Bianca menatap Barbara yang sekarang sudah siap untuk berjalan ke altar. Gaun yang di pakai oleh Barbara benar-benar sangat sederhana. Dulu memang Bianca ikut turun tangan untuk merancang pernikahannya dengan Aarav. Sayangnya, pernikahannya itu harus batal karena Bianca enggan untuk melanjutkan.
"Bisakah aku berbincang dengan Saudari ku hanya berdua?" tanya Bianca pada perias di dalam.
"Tentu Nona." Satu persatu meninggalkan ruangan dan sekarang hanya tersisa Barbara dan Bianca.
Barbara menatap Bianca yang berjalan ke arahnya. Wajahnya yang cantik dan natural itu tersenyum tipis padanya. Mereka tidak pernah main bersama. Mereka tidak seperti kebanyakan anak kembar pada umumnya. Mereka hidup masing-masing seperti dua orang yang tidak saling mengenal padahal mereka memiliki darah yang sama.
Bianca mendekat lalu memeluk Barbara tiba-tiba. Matanya berkaca-kaca, tidak sanggup melihat apa yang akan terjadi pada pernikahan saudarinya.
"Maaf atas keegoisan ku, Ra."
"Tidak ada kata maaf bagimu."
"Aku tahu kau membenciku tapi aku tidak bisa melakukan apapun. Jika aku sanggup, aku tidak akan meminta Papa untuk membatalkan ini semua."
"Sudahlah, tidak perlu ada penyesalan apapun. Beberapa menit lagi aku akan berganti status menjadi Istri orang. Jadi lebih baik, bersiap lah, tidak perlu ada perbincangan seperti ini lagi." ujar Barbara sambil melepaskan pelukan Bianca.
Bianca melepaskan pelukannya lalu menghapus air matanya. Gaun yang di pakainya terlihat indah di tubuh ramping itu. Namun saat tangannya sedang berusaha menghapus air matanya Barbara menahan lengan Bianca.
"Ini kenapa?" Sebuah luka bekas goresan panjang di lengan Bianca.
Bianca menatap lengannya lalu menariknya. "I-ini, aku, aku tidak sengaja tergores pintu."
"Ini bukan luka goresan tapi ini luka benda tajam."
"Ra, aku baik-baik saja."
"Siapa yang melakukan ini?"
"Ra, ini luka lama."
"Luka lama tapi sampai sekarang belum mengering? Jadi siapa?" Bianca memejamkan matanya.
"D-ania." Cicit Bianca pelan.
"Apa yang dia lakukan padamu?" Bianca mengigit bibir bawahnya, kakinya bergerak gelisah.
"Katakan?!" Tekan Barbara.
"A-aku, aku tidak sengaja menumpahkan minuman pada Bianca lalu dia melukai ku dengan pisau yang di panaskan." Tangan Barbara terkepal.
"Apalagi yang dia lakukan?"
"Ra sudahlah aku tidak apa-apa."
"Katakan Bianca?!" Bianca memejamkan matanya.
Barbara tidak akan pernah bisa di bantah. Bianca sekarang bisa saja mengatakan apa yang Dania lakukan padanya tapi dia takut jika Barbara akan mendapatkan hal yang sama sepertinya.
"Lihat." Barbara menyimpan kedua tangannya di bahu Bianca.
Bianca membuka matanya dan tatapan mereka saling beradu. Mata yang sama-sama jernih seindah lautan itu saling memandang.
"Kau tidak perlu lagi mengkhawatirkan kondisiku, bagaimana setelah nanti aku menyandang status sebagai istri Aarav. Karena kemarin aku sempat mendapatkan hal yang serupa dan keningku menjadi sasarannya." Bianca menatap kening Barbara yang memang terlihat di tutupi sesuatu.
"Ra—"
"Jadi katakan padaku apa yang Mereka lakukan padamu, waktu kita tidak banyak Bi. Setelah ini aku milik Aarav dan aku tidak tahu kapan bisa berhubungan lagi dengan kalian." Mata Bianca kembali berkaca-kaca.
"Dania, Adik Ayah Aarav dan Ibunya Aarav. Kau harus berhati-hati pada mereka bertiga. Mereka manusia yang berkedok iblis, melukai orang yang bahkan tidak tahu salahnya dimana. Dania, dia pernah membuatku luka di tangan dan kakiku. Adik Ayah Aarav memperlakukanku seperti seorang pembantu di rumah. Dan Ibu Aarav, dia lebih kejam dari Dania dan Merline, mereka tidak akan pernah puas saat korban nya belum meminta ampun. Aku pernah mendapat luka cambukan dari Ibunya Aarav hanya karena aku tidak ingin menurutinya." Cengkraman di bahu Bianca menguat.
"Harusnya dari awal saat kau di perlakukan tidak baik bicarakan semuanya padaku. Aku tahu kau lebih tua dariku 5 menit tapi bagaimana pun kita masih saudara. Aku slalu mengatakan padamu, aku akan melindungi mu semampu yang aku bisa. Jangan merasa sungkan karena kita tidak pernah bersama bertahun-tahun. Maaf, karena dulu aku melepas mu begitu saja sampai kau harus mengalami hal buruk seperti ini." Kepala Bianca menggeleng.
"Ini bukan salahmu."
"Yayayaya untuk sekarang jagalah Papa dan Mama, jika ada sesuatu yang terjadi katakan padaku." Kepala Bianca mengangguk.
Waktu mereka berbincang memang sebentar karena Rajendra sudah masuk ke dalam dengan jas yang membalut tubuhnya. Barbara melepaskan cengkraman di bahu Bianca lalu menatap Ayahnya.
Mata Rajendra terlihat memerah, Barbara mendekat lalu memeluk Ayahnya itu dengan hangat. Rajendra tentu terkejut, ini pelukan mereka setelah sekian tahun tidak pernah dia rasakan.
"Papa tidak perlu merasa bersalah. Anggap saja anakmu ini sedang menjalankan tugas wajib militer. Papa harus berhati-hati mulai sekarang, jangan terlalu percaya pada orang-orang yang ada di sekitar Papa. Jika ada apa-apa, Papa bisa hubungi aku. Aku akan slalu ada untuk Papa." Rajendra membalas pelukan sang Putri.
"Harusnya Papa yang mengatakan itu padamu sayang. Maafkan Papa karena tidak bisa menjadi Orang Tua yang baik untukmu. Maafkan Papa karena gara-gara Papa kamu harus terjebak di keluarga mereka. Maafkan Papa yang tidak bisa melakukan apapun untukmu." Rajendra menangis membuat Barbara mengusap punggung lebar itu.
"Ikhlas yah Pa, doakan aku baik-baik saja. Jangan khawatir kan aku, Papa tahu kan gimana aku? Walaupun aku perempuan, aku ini jagoan Papa loh haha." Rajendra benar-benar tidak bisa mengatakan apapun lagi.
Ini menyakitkan sekali untuknya. Barbara anak perempuan tapi Putri nya ini berani bertaruh demi keluarganya. Harusnya Rajendra yang berdiri di depan ketiga Wanita tercintanya. Bukan malah berkebalikan seperti ini.
"Tidak ada yang ikhlas untuk melepaskan putrinya pada orang lain nak. Papa takut jika mereka memperlakukan mu seperti mereka memperlakukan Bianca."
"Stttttt, Papa tenang yah, aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Jika mereka memperlakukan ku sama hal nya dengan Bianca, aku akan membunuh mereka satu persatu."
"Tidak, tidak, tidak, cukup dulu kau berada di sana, tidak untuk sekarang." Barbara terkekeh.
Melepaskan pelukannya, tangannya terangkat mengusap air mata yang menetes di kedua pipi Ayahnya. Barbara mencium kedua pipi Rajendra bergantian.
"Aku akan baik-baik saja Pa." Rajendra meraih wajah Barbara mengecup kening anaknya lama.
"Terima kasih telah lahir untuk menjadi anak Papa yang kuat."
"Dan terima kasih telah menjadi sosok ayah yang mencintaiku." Bianca yang melihat itu menghapus air matanya.
Ara, terima kasih telah menjadi saudara yang baik. Terima kasih untuk semua yang kau berikan padaku. Terima kasih atas cinta dan kasih sayang yang kau berikan untuk kakakmu ini. Dan maaf atas keegoisanku.
***
Barbara menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Lelah sekali, tubuhnya terasa benar-benar rontok. Aarav ikut menjatuhkan tubuhnya di samping Barbara membuat wanita itu mendelik.
"Aku membenci mu."
"Kenapa?"
"Kau mencium ku."
"Aku suamimu."
"Yah aku tahu tapi berhenti untuk slalu mencium ku."
"Aku menyukainya."
"Tapi aku tidak." Geram Barbara sambil melempar bantal untuk menutupi wajah Aarav.
Bibirnya sakit sekali. Aarav menciumnya begitu rakus sampai dia harus menendang kaki pria itu untuk menyudahi acara ciuman mereka. Tidak mungkin kan, Barbara memukul atau menonjok Aarav di sana. Bisa-bisa semua orang menganggap Barbara melakukan KDRT walaupun ingin sekali dia melakukannya sekarang juga.
Aarav menyimpan bantal di bawah kepalanya. Menyusupkan tangannya di leher Barbara, membawa istrinya itu masuk ke dalam dekapannya.
"Istriku."
"Semua orang juga tahu, aku ini istrimu sekarang. Jadi berhenti bertingkah Aarav!"
"Tidak mau. Aku masih merindukan Istriku ini." Aarav menciumi wajahnya membuat Barbara siap mengamuk.
"Tidak boleh mengamuk. Aku kan sudah berjanji untuk slalu menyayangimu."
"Kau menyayangiku atau mau berbuat m***m hah?"
"Woah iya benar, sekarang kan malam pertama kita."
"Lakukanlah seorang diri." ujar Barbara sambil menggeliat untuk keluar dari pelukan Aarav.
"Kau menolak?"
"Tentu saja bodoh. Kita masih dalam tahap saling mengenal, aku tidak mungkin membiarkan mu untuk menyentuhku selain mencium ku!"
"Jahat sekali. Aku kan mencintaimu."
"Itu kan kau yang mencintaiku, bukan aku."
"Makanya cepat jatuhkan cintamu padaku supaya kita bisa membuat anak." Barbara menarik rambut Aarav yang dibiarkan gondrong itu.
"Awwwww."
"Kau menikahi ku karena mencintaiku atau hanya ingin memiliki anak?"
Aarav mengusap kepalanya, "Aku mencintaimu."
"Omong kosong." Barbara bangkit berdiri. Gerah sekali, dia membutuhkan mandi.
"Mau kemana?"
"Astaga Aarav! Aku hanya ingin mandi." Barbara kesal sekali, melihat Aarav yang masih tertidur namun tangannya menggenggam lengannya.
"Jangan lama-lama, nanti aku rindu."
"Pria gila!" Barbara menyentak tangan Aarav yang tertawa.
Lama-lama Barbara ikut serta menjadi gila. Aarav akhir-akhir ini sering tertawa dan tersenyum, dua hal itu pun hanya di berikan padanya. Barbara juga tidak tahu pasti, kenapa pria itu terlihat sangat bahagia. Padahal disini Barbara lah yang merasa frustasi.