya, dia mengikuti langkah Barbara yang pergi menuju taman belakang.
"Ara?" Panggil Aarav.
"Apa?"
"Tolong jangan merajuk."
"Kau pikir aku wanita apa yang merajuk hah?"
"Tapi dengan kau seperti ini, kau terlihat merajuk."
Plak
Barbara memukul kepala Aarav kesal. "Yah kau pikirkan saja dengan isi otak mu yang 1 ons itu."
Aarav meringis, bagaimana lagi? Pekerjaannya benar-benar tidak bisa di tinggalkan. Aarav pengusaha, tentu saja pekerjaannya akan begitu menyita waktu. Belum lagi Aarav harus berkunjung ke beberapa kota untuk memastikan semua pekerjaan nya lancar. Perusahaan Aarav sekarang sedang membangun anak cabang, maka dari itu dia begitu sibuk.
"Begini saja kita bicarakan semua nya nanti malam, bagaimana?"
"Tidak perlu ada yang di bicarakan, pergilah, Istri kedua mu sudah menunggu." Aarav mendekat lalu memeluk Barbara dari belakang, mencium pipi sang Istri.
"Tolong mengertilah, aku sudah mengatakan padamu untuk beberapa Minggu ke depan aku pasti sibuk."
"Aku kan sudah mengizinkan, jadi cepat pergi." Barbara menggoyangkan tubuhnya, meminta di lepaskan.
Aarav melepaskan pelukannya lalu membalik tubuh sang Istri untuk menatapnya.
"Ara, aku tahu kau merasa bosan tinggal di rumah. Terima kasih karena kau mau mendengar perkataan ku tapi bisakah kau bersabar sebentar lagi, setelah semuanya selesai mari kita pergi Honeymoon." Barbara menatap Aarav, mengalungkan tangannya di leher Suaminya.
"Aku menolak untuk honeymoon. Lagipula untuk apa? Percuma, karena di lihat dari beberapa hari ini saja kau lebih mementingkan perusahaan itu." Barbara mengecup singkat bibir Aarav lalu melepaskan tangannya.
Aarav tidak suka. Bagaimana pun Barbara harus bahagia hidup bersama dengannya. Pekerjaan nya yang menyita waktu tentu saja membuat Barbara jengah. Aarav juga berjanji akan membawa Barbara pergi Honeymoon tapi rencana nya harus di rubah akibat pekerjaannya.
"Sayang, tolong." Aarav memegang lengan Barbara.
"Mau pergi sekarang atau aku tidak akan berbicara lagi denganmu?"
"Aku akan pergi tapi jangan marah."
"Aarav?!"
"Berikan aku ciuman dan aku akan pergi." Barbara berdecak, saking tidak ingin membuang waktu dia kembali mengalungkan tangannya di leher Aarav, mencium suaminya itu dengan dalam.
Barbara akui memang Aarav pria baik dan mungkin hanya padanya saja. Aarav akan berubah menjadi pria menyebalkan saat tidak bersama dengannya. Terbukti kemarin, tukang kebun di rumah salah memotong dan Aarav benar-benar berubah menjadi iblis. Bentakan dan teriakan menggelegar disepenjuru rumah. Barbara yang memang tidak menyukai hal itu menegur, bagaimana pun kesalahan itu hanya perlu mengatakan tidak sampai memakai kekerasan.
Barbara melepaskan tautan bibirnya. Saliva mereka bercampur dan Aarav tersenyum mengecup singkat bibir itu.
"Aku janji, malam ini akan pulang lebih awal." Barbara hanya ingin mengikuti alur saja baiknya bagaimana.
"Lihat saja jika kau pulang lebih dari jam 10 malam, aku benar-benar akan mengunci mu tidur di luar."
"Janji." Sekali lagi Aarav mencium Barbara setelah itu melepaskan pelukannya.
Aarav memang tidak pernah tau tempat untuk mencium Barbara. Mereka baru menikah 2 Minggu tapi sudah banyak perubahan pada diri Aarav. Hanya saja perubahan itu di tunjukan pada Istrinya saja tidak pada orang lain.
"Aku pergi." Barbara mengangguk.
"Jangan lupa."
Aarav tersenyum, "Tidak akan."
Keduanya berpisah. Barbara menatap punggung Aarav yang semakin menjauh. Dia mengangkat bahunya, tidak apa-apa kan toh Barbara istrinya, apa yang mereka lakukan sudah jelas statusnya apa. Barbara masuk ke dalam rumah, kembali lagi pada rutinitas nya sekarang menonton dan bergelung di balik selimut.
***
Barbara menatap jam di dinding yang menunjukkan pukul 12 malam. Dia menyeringai lalu memakai jaketnya. Aarav tidak menepati janji, itu artinya tidak akan ada obrolan lagi untuk beberapa hari ke depan. Barbara merogok kantong celana nya, membuka jendela lalu pergi meninggalkan kamar dengan melompat ke luar.
"Jemput di pertigaan, aku menunggu." Setelah itu Barbara berjalan di sepanjang perumahan yang terbilang elit.
Masih banyak orang karena memang perumahan ini tidak pernah sepi. Barbara melihat sebuah mobil yang di kenali nya melaju pelan, dia menundukkan kepalanya dengan menutup kepalanya dengan Hoodie. Mobil melewatinya dan dia bernapas dengan lega. Terserah. Aarav saja bisa melanggar janjinya, lantas kenapa Barbara tidak bisa?
Sharon yang memang sudah di hubungi menghentikan mobilnya saat melihat Barbara duduk di pinggir jalan. Dia memberikan klakson membuat wanita itu mendongak lalu tersenyum. Membuka pintu dan masuk ke dalam.
"Bagaimana dengan suamimu?"
"Biarkan saja."
"Kau sudah meminta izin?"
"Bukannya sudah aku jelaskan?" Sharon hanya mengangguk.
Barbara tipe wanita yang jika sudah menanti janji, harus di tepati. Dia juga akan memberikan feedback untuk orang yang melakukan hal sama. Maka dari itu harusnya Aarav beruntung, kapan lagi Barbara akan seperti itu. Aarav menyia-nyiakan kesempatan yang di berikan oleh Barbara.
Ponsel Barbara berdering membuat Sharon menoleh, terlihat sebuah panggilan dari Aarav namun sahabatnya itu langsung mematikan ponselnya.
"Kau yakin tidak akan ada pertengkaran? Kalian baru menikah 2 Minggu."
"Memangnya dia akan peduli?"
"Baiklah, jadi mau kemana kita?"
Barbara menyeringai, "Tentu saja ke tempat biasa."
Keduanya tertawa. Hanya ini yang bisa mereka lakukan. Barbara menatap Sharon, berterima kasih karena wanita ini slalu ada untuknya. Sharon tidak pernah meninggalkan Barbara sedikit pun walaupun dalam emosi yang tidak stabil. Barbara beruntung sudah di pertemukan dengan orang baik semacam Sharon.
Di lain tempat Aarav mencoba kembali menghubungi nomor istrinya namun tidak bisa di hubungi. Sepertinya Barbara sengaja mematikan ponselnya karena beberapa menit yang lalu masih tersambung. Kemana perginya sang Istri? Aarav tahu dia sudah mengingkari janjinya tapi haruskah Barbara pergi seperti ini? Kamarnya sudah di kunci, Aarav pikir memang Barbara marah padanya. Namun saat di telusuri tidak ada siapapun di kamar. Ranjang pun kosong tidak tersentuh. Saat itu dia melihat Barbara membuka jendela dan pergi dari sana.
Aarav tahu karena memang dia sengaja memasang CCTV di kamarnya. Semua sudut ruangan terdapat CCTV dan itu hanya Aarav bersama pekerja kepercayaan yang tahu.
"Tuan, Nyonya Barbara ternyata sempat berpapasan dengan kita." Suara dari assiten pribadinya membuat Aarav menoleh.
"Wanita yang tadi menutup kepalanya dengan Hoodie?" tanya Aarav.
"Benar Tuan."
"b******k! Cepat lacak dimana istri ku berada."
"Baik Tuan." Selagi menunggu anak buahnya melacak sang Istri.
Panggilan dari seseorang membuat Aarav muak. Dia mengabaikan panggilan itu, masalah bagaimana nasibnya pikirkan nanti saja.
"Tuan, Nyonya memasuki sebuah mobil berwarna merah." Aarav mendekat.
"Mobil siapa?"
"Mobil atas nama Sharon White."
"Sharon White?"
"Sahabat dari Nyonya Barbara, Tuan."
"Kemana perginya mereka?"
"Nine klub."
"Kita pergi."
***
"Aku baru melihatmu disini, kau karyawan baru?" tanya Barbara pada Hans.
"Iya. Aku baru beberapa hari bekerja disini."
"Tapi racikan mu sungguh enak." Hans tersenyum.
"Aku memang sempat bekerja di klub lain." Kening Barbara mengerut.
"Lantas kenapa kau berhenti?" Hans tidak langsung menjawab. Dia sibuk meracik minuman pelanggan lain.
Sharon entah pergi kemana wanita itu. Bilangnya akan ke kamar mandi namun sudah 15 menit tidak kunjung datang. Barbara tahu Sharon sedang mencari mangsa, jadi biarkan saja, asalkan wanita itu bahagia tidak masalah.
"Pekerja disana sangat sulit untuk meluangkan waktu."
"Kau masih kuliah?" Kepala Hans mengangguk.
"Oh pantas saja. Sepertinya kau mengalami kesulitan yah bekerja sambil kuliah?"
"Mau bagaimana lagi, terkadang hidup itu tidak sesuai apa yang kita harapkan. Jika pun aku dilahirkan bisa memilih, aku juga ingin melakukan itu." Barbara mengangguk membenarkan.
Tidak ada yang tahu nasib manusia bagaimana ke depannya. Selagi memang masih bisa berusaha lakukan. Di lihat dari sisi Barbara, Hans pria yang bertanggung jawab. Walaupun Barbara tidak pernah merasakan bagaimana ada di posisi Kerja dan Kuliah secara bersamaan tapi dia pun mengalami apa arti susah dalam hidupnya.
Barbara hampir saja membanting gelas yang ada di tangannya jika tangannya tidak di tahan. Barbara menoleh lalu mendengus saat melihat siapa yang melakukan itu.
"Ayo pulang." Barbara tidak peduli, dia malah melepaskan pelukan itu.
"Sayang maaf." Kembali tangan kekar itu melingkar.
Barbara meneguk minumnya dengan santai. Hans sampai permisi pamit undur diri ke tempat lain saat melihat tatapan pria itu menatapnya tajam.
Aarav mendudukkan dirinya di samping Barbara. Memutar tubuh istrinya untuk menatapnya. Barbara tidak mau menatap, matanya menatap kemana saja asalkan tidak pada pria di depannya.
"Ara, lihat aku." Barbara memejamkan matanya.
Aarav terkekeh, ada saja kelakuan istrinya ini. Katanya tidak merajuk tapi lihat apa yang di lakukan nya sekarang?
"Aku minta maaf, sungguh, sungguh minta maaf." Barbara menyingkirkan tangan Aarav lalu turun dari stool bar.
"Ara." Kejadian pagi tadi kembali terulang dimana Aarav memegang lengannya.
"Aku. Tidak. Ingin. Berbicara. Dengan mu." Menghentakkan tangan itu lalu pergi masuk pada kerumunan.
Aarav tidak sempat mengejar karena klub ini benar-benar begitu penuh sesak. Matanya mencoba mencari tubuh mungil istrinya yang tenggelam di lautan orang-orang.
"Sialan!" Umpat Aarav.
Aarav berbalik dan terkejut saat melihat Barbara melipat tangannya di depan d**a dengan wajah datar. Lihat? Bahkan Barbara bisa menemukannya di banyaknya kerumunan seperti ini. Musik semakin kuat menghentak membuat Aarav membawa Barbara keluar dari kerumunan sekaligus keluar dari klub itu. Mereka perlu bicara.