"b******k!" Sharon terkejut saat Barbara menendang kursi yang ada di kafe.
Sharon menundukkan kepalanya meminta maaf pada beberapa orang yang merasa terganggu dengan kelakuan sahabatnya. Menarik tangan Barbara untuk duduk secara paksa. Entah apalagi yang akan di ceritakan sahabatnya ini, sampai datang-datang membuat ke gaduhan. Beruntung kafe ini tempat biasa mereka nongkrong jadi jika pun ada kerusakan hanya tinggal perlu di ganti tanpa harus beradu otot.
"Tenang sister, ayo minum dulu." Sharon menyodorkan sebuah Jus semangka pada Barbara.
Dengan rakus Barbara menyedotnya. Tidak peduli jika rambutnya berantakan dan wajahnya tidak enak di pandang. Dia masih kesal, ingin mencekik seseorang sekarang juga. Tidak enak rasanya jika sedang marah di suruh sabar, rasanya ada sesuatu yang mengganjal dalam hati.
"Udah tenang kan?" tanya Sharon sambil mengusap punggung Barbara.
"Sialan! b******k! Ingin sekali aku membunuh mereka semua."
"Oke, oke, ada apa? Ayo ceritakan tapi kau harus menarik napas terlebih dulu." Barbara menarik napas lalu menghembuskan nya. Terus berulang sampai amarahnya menyurut.
"Tenang yah. Jadi ada apa?"
"Aku benar-benar ingin membunuh wanita yang bernama Dania. Wanita sialan yang bisa-bisanya mengusik tidur nyenyak ku. Wanita b******k yang ingin sekali aku hancurkan wajahnya sekarang juga. Wanita b******n yang rasanya ingin aku matikan dari muka bumi ini." Sharon menarik gelas yang ada di tangan Barbara. Bahaya jika Barbara memegang barang, bisa-bisa emosinya tidak terkontrol dan melemparkan barang itu.
"Memangnya apa yang wanita itu lakukan padamu?"
"Pagi tadi,"
Sebelumnya
Barbara tidur dengan tenang. Wajahnya begitu damai, terlihat jika dia sedang memimpikan sesuatu sampai tidur tenangnya di ganggu dengan air yang membasahi tubuhnya. Barbara terkejut, kepalanya berdenyut sakit akibat terkejut. Dia mengusap wajahnya lalu memandang siapa pelaku yang sudah melakukannya dengan seenaknya.
"Bangun! Enak sekali kau tidur."
"Tentu saja enak, kenapa? Kau merasa iri karena tidak bisa tidur tenang?"
"Sialan! Tidurku slalu tenang. Sekarang bangun dan mulailah bekerja."
"Bekerja untuk apa?"
"Tentu saja untuk menjadi Istri dari Aarav kau harus bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah."
"Kau sinting atau gila? Aku dipersunting Aarav untuk menjadi Ratu bukan menjadi pembantu." Kesal sekali Barbara, pagi-pagi sudah mendapat serangan nenek sihir.
Tubuhnya menggigil. Semenjak tinggal bersama dengan Aarav tubuhnya slalu di manjakan, jadi kena air dingin tubuhnya seakan langsung menolak. Bayangkan bertahun hidup di jalanan, hanya beberapa hari tinggal tubuhnya langsung keenakan.
"Apa Aarav tidak memberi tahu mu?"
"Tentang?"
"Siapapun yang akan menjadi Istrinya nanti, dia harus melayani Aarav dengan sepenuh hati. Dari segi apapun itu termasuk menjadi Ibu Rumah Tangga." Barbara menggelengkan kepala.
Aarav sama sekali tidak mengatakan apapun padanya. Lagipula Barbara tidak peduli akan pernikahan mereka. Barbara disini hanya menggantikan posisi Bianca, selebihnya karena penasaran mungkin sedikit bermain tidak ada masalah.
"Lalu?"
"Ya kau harus mulai bekerja."
"Kenapa tidak kau saja? Kenapa kau harus menyuruh ku?"
"Tentu saja karena kau yang akan menikah dengan Aarav."
"Lantas kau siapa bisa menyuruhku sesuka hatimu?" Dania tidak menjawab.
Barbara menggelengkan kepala heran. Ini manusia satu, tidak ada kerjaan kah? Pagi-pagi sudah menganggu tidurnya.
"Pokonya sekarang kau ikut aku." Dania tanpa rasa bersalah menarik rambut Barbara.
Barbara terkejut lalu menarik tangan Dania dan memelintirnya ke belakang.
"Awwwwww."
"Jangan pernah menyentuhku seujung kuku pun. Jika kau berani memperlakukan ku seperti ini, bukan hanya tanganmu yang aku patahkan tapi aku akan mencokel bola matamu, apa kau paham?"
"Lepaskan." Dania memberontak dan Barbara melepaskannya.
"Lalu apa yang membuatmu ingin membunuh mereka semua?"
"Keluarga Aarav."
"Hei mereka akan menjadi keluargamu juga." Barbara berdecak.
"Sebenarnya kau berpihak pada siapa b***h?"
Sharon meringis. Seharusnya dia tidak membangunkan seorang harimau yang sedang hibernasi. Harusnya Sharon iya kan saja apapun yang Barbara katakan. Biarkan emosi wanita ini turun dulu, baru setelahnya Sharon bisa mengatakan apapun sesukanya.
"A-aku ... aku tidak berpihak pada siapapun, sungguh."
"Tapi perkataan mu barusan seakan mengatakan jika kau mendukung Aarav."
"Tidak, bukan begitu. Maksudku kenapa kau ingin membunuh keluarga Aarav sedangkan mereka akan menjadi keluargamu juga."
"Jika keluarga mereka normal aku akan dengan senang hati menerima."
Oke!
Sharon paham sekarang dengan ucapan Barbara. Keluarga tidak normal? Berarti kemungkinan terbesar memang keluarga Aarav tidak sesuai yang di lihat di media. Pantas Barbara mengamuk, orang kalau berhubungan dengan keluarga toxic tentu saja siapapun yang mengalaminya akan melakukan hal serupa.
"Lalu sekarang apa yang akan kau lakukan?"
"Entahlah. Beberapa hari lagi aku akan menikah, statusku akan berubah, kehidupanku juga. Ya Tuhan! Bisakah kau turunkan malaikat padaku? Aku tidak ingin bernasib seperti Cinderella yang di siksa Ibu tirinya."
Mulai.
Segarangnya Barbara tetap saja ada sisi kekanak-kanakannya. Sharon bahkan sempat tidak percaya namun mereka sudah lama bersama jadi tentu saja tahu saat dimana sahabatnya itu berlaku seperti ini.
"Mana ada di siksa Ibu tiri, yang ada kau akan slalu aku sayangi." Barbara terkejut saat sosok tinggi besar itu berada di sampingnya bersama beberapa orang berpakaian hitam.
"Kau? Sedang apa kau disini?"
"Tentu saja menjemput calon istriku."
"Untuk apa?"
"Kau lupa sekarang kita harus fitting baju pengantin." Barbara terdiam.
Fitting baju yah? Bisa tidak Barbara menghilang saja sekarang juga? Barbara benar-benar belum siap untuk mengganti statusnya. Barbara masih muda, masih ingin berkeliling dunia untuk melihat indah dan kejamnya dunia. Bukan malah terkurung dengan status pria menyebalkan seperti Aarav. Mana Aarav jika berhubungan dengan keluarganya hanya diam. Barbara butuh sosok yang bisa saling melindungi.
Sharon menendang pelan kaki Barbara. Wanita itu malah melamun, tidak sama sekali merespon. Sharon tahu dari mimik wajahnya jika Barbara enggan untuk beranjak. Jika sahabatnya menolak, akan terjadi apa? Apa pertengkaran seperti beberapa waktu lalu akan terjadi? Sharon berharap semuanya baik-baik saja. Karena bagaimana pun juga Sharon ingin yang terbaik untuk sahabatnya.
"Mobil tesla ku bagaimana?"
"Sudah sampai di garasi dengan selamat."
"Warna yang sesuai aku inginkan?"
"Tentu saja Princess."
"Oke."
Apa ini? Apa yang Sharon lewatkan?
"Aku pergi. Nanti aku hubungi jika waktu ku kosong."
"Sok sibuk." Cibir Sharon sambil ikut berdiri untuk saling berpelukan.
"Aku pergi yah."
"Hati-hati." Keduanya saling melambai.
"Kami permisi." ujar Aarav.
"Ya, silakan."
Sharon tersenyum. Setidaknya sekarang Barbara sudah ada yang menemaninya. Semoga apapun yang nanti terjadi Barbara bisa menghadapinya.
***
"Ini terlalu berlebihan, apa tidak bisa cari yang lebih simpel lagi?" tanya Barbara pada sang desainer.
"Ini sudah yang paling simpel diantara semuanya Nona." Barbara menatap dirinya di cermin.
Tidak!
Ini terlalu rumit menurutnya. Barbara lebih senang yang simpel. Gaun nya terlalu mewah untuknya di pakai pada pesta pernikahan.
"Tunggu sebentar." kata Barbara sambil keluar menuju waiting room.
Aarav sedang berjibaku dengan tablet nya. Sibuk menunduk hingga tidak tahu jika Barbara sudah keluar menghampirinya.
"Aarav bisakah aku meminta gaun yang lebih simpel lagi dari ini?"
"Gaun itu sudah simp—" Aarav tidak melanjutkan ucapannya saat kepalanya mendongak.
Dengan rambut berwarna merahnya yang tergerai Barbara terlebih begitu cantik dan menakjubkan. Gaun itu sang pas di tubuh Barbara -yang memang seharusnya Gaun itu di peruntukan untuk Bianca-.
"Aarav, apa kau mendengar ku?"
"Ya?"
"Aku ingin mengganti Gaun nya dengan yang lebih sederhana."
"Tapi pesta pernikahan kita hanya tinggal 3 hari lagi, itu akan memakan waktu jika kau mengganti Gaun nya." Barbara melipat tangannya di depan d**a, wajahnya sudah tidak enak di lihat.
"Ya sudah kau saja yang menikah seorang diri, aku tidak akan mau memakainya."
Aarav menghela napas, "Cherry apa kau bisa membuat Gaun yang di inginkan Calon Istriku dalam waktu 3 hari?"
Cherry sang desainer tentu saja meneguk ludah. Apa dia yakin bisa menyelesaikan Gaun dalam 3 hari?
"Tidak perlu membuatnya, aku hanya ingin merubah salah satu Gaun yang aku suka. Apa tidak masalah?" tanya Barbara yang tentu saja membuat Cherry menghela napas lega.
Pasalnya Cherry bisa saja membuat Gaun itu dalam waktu 3 hari hanya saja bahan-bahan yang di inginkan sulit untuk di dapatkan. Kemungkinan datang pun satu Minggu lagi sedangkan pelanggan setia nya akan menikah dalam waktu 3 hari.
"Tentu saja bisa."
"Baiklah, aku menginginkan Gaun itu." Aarav ikut menoleh saat Barbara menunjuk kesebuah gaun berwarna hitam.
"Ara pesta pernikahan kita konsep nya berwarna pink dan itu tidak akan cocok dengan warna Gaun mu."
"Suruh siapa kau memakai warna pink, aku kan tidak menyuruh." Baiklah, seharusnya Aarav berkoordinasi lagi dengan Barbara.
Ini pernikahan mereka berdua dan seharusnya Aarav bertanya Thema apa yang di inginkan oleh calon istrinya itu. Sepertinya memang semuanya harus di rubah sesuai keinginan Barbara.
"Oke, kita rubah semuanya." Barbara tersenyum.
"Aku sudah mendaftar apa yang aku inginkan di pernikahanku. Kau hanya tinggal berikan ini pada WO dan semoga mereka tahu." ujar Barbara memberikan list yang dia bawa di dalam tas nya.
Aarav melihat list yang di tulis Barbara disana. Benar-benar sederhana tapi Aarav harus menyulapnya menjadi pesta yang mewah. Pernikahan Aarav tentu saja begitu di nantikan oleh banyaknya orang.
"Kau yakin konsepnya nya ingin hitam?"
"Kenapa?"
"Jarang sekali ada yang memakai pesta pernikahan dengan nuansa hitam."
"Memang, makanya aku menginginkannya."
"Baiklah." Barbara kembali masuk ke ruang ganti.
Gaun yang di pakainya sebenarnya bagus, hanya saja ini milik Bianca, pilihan Bianca. Mungkin Barbara bisa bertukar posisi dengan Bianca namun untuk segala sesuatunya dia tidak ingin memakai kesukaan saudaranya. Jadi, lebih baik merubah semuanya sebelum menuju hari dimana statusnya akan berubah.
***
"Kita mampir ke rumah Orang Tua ku yah?" Barbara yang sedang bermain ponsel menoleh.
"Harus sekarang?"
"Tentu."
"Apa tidak bisa di batalkan?"
"Kenapa?"
"Entah, aku merasa tidak akan pernah cocok dengan Orang Tua mu. Rasanya ingin sekali membunuh mereka. Ucapan mereka terlalu menyakiti, tidak pantas Orang Tua mengatakan kata-kata kasar seperti itu." Barbara memang slalu mengatakan yang tentu saja benar adanya.
Berbeda dengan Bianca yang jika di ajak pun akan mengangguk tanpa banyak protes. Barbara sedikit-sedikit protes. Apa-apa protes. Sepertinya memang tanpa protes bukan Barbara namanya.
"Mungkin sudah menjadi hal wajar menantu dan mertua tidak akan slalu akur."
"Ya kau pikir saja, menantu mana yang mau di perlakukan layaknya pembantu? Kalau bisa aku merubah status menjadi mertua yang aku jadikan pembantu." Beberapa hari mengenal Barbara membuat Aarav tahu jika wanita pilihannya ini sering mengomel.
"Memangnya kau berani?"
"Tentu saja berani. Kemarin waktu dinner saja aku berani mempermalukan mereka, lantas untuk hal semacam ini masa aku tidak berani." Benar-benar yah, Barbara memang tidak ada takutnya sama sekali.
Bianca jika di berikan ucapan pedas dia hanya menunduk dan nanti akan menangis di belakang. Barbara, wanita ini malah melawan dengan caranya. Aarav tersenyum tipis, memang ini yang dia harapkan. Melawan orang tuanya tanpa harus dia yang mengatakannya. Mungkin terlihat memaafkan Barbara tapi memang Aarav membutuhkan dukungan untuk bisa melakukan hal yang sama. Menolak tanpa harus merasa tidak enak.
"Aku harap nanti kau bisa menjaga emosimu."
"Kalau mereka membuatku marah, tentu saja aku akan bom sekalian dengan rumahnya." Aarav mengusap kepala Barbara yang membuat wanita itu terdiam namun hanya beberapa detik.
"Kau mengelus kepalaku lagaknya seperti seekor kucing." ucap Barbara dengan menyingkirkan tangan Aarav.
"Bukti jika aku menyayangimu."
"Nyeyeyeye." Perjalanan ke rumah Orang Tua Aarav hanya membutuhkan waktu 30 menit.
Barbara menatap Mansion di depannya dengan mengerutkan kening. Okelah, Mansion ini memang lumayan bagus hanya saja tidak untuk Barbara. Auranya tidak menampilkan positif sedikit pun. Yah mungkin karena orang-orang yang menepatinya memiliki hati iblis.
"Rumah Orang Tua mu sepertinya sarang Iblis."
"Kenapa?"
"Auranya negatif sekali. Aku merasa tidak yakin aura ku mampu menangkis nya."
"Memangnya kau memiliki aura apa?"
"Kau pikirkan saja aura apa yang aku miliki."
"Aura kecantikan." Barbara menoleh lalu menonjok bahu Aarav.
"Laki-laki buaya mulutnya memang bau." Setelah mengatakan itu Barbara melangkah terlebih dulu meninggalkan Aarav yang tersenyum.
Tanpa mereka sadari ada satu pasang mata yang memperhatikan interaksi keduanya. Baru kali ini Aarav tersenyum dan itu semua karena wanita yang akan menjadi menantunya. Wanita yang sama sekali tidak dia harapkan masuk dalam keluarganya. Wanita yang terpaksa dia terima karena permintaan Aarav. Seharusnya sebelum itu dia menjodohkan Aarav jika kejadiannya seperti ini. Wanita pilihan Aarav bukan sosok yang bisa ditindas. Wanita itu akan membalas dendam jika di perlakukan tidak baik. Tanpa adanya air mata dan sakit hati itu akan sangat sulit untuk menyakitinya.