Dan benar saja saat masuk ke dalam rumah suasana begitu menegangkan. Barbara harus kembali berhadapan dengan orang-orang yang sama. Orang-orang yang membuatnya ingin cekik mereka satu persatu. Bisakah sekarang Barbara pergi dari sini? Dia benar-benar muak mendapatkan tatapan yang membuatnya ingin mencokel mata mereka satu persatu. Barbara tahu pakaian yang dikenakannya tidak sesuai dengan pakaian mereka yang terbilang indah dan bermerk. Tapi kalau di pikir-pikir mereka saja tidak tahu harga koas yang di pakai Barbara itu langka. Mereka pasti tahunya hanya baju-baju wanita rancangan desainer ternama.
"Jadi bener jika Rajendra memiliki satu orang Putri lagi?" tanya Leroy.
"Tentu saja." jawab Barbara yakin.
"Jadi selama ini kau hidup dimana? Bagaimana bisa publik tidak mencium keberadaan mu?"
Barbara menatap kukunya sebentar sebelum mendongak berpandangan dengan mata Calon Mertuanya.
"Aku hidup di jalanan."
"Pantas saja kau tidak memiliki bakat sama sekali." jawab seorang wanita yang entah siapa itu.
"Jika aku tidak memiliki bakat, lantas apa yang kau miliki? Apa Menghina seseorang dengan mulut kotor mu itu adalah bakat mu?"
"Lancang sekali kau." Marah wanita itu.
"Harusnya aku yang mengatakan itu, tidak pantas rasanya seorang yang memiliki pendidikan luas dan karir yang bagus namun tidak memiliki Attitude yang baik." Benar-benar membuat suasana di ruangan itu menegang.
Barbara mengatakan yang sebenarnya. Latar belakang mereka semua bagus, tidak ada satu pun dari keluarga Aarav yang berpendidikan rendah. Mereka lulusan terbaik di beberapa universitas. Tapi sayang selama mereka berpendidikan entah apa yang dilakukan. Apa mereka menyogok sebuah universitas untuk hasil yang baik? Bisa jadi.
"Maafkan adikku Barbara, dia mungkin masih belum bisa menerima mu di keluarga kami." ujar Leroy.
"Memangnya aku juga mau menerimanya jadi keluargaku?" Aarav hanya bisa menghela napas, mana mau Barbara mengalah.
Barbara pasti akan membalas setiap ucapan orang yang mengkritik kehidupannya. Balasan yang di ucapkan nya pun terkadang begitu sarkas. Aarav tahu hidup di jalanan membuat Barbara menjadi sosok yang liar. Namun Barbara bisa menyesuaikan diri, sopan santun nya akan di pakai saat orang yang di temui nya memiliki tutur kata yang baik. Aarav tahu, ini salah keluarganya, mereka tidak tahu siapa yang sedang di hadapi. Bukan maksud Barbara ingin di pandang jagoan tapi memang itu sifat asli Calon Istrinya.
Leroy tidak bisa lagi menjawab. Wanita ini benar-benar bisa membalikan semua kalimatnya. Leroy lebih senang dengan sosok Bianca, adiknya berkata kasar pun hanya di balas dengan senyuman. Tapi Leroy tidak bisa membatalkan pernikahan Aarav. Ini permintaan sang Putra yang tentu saja mesti dia kabulkan. Siapapun yang akan menjadi pendamping Aarav, Leroy harus menyetujuinya termasuk Barbara yang 3 hari lagi akan menjadi bagian keluarganya.
"Apa?" tanya Barbara pada Dania yang menatapnya sinis.
"Tidak."
"Matamu tidak bisa berbohong. Kenapa? Kau tidak suka aku ada disini?"
"Tentu saja. Kau merusak pemandangan."
"Memangnya kau juga tidak merusak pemandangan? Baju kurang bahan mu itu pantas untuk menjadikanmu p*****r di klub, di banding acara pertemuan keluarga seperti ini." Barbara tersenyum mengejek. Benar-benar amat sangat menyebalkan.
Aarav menyenggol lengan Barbara untuk berhenti berulah. Tapi wanita itu hanya mengangkat bahunya tidak peduli. Lagipula dia tidak tahu di ajak ke rumah Orang Tua Aarav untuk apa. Keluarga Aarav lumayan banyak dan mereka semua memiliki sifat yang sama. Sepertinya di ruangan ini orang yang waras hanya Barbara seorang.
Dania ingin sekali menampar mulut Barbara sekarang juga. Namun hal itu tidak mungkin dilakukannya. Wanita yang sedang di hadapinya bukan sosok yang lemah. Jika Dania berani berlaku sesuka hatinya, dia bisa dalam bahaya. Cengkraman Barbara saja membuat tangannya memar. Dania harus mencari cara untuk membuat wanita itu kapok.
"Sudah, sudah, lebih baik kita bicarakan, bagaimana persiapan pernikahan kalian?" ujar Leroy menengahi.
"Semua konsep kami rubah ulang Pa, mungkin membutuhkan waktu beberapa hari lagi." ujar Aarav.
"Kenapa di rubah? Mama kan udah bilang, Mama suka konsep nya." ujar Seorang wanita yang memanggil dirinya Mama.
"Kalau Tante suka dengan konsep nya, silakan saja pakai untuk pernikahan Tante." jawab Barbara.
"Jadi kau yang merubah semuanya?"
"Tentu saja. Memangnya siapa lagi yang berani merubah konsepnya selain calon pengantin."
"Tapi itu pilihan Bianca."
"Aku tanya, yang menikah dengan Aarav sekarang siapa?" Mika, Ibu Aarav tidak menjawab.
Hanya membahas pernikahan saja harus memakai otot. Tidak habis pikir jika dia menemukan keluarga yang menurutnya benar-benar tidak masuk di akal. Beruntung yah Aarav tidak masuk rumah sakit gara-gara sakit jiwa. Ups! Bukannya memang Aarav sudah sakit jiwa yah, memaksanya untuk menikah dengan pria itu. Yah berarti memang keluarga ini isinya orang gila semua.
"Konsep apa yang kau pakai?" Aarav menyodorkan tabletnya pada sang Ayah.
Leroy menerimanya lalu menatap layar besar itu. Menggeser kesamping, kepalanya mengangguk. Lumayan, ternyata konsep yang di rubah ulang lebih terlihat elegan dengan warna hitam. Mika meraih tablet itu lalu menatapnya.
"Kenapa kau memilih konsep berwarna hitam?" Barbara akan menjawab namun ucapannya di serebot oleh Dania.
"Tante kaya nggak tahu aja hidup dia bagaimana."
"Suka warna hitam bukan berarti hidup ku suram. Lantas saat kau menyukai warna merah, aku sebut kau p*****r, begitu?" Aarav meraih tangan Barbara untuk tidak lagi berseteru dengan keluarganya.
"Sudah, kenapa kalian malah jadi berdebat seperti ini. Ini pernikahan Aarav dan Barbara, jadi biarkan mereka yang menentukan baiknya seperti apa."
"Pa tapi Mama tidak menyukai konsep ini. Lalu gaun apa yang akan kita pakai nanti? Semua para tamu pasti merasa mereka akan datang ke acara pemakaman bukan ke acara pernikahan."
"Semua tamu harus tahu Tante, mereka datang memakai pakaian berwarna hitam bukan untuk ke pernikahan aku dan Aarav saja tapi sekalian menghadiri acara meninggalnya Tante di sana nanti haha." Barbara benar-benar mencari masalah.
Mika yang mendengar itu merasa geram, dia melempar tablet yang ada di genggamannya ke arah Barbara. Barbara yang tidak sempat menghindar akhirnya tablet itu mengenai jidatnya.
"Lancang sekali mulut mu itu? Apa kau tidak di ajarkan oleh orang tua mu bagaimana caranya bersikap di hadapan orang tua? Pantas saja Orang Tua mu tidak menganggap mu anaknya, makanya kau hidup di jalanan." Marah Mika membuat suasana semakin menegang.
Keluarga Aarav tersenyum saat melihat Mika sudah mengamuk. Semuanya takut terhadap Mika karena bisa di katakan dia penguasa di rumah ini setelah Leroy, suaminya. Tangan Aarav terkepal saat melihat darah mengucur dari kening Barbara. Urat-urat di lehernya sudah terlihat jika dia menahan amarah.
Barbara mengusap darah yang mengalir dari dahinya. Dia mendongak menatap Mika yang sekarang berdiri di hadapannya. Menghela napas, benar-benar keluarga gila. Barbara menatap tablet di sampingnya, bangkit berdiri lalu membanting benda itu.
"Ra?" Aarav menarik Barbara untuk duduk.
Mika terkejut. Tidak menyangka jika Barbara akan melakukan itu. Mika pikir dengan marahnya dia seperti ini, Barbara tidak akan melawan dan dia akan menyerah tapi nyatanya wanita itu mendekat ke arahnya lalu mendorongnya untuk duduk.
Barbara berjongkok lalu menatap Mika dengan datar, "Jika Tante tidak menyukaiku, Tante tidak perlu memakai kekerasan sampai melukai anak orang. Tidak ada Orang Tua yang menginginkan anaknya untuk menjadi orang tidak berguna. Lain kali ingatlah, Tante seorang Ibu, hati seorang Ibu lebih hangat, memiliki perasaan yang lembut, untuk menyakiti sesuatu saja seorang Ibu pasti akan berpikir dua kali. Yang menjadi pertanyaan ku sekarang, apa Bianca pernah di perlakukan sama sepertiku? Bersikaplah sebagimana Orang Tua yang bijaksana, jangan sampai amarah menguasai diri Tante."
Setelah mengatakan itu Barbara bangkit, mengusap kembali darah yang menetes di pipinya. "Terima kasih atas lukanya, aku akan mengingat sampai kapan pun luka ini. Aku permisi."
Barbara pergi berlalu meninggalkan ruangan itu. Dia mengumpat di dalam hatinya. Sialan! Bahkan semarah apapun orang Tuanya tidak pernah Barbara sampai terluka. Keluarga psycopat.
Aarav menatap Ibunya dengan pandangan sayu, dia tidak mengatakan apapun karena setelahnya pergi menyusul Barbara.
"Ra, ayo kita ke rumah sakit." ujar Aarav memegang lengan Barbara.
"Aku bisa mengobati nya sendiri."
"Tapi itu bukan luka biasa, kening mu robek dan pasti membutuhkan jahitan."
"Bisakah kau diam?" Aarav akhirnya memilih diam, dia membukakan pintu untuk Barbara.
Barbara memejamkan matanya. Sialan! Benar-benar keluarga b******k! Bagaimana bisa mereka memperlakukan anak orang sesuka hatinya? Melukai tanpa merasa bersalah. Yang menjadi pikiran Barbara sekarang, apa Bianca pernah di perlakukan seperti ini? Jika memang, Barbara benar-benar akan membalasnya dua kali lipat.
***
"Kenapa kau bisa terluka seperti ini?"
"Tanyakan saja pada keluarga Aarav."
"Apa yang mereka lakukan?"
"Ibunya Aarav melempar ku dengan tabletnya."
"b******k! Apa yang kau lakukan sampai Ibunya Aarav melempar mu dengan tablet?"
"Aku hanya mengatakan tentang konsep pernikahan kami yang di rubah. Ibunya Aarav marah mengatakan tidak menyukai warna yang aku pilih, mengatakan tamu merasa akan datang ke pemakaman. Ya sudah karena aku kesal aku balas, tamu bukan hanya datang ke pesta pernikahan ku namun juga atas meninggalkan ibu Aarav." Sharon meringis mendengar ucapan Barbara. Memang anak kurang ajar Barbara ini. Seharusnya dia tidak menjawab seperti itu, pantas saja dia di lempar tablet oleh Calon Mertuanya.
"Seharusnya kau tidak mengatakan hal itu, Bar."
"Peduli setan. Jika memang mereka tidak menyukai ku lantas untuk apa mereka masih menyetujui permintaan Aarav?"
Benar.
Jika memang keluarga Aarav tidak menyukai Barbara untuk apa melanjutkan pesta pernikahan ini? Sharon tahu ada sesuatu yang janggal dengan apa yang terjadi pada Barbara. Mungkin untuk Aarav yang menyukai Barbara bisa lah untuk di maklumi tapi keluarga besarnya sampai melukai seperti ini, Sharon tidak yakin jika Barbara tidak akan terluka lagi.
"Bar apa tidak sebaiknya kau batalkan saja pernikahan kalian?"
Barbara memutar bola matanya, "Dulu siapa yang paling ngotot kalau aku harus menikah dengan Aarav?"
"Ya aku tahu itu keinginan ku tapi jika kau sampai terluka seperti ini, apa kau yakin pernikahan kalian akan baik-baik saja?" Barbara juga sempat menanyakan pertanyaan itu pada dirinya sendiri.
Apakah pernikahannya dengan Aarav akan berjalan seperti pada umumnya? Oke, Barbara mungkin tidak menyukai pernikahan ini tapi dia menghargai apapun yang Aarav lakukan padanya. Barbara akan berusaha untuk mengikuti alur yang Tuhan berikan padanya tapi jika sudah sampai terluka seperti ini, masih bisakah di lanjutkan?
Barbara menghela napas, "Aku bahkan tidak yakin jika semuanya akan baik-baik saja."
"Lalu apa yang akan kau lakukan? Kau tidak akan mungkin diam saja bukan? Kening mu bahkan harus mendapatkan jahitan, mana beberapa hari lagi kau akan menikah."
"Jadi mau mu apa?"
"Entah. Aku senang kau menikah dengan sosok yang di inginkan banyak wanita di luaran sana tapi aku juga khawatir saat kau di perlakukan tidak baik oleh keluarganya."
"Yah itu artinya memang aku harus melawan mereka."
"Oke. Jika kau membutuhkan bantuan ku, hubungi saja."
"Pasti." Barbara memang meminta Aarav untuk membawanya ke apartemen Sharon di banding pulang ke Mansion.
Moodnya benar-benar sedang tidak baik, makanya dia lebih senang untuk bertukar pikir dengan sahabatnya. Sharon dan Barbara akan berdebat, mempertahankan argumen mereka tapi setelah dicerna pasti akan ada jalan keluarnya. Tidak ada rahasia di antara keduanya. Semuanya benar-benar terbuka.