Marriage Of Two Worlds 9

1434 Words
"Ara, apa kau baik-baik saja?" "Kenapa?" "Kau terlihat pucat." Barbara menghela napas. Kepalanya memang lumayan pusing. Mungkin efek dari luka yang di dapatnya kemarin. Pernikahan mereka memang di undur beberapa hari lagi, mengingat semuanya benar-benar di rubah sesuai keinginan Barbara. Barbara sekarang sedang bergelung di sofa sambil menonton K-drama. Aarav duduk di samping Barbara, menyentuh kening wanita itu dan memang lumayan hangat. "Kau sudah makan?" "Belum." "Mau aku pesankan sesuatu?" "Pizza saja." "Tapi kau belum makan nasi." "Bisa minta tolong Bi Sari buatkan aku ramen saja." Aarav mengangguk. Bangkit dari duduknya lalu pergi meninggalkan Barbara seorang. Barbara menatap punggung Aarav yang menghilang di telan pintu kamar. Pria itu benar-benar memperlakukannya bak seorang Ratu. Apapun yang Barbara inginkan akan di dapatkan dengan mudah. Barbara cukup kagum karena mereka baru kenal beberapa hari namun Aarav sudah begitu perhatian padanya. Dari hal yang paling kecil sampai hal terbesar. Aarav sempat menyatakan tentang perasaannya yang mengatakan dia mencintai Barbara itu belum tentu membuatnya yakin. Kita lihat saja nanti sampai mana Aarav akan memperlakukannya seperti ini. Barbara jika meminta sesuatu tidak akan pernah setengah-setengah. Jadi selagi Aarav melakukannya dengan ikhlas Barbara tidak akan ambil pusing. Aarav kembali dengan sebuah nampan di tangannya. Selama beberapa hari ini mereka sering bersama jadi Barbara sedikit tahu apa yang di lakukan pria itu. Aarav lebih senang skin ship, semua makanan yang di buat masuk semua. Untuk sekarang masih normal yah, hanya mungkin, Barbara tidak menyukai saat Aarav lebih banyak menghabiskan waktu di kantor berjam-jam. Kadang kala pria itu pulang pukul 2 dini hari dimana Barbara juga masih terbangun. "Aku membawakan beberapa cemilan, siapa tahu ada makanan yang kau suka untuk di makan sebelum datang pesanan mu." "Kenapa kau repot-repot yang membawanya?" "Lantas kenapa?" "Disini banyak Art." "Memangnya salah aku ingin memanjakan Calon Istriku?" "Bukan begitu, kau baru saja pulang bekerja, seharusnya kau beristirahat bukan malah mengurusku." Aarav tersenyum, senyum yang memang hanya Barbara yang mendapatkannya. Senyum yang tidak akan pernah bisa semua orang dapatkan dengan mudah. Mendapatkan senyum Aarav itu seperti mendapatkan sebuah lotre dan itu amat sangat langka. "Lelahku akan hilang setiap melihatmu." Barbara menyipitkan mata, "Sepertinya kebun binatang kehilangan satu hewan." Aarav mengerutkan kening, "Maksudnya?" "Buayanya sekarang ada di sampingku, seharusnya mereka menangkar nya dengan baik." Aarav terkekeh, "Baiklah, maafkan buaya ini yah?" Barbara memutar bola matanya. Lalu kembali memusatkan perhatiannya pada layar besar di depannya. Kegiatan Barbara apalagi selain berjalan-jalan dan menonton tv. Bisa sih Barbara keluar rumah hanya saja Sharon sedang tidak bisa di ajak jalan. Wanita itu sedang pergi keluar kota entah dengan siapa. Yang pasti Sharon mengatakan akan datang ke pesta pernikahannya. "Aku mandi dulu yah, setelah itu nanti kita makan malam di luar bagaimana?" "Ya." Hanya itu jawaban yang Aarav terima dari Barbara. Setelah Aarav masuk ke kamar mandi. Barbara kembali sibuk dengan acara menontonnya. Namun deringan ponsel milik Aarav sedari tadi mengganggunya. Barbara mendesah, dia menyibak selimutnya lalu turun dari sofa. Berdiri di dekat meja rias lalu meraih benda pipih itu. Dania "Mau apalagi wanita menyebalkan ini?" Gumam Barbara. Barbara mengabaikan panggilan Dania, dia lebih berfokus pada beberapa chat yang masuk ke aplikasi iMessage. Ada beberapa nomor yang tidak di kenal dan beberapa pesan chat yang tidak di buka. Namun ada banyak pesan dari Dania yang tidak di buka. Karena penasaran Barbara membuka pesan itu. Matanya melotot saat melihat foto dan beberapa video yang wanita itu kirimkan. "Pelacur." Desis Barbara. Kembali telepon dari orang yang sama masuk. Barbara menggeser tombol hijau lalu menempelkannya di telinga. "Aarav, kenapa lama sekali kau mengangkat teleponku? Kenapa akhir-akhir ini kau slalu mengabaikan ku? Kau sudah tidak ingin lagi bermesraan denganku? Kita sudah lama tidak berhubungan, apa kau tidak rindu hm? Biasanya jika aku telepon, kau slalu langsung mendatangiku dan kita akan b******u semalaman. Aarav ...." Barbara tidak mendengarkan ocehan Dania di sebrang sana. Benar. Mereka memiliki hubungan. Pintu kamar mandi terbuka menampilkan Aarav yang keluar hanya menggunakan bathrobe. Barbara mematikan panggilannya lalu menyimpan ponsel Aarav dengan kasar. Aarav terkejut, dia menatap Barbara dengan pandangan bingung. "Ada apa?" "Jadi benar kau memiliki hubungan dengan si p*****r itu." "Maksudmu?" "Tidak usah berpura-pura, barusan p*****r mu menelpon katanya dia rindu di belai olehmu." Setelah mengatakan itu Barbara kembali ke sofa. Barbara tidak cemburu. Hanya saja dia merasa jijik dengan apa yang di lakukan Aarav dan Dania. Bisa-bisanya mereka sering bersama sedangkan beberapa hari lagi mereka akan menikah. Fine. Barbara bukan orang yang mudah ikut campur dalam hubungan seseorang tapi masalahnya Aarav akan menjadi suaminya. Suami yang akan hidup seumur hidup bersama dengannya. Dan Barbara ingin menikah sekali seumur hidup. Yah setidaknya kan kalaupun pernikahan mereka berhenti di tengah jalan, tidak adanya orang ketiga. Barbara sangat amat anti yang namanya ada orang ketiga di kehidupannya. Aarav meraih ponsel miliknya, beberapa chat yang Dania kirimkan terbuka dan itu ulah Barbara. Aarav menghela napas, menyimpan ponselnya lalu berjalan ke arah Barbara yang yang memperlihatkan wajahnya saja. "Kau cemburu?" "Tidak." "Bukan aku yang memulai." "Aku tidak peduli." "Mau mendengar ceritaku?" "Tidak." Aarav menganggukkan kepala. "Oke. Lain kali aku akan memberitahumu apa yang terjadi antara aku dan Dania." "Tidak perlu." "Ra?" "Apa?" "Aku hanya ingin terbuka padamu." Barbara menatap Aarav yang juga menatapnya. "Kau yakin?" "Tentu." Sebenarnya Barbara ingin tahu apa yang terjadi, namun karena gengsi enggan bertanya jadi dia pura-pura tidak tertarik dengan cerita Aarav dan wanita itu. "Apa masa lalu mu dengan Dania belum usia?" "Semuanya sudah selesai. Aku dan Dania hanya sebatas masa lalu, ke salah pahaman itu yang membuatku masih ada hubungan dengannya." "Tidak bisakah kau memutuskan hubunganmu??" Aarav menghela napas. "Aku ingin sekali memutuskan tapi rasanya sulit sekali." "Apa yang sebenarnya terjadi?" Pertanyaan yang sangat sulit Aarav jawab. Barbara mengangguk, mungkin belum waktunya Aarav bercerita. Oke, mungkin memang masa lalu mereka lumayan sulit untuk di ungkap jadi Barbara akan menunggu. "Ok. Aku akan menunggu sampai kau mau bicara." "Terima kasih." *** Makan malam kali ini lumayan membuat mood Barbara baik. Restoran yang mereka singgahi memang terbilang cukup nyaman. Sebenarnya Barbara merekomendasikan sebuah tempat makan yang enak dan unik hanya reputasi Aarav lebih penting ketimbang perutnya. Setiap apapun yang Aarav lakukan, publik pasti akan mengetahuinya. Dan Barbara memang merasa risih saat matanya menangkap beberapa kali ada orang yang mengarahkan ponselnya ke arah mereka. "Aku ingin berbicara." "Bicaralah." "Aku risih." "Risih?" "Hm. Ada beberapa orang di dekat kita yang mengarahkan ponselnya." Aarav menatap ke sekeliling dan memang benar mereka langsung pura-pura sibuk dengan kegiatan mereka saat matanya tidak sengaja bertatapan. Aarav menyimpan sendok nya, "Sorry. Apa perlu kita pindah restoran?" "Tentu saja. Mana bisa aku makan dengan nikmat jika setiap menyuap slalu aja ada flass kamera yang mengarah pada kita." Aarav menghela napas melihat mood Barbara kembali ke semula. Aarav harus banyak bersabar. Mood Barbara benar-benar tidak bisa terkontrol. Baru 30 menit mereka disini dan Barbara masih santai tapi setelah tahu ada yang membuatnya risih mood nya kembali ke awal. Aarav mengusap bibirnya dengan serbet lalu mengangkat tangan. Seorang waiters datang. "Tolong bill nya." Waiters itu langsung memberikan bill yang di minta oleh Aarav. Selagi Aarav sedang membayar matanya menatap ke arah sekitar. Rasa-rasanya ada seseorang yang memperhatikan mereka. Barbara menyipitkan matanya saat dia bertemu dengan sosok yang berada di luar jendela. Siapa? Apa mereka saling mengenal? Kenapa dia terus memperhatikan mereka? Lebih tepatnya pada Aarav. "Kau memiliki musuh?" "Tentu saja. Musuhku ada dimana-mana, kenapa?" "Kau tahu siapa orang yang di balik kaca itu?" Aarav menoleh ke arah dimana Barbara memperhatikan sosok yang di maksud. "Dia orang suruhan Ayahku." "Haruskah kita di ikuti seperti ini?" Aarav memegang lengan Barbara. "Kau risih?" "Ck! Bukannya sudah jelas jika aku memang risih, kenapa masih bertanya?!" Barbara menarik tangannya lalu mendorong kursi kasar dan pergi meninggalkan Aarav yang mengusap wajahnya. Barbara sama sekali tidak tahu jika hidupnya akan berbanding berbalik. Dia yakin apapun yang dilakukannya pasti orang-orang entah suruhan Calon Mertuanya atau Aarav akan slalu ada di sekitarnya. Barbara tidak akan bisa melakukan kegiatannya sesuka hatinya. Aarav pengusaha sukses yang tentu saja kehidupannya akan slalu di sorot. "Ara, tunggu." "Kau pulang lah lebih dulu." "Kau mau kemana?" "Pergi." "Yah aku tahu kau akan pergi tapi pergi kemana?" "Haruskah kau tau aku pergi kemana?" "Bukannya kita sudah sepakat kemana pun kau pergi, aku harus tahu?" Barbara menatap Aarav lalu memeluk pria itu. Aarav terkejut karena baru kali ini Barbara lah yang memeluknya terlebih dulu. Di parkiran mereka berpelukan dan itu benar-benar langka untuk Aarav. Tangannya merambat dan balas memeluk Barbara. "Aku benci mengatakan ini tapi tolong aku tidak ingin di ikuti diam-diam seperti ini. Aku memiliki privasi untuk melakukan apapun yang aku inginkan. Untuk berduaan saja denganmu bahkan harus ada orang-orang seperti ini." Aarav mencium kepala Barbara. "Maafkan aku, aku tidak ada kuasa untuk melarang Ayahku melakukan hal ini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD