Marriage Of Two Worlds 6

3177 Words
Aarav membuka matanya dengan pelan saat mendengar suara seseorang menyanyi di sore hari. Matanya mengedar ke segala tempat, hingga terpaku pada satu tujuan yang menampilkan sosok wanita berdiri di balkon. Matanya mengerjap untuk memperjelas pengelihatannya. Di sana Barbara sedang duduk di pagar balkon dengan suara lirih yang terdengar merdu. Aarav menarik kedua sudut bibirnya, menyampingkan tubuhnya untuk melihat Barbara yang menikmati tenggelamnya matahari. Banyak alasan kenapa Aarav bisa mencintainya hanya beberapa detik. Banyak alasan kenapa Aarav bisa bertahan sampai sekarang. Banyak alasan kenapa Aarav tidak mencari wanita lain. Bagi Aarav, Barbara wanita biasa yang hidup apa adanya. Baru beberapa jam mereka bersama namun Aarav merasa mengenal Barbara seumur hidupnya. Suara lagunya Camellia Cabella Ft Bazi mengalun merdu. Hatinya begitu tentram dan damai melihatnya. Selama ini Aarav tidak tahu apa artinya bahagia. Keluarganya hanya memberikan dia kemudahan dalam memperoleh uang. Ayahnya Leroy hanya memberikan banyak perintah untuk slalu menjadi acuan nomor satu pebisnis yang hebat. Ibunya Mika tak pernah memberikannya kasih sayang sebagai seorang ibu. Maka dari itu selama Aarav dilahirkan tak pernah sekalipun merasakan bagaimana rasanya hidup dalam berkeluarga. Orang tuanya hanya mengatakan jangan pernah memberikan aib pada keluarga besar mereka karena itu mempermalukan. Dan sekarang nasib keluarga besarnya ada di tangannya. "Hei, apa kau baik-baik saja?" Di depannya Barbara menyilang kan tangannya di depan d**a. Matanya yang sejernih lautan itu menatapnya dengan penasaran. "Kau kenapa?" "Kenapa apanya?" "Kau memperhatikan ku secara sembunyi-sembunyi. Jika kau mau memperhatikan ku, kau bisa melihatku sepuasnya tanpa harus bersikap seperti ini." Aarav tersenyum. Bangkit dari tidurnya lalu menarik Barbara duduk di sampingnya. Barbara yang mendapat tarikan menyentak tangan itu. Memandang Aarav dengan enggan. "Kau merasa jijik berdekatan denganku?" "Itu kau tahu." "Kenapa?" "Aku merasa kesal atas apa yang kau lakukan pada keluargaku. Sekarang aku tidak tahu bagaimana kondisi mereka. Jadi sekarang mari kita bicara, kau mau apa dari ku?" Aarav mengusap wajahnya. "Aku hanya ingin kau menjadi istriku." "Hanya itu?" "Iya." "Jika aku menyanggupi untuk menjadi istri mu. Apa kau tidak akan menyentuh keluarga ku?" Aarav menoleh. Tangannya dengan reflek memegang tangan Barbara erat. Barbara melihat ada harapan di dalam bola mata itu. Sebenarnya Barbara melakukan ini karena ingin tahu seberapa kejam keluarga ini pada saudarinya, Bianca. Barbara tahu mungkin ini akan melukai Aarav namun sebisa mungkin dia harus menjaga perasaan pria itu. Baginya lebih baik dia yang tersakiti oleh orang lain di banding harus menyakiti orang lain akibat ulahnya. Barbara slalu baik pada orang lain namun di saat orang lain di berikan kepercayaan, orang itu malah membalasnya dengan pengkhianatan. Pernah suatu hari Barbara mengalaminya namun dia anggap hanya candaan saja. Toh, Tuhan sudah menunjukkan kepadanya, siapa saja orang-orang yang berteman dengannya secara tulus karena bagaimana pun kondisinya mereka akan slalu ada. Barbara tidak akan bertanya kenapa dia berkhianat? Karena Barbara sudah tahu jawaban apa yang akan mereka berikan. Alasan basi menurutnya. Aarav menatap dalam mata milik Barbara. Di sana ada kesungguhan, bahkan tak ada keraguan sama sekali di dalamnya. Aarav sempat merasa ragu dengan semua yang akan di jalaninya namun dia sadar mungkin ini awal kebahagian mereka. "Aku janji!" "Dan kau harus berjanji untuk tidak melarang apapun kegiatan ku di luaran sana. Aku tidak menyukai jika seseorang mengekang hidupku." "Aku usahakan." "CK! Jika kau berbicara di usahakan aku yakin akan banyak peraturan yang kau berikan padaku nanti." Aarav meringis. Kenyataannya memang dia tak akan mungkin membebaskan Barbara begitu saja. "Aku hanya ingin yang terbaik untukmu." "Omong kosong! Banyak pria yang berbicara seperti itu pada wanitanya supaya mereka merasa terharu akan ulah kalian. Tapi maaf sekali, aku bukan wanita-wanita yang gampang kalian luluh kan hanya karena sebuah ucapan." "Aku tidak ada maksud untuk membuatmu seperti itu. Aku hanya mengkhawatirkan mu, jika di luar sana terjadi sesuatu padamu." "Astaga! Aarav, dengarkan. Selama aku hidup 27 tahun ini, aku baik-baik aja. Lalu kenapa kau harus merasa takut terjadi sesuatu padaku? Aku bisa menjaga diriku sendiri." Aarav terkesima mendengar ucapan Barbara. Bukan ucapannya namun satu kata yang keluar dari mulut wanita itu membuatnya tersenyum. Aarav! Namanya di ucapan begitu indah, jantungnya bahkan sudah berdegup kencang hanya karena satu kalimat. "Ara, aku tahu kau bisa menjaga dirimu. Namun perkaranya sekarang berbeda. Setelah kau menjadi istriku akan ada banyak masalah yang menimpa kita, termasuk wanita tadi pagi." Barbara menatap Aarav dengan pandang heran. "Memangnya kau Tuhan yang tahu kapan akan terjadi sesuatu di depan sana?" Aarav menghela napas. "Yang perlu kau tahu sekarang. Setelah kau menjadi istriku akan banyak orang mencari mu. Banyak orang yang tidak suka padaku. Bahkan banyak orang yang ingin menjatuhkan ku dari posisiku sekarang. Jika kau menjadi istriku nanti cepat atau lambat mereka akan mencelakai mu, itu satu-satunya cara untuk membuat kehidupanku hancur." "Kenapa sungguh menyebalkan sekali menjadi istrimu. Begini saja, kau bebaskan kemana pun aku pergi sesuai kemauan ku tapi dengan catatan aku akan memberi tahu kemana aku pergi selama di luar. Bagaimana?" Aarav menatap Barbara dengan dalam. Tak ada kebohongan di dalam bola mata itu hanya ada kesungguhan. Aarav berpikir sebentar, sepertinya tidak ada masalah. Barbara wanita bebas jika di kekang dia pasti tidak akan nyaman. "Oke. Aku setuju." Barbara tersenyum menaik turunkan alisnya. Yah, setidaknya Barbara akan menikmatinya walaupun nanti dia harus di kacau kan dengan hal semacam ini. Barbara menyadarkan tubuhnya di sofa, menatap matahari yang sudah tenggelam dan hanya menampilkan warna indahnya. Tempat ini indah karena memang di belakang Mansion terdapat hutan buatan. Barbara tadi sempat berkeliling seorang diri, walaupun banyak tersesatnya, setidaknya dia menemukan tempat yang nyaman. Awalnya ingin meminta di temani oleh Aarav namun melihat pria itu yang tertidur pulas akhirnya dia mau tak mau berkeliling sendiri. Ada beberapa pelayan yang mau menemaninya namun Barbara menolak. Lebih baik tersesat di banding merasa canggung berjalan bersama tanpa adanya obrolan. Aarav mengusap rambutnya, kebiasaan yang tak akan pernah hilang dari semasa dirinya kecil, tertidur jika ada masalah. Ikut menatap ke depan dengan pemandangan dimana matahari tenggelam. Matanya melirik Barbara yang duduk diam dengan mata memandang ke arah depan sana. Aarav sudah tak bisa menutupi hatinya jika memang dia ingin memiliki Barbara untuk teman hidupnya. Mungkin memang terkesan memaksa namun jika tidak begini, sampai kapan Aarav akan sendiri? Sampai kapan Aarav akan terus seperti ini? Dan semoga inilah awal dari segalanya. Mungkin Barbara akan terseret arus dalam kehidupan nya namun Aarav yakin mereka akan saling melengkapi. Barbara memang terlihat keras namun jika sudah bisa menyentuh titik terdalamnya, dia yakin ini hanya bentuk pertahanan diri seperti hidupnya. *** "Apa kau gila?" "Kenapa?" "Masih bilang kenapa? Kau t***l atau bego? Apa maksudmu nyuruh ku memakai pakaian menggelikan ini?" "Ara, aku mohon kau bersabar. Kita akan pergi Dinner bersama keluargaku dan kau tidak mungkin kan memakai pakaian seperti biasa mu?" "Aarav tidak bisakah Dinner di batalkan saja? Aku tidak menyukai pakaian ini. Dan apa ini? Oh good! Kau menyuruhku memakai sepatu yang ada haknya lancip? Ini lumayan bagus untuk membocorkan kepala pria kurang ajar sepertimu." Barbara mendelik sebal pada Aarav . Bagaimana bisa pria itu menyuruh dia memakai pakaian seperti ini?. "Tidak bisa, hanya satu hari ini saja Ara. Itu pun hanya beberapa jam saja, aku mohon." "Aku tidak mau!" "Ara, Please." "Jika aku memakai apa yang kau inginkan, lantas apa yang akan aku dapatkan?" "Apapun yang kau inginkan akan aku kabulkan. Rumah, mobil, pulau, tas, sepatu, pakaian atau semacamnya. Kau hanya perlu memilih, kau menginginkan apa." Dug "Kenapa kamu menendang ku?" Aarav meringis saat kakinya di tendang. "Karena kau sudah berbuat kurang ajar padaku." "Memangnya melakukan apa sampai kau mengatakan aku kurang ajar?" Barbara menyipitkan matanya. "Dengarkan aku baik-baik Tuan Aarav terhormat. Perkataan mu barusan seakan-akan jika aku perempuan matre yang menginginkan kekayaan mu. Tanpa uang mu pun aku masih bisa membeli yang aku inginkan. Kau pikir dengan mengatakan hal semacam itu, aku akan luluh dengan mudah? Kau benar-benar pria bren— —Maaf, maaf, maaf, aku tidak bermaksud seperti itu, sungguh?" Aarav memotong ucapan Barbara. Barbara memalingkan wajahnya. Aarav meraih tangan Barbara dan menggenggamnya, "Aku minta maaf atas perkataan ku barusan. Sungguh aku tidak bermaksud kurang ajar. Aku hanya merasa bingung akan memberikan apa padamu, karena selama ini yang aku tahu wanita akan merengek meminta hal semacam itu. Aku pikir ka— —Apa? Kau mau ingin aku pukul?" "Tidak! Maafkan aku." Aarav menggelengkan kepala, menggenggam tangan Barbara semakin kencang. "Sudahlah, jika memang kau menginginkan aku memakai pakaian ini, akan aku lakukan. Lebih baik kita cepat pergi saja sebelum mood ku turun." Barbara menyentak tangan Aarav lalu melangkah pergi. Namun langkahnya berhenti saat sepasang tangan melingkar di perutnya. Barbara menunduk menatap tangan kekar yang bertato itu melingkari pinggangnya. "Ara, kau boleh memukulku jika itu bisa membuatmu memaafkan ku. Aku tidak apa-apa jika kau ingin melakukannya, sungguh?!" "Aku memaafkan mu dan tepati janji mu untuk membelikan semua barang yang kau sebutkan." "Baiklah. Sepulang dari sini aku akan mencari apa yang kau inginkan." "Deal!" "Oke." "Ya sudah, kita berangkat." Aarav melongo melihat Barbara yang melepaskan pelukannya, berjalan pergi dengan anggun meninggalkannya. Matanya mengerjap tak percaya, barusan Barbara mengomel padanya akibat pakaiannya yang harus dia pakai. Namun sekarang lihat, bahkan Barbara lebih pantas memakai pakaian itu di banding pakaian kesehariannya. Terlihat cantik dan Sexy, terutama beberapa tatto yang menghiasi kulit putihnya. Barbara mengomel sepanjang jalan turun ke bawah. Baru pertama kali ini dia harus memakai pakaian yang rumit seperti ini. Demi Tuhan! Barbara lebih menyukai celana dan kaos miliknya di banding Dress yang melekat di tubuhnya sekarang. Barbara akui jika memakai dress ini tubuhnya terlihat Sexy tapi balik lagi dia tak menyukai benda ketat ini di tubuhnya. Rasanya ada banyak lemak yang terlihat di perutnya walaupun masalah itu sih peduli setan memangnya siapa yang mau melihatnya? Tidak ada. Jadi ya sudahlah di banding mengomel mending pergi saja. Perutnya pun sudah demo meminta di isi. Sebuah rangkulan di pinggangnya membuat dia melirik tajam sang pemilik tangan. "Supaya terlihat romantis." "Romantis pala kau. Menggelikan sekali, aku tidak biasa di peluk seperti ini." Barbara melepaskan rangkulan di pinggangnya. "Kau harus terbiasa, karena aku akan slalu memeluk mu." ujar Aarav kembali melingkarkan tangannya di pinggang sang wanita. "Nyeyeyeye! Aku tidak peduli." "Lantas harus bagaimana? Biasanya jika pasangan akan pergi Dinner si pria akan melakukan ini pada wanitanya." "Terserah!" hanya itu jawaban Barbara. "Oh yah satu lagi." "Apalagi?" "Aku berharap kau bisa menahan emosimu, ketika bertemu dengan keluarga besar ku." "Kenapa?" "Nanti kau akan tahu." Barbara mengangkat bahunya acuh. Mereka masuk ke dalam lift yang terbuka, setelah itu hanya ada keheningan di dalam benda besi itu. Yah beberapa jam yang lalu Aarav meminta Barbara untuk ikut dengannya ke sebuah hotel. Barbara awalnya marah-marah tidak mau ikut jika tidak ada alasan. Akhirnya Aarav mengatakan tujuannya dan setelah mengutarakan maksudnya Barbara tak sama sekali memberikan kepastian padanya. Menunggu hampir 1 jam dan akhirnya Barbara mengatakan 'ayo kita pergi' dan hal itu membuat Aarav geregetan sendiri. Dan sekarang di sini lah mereka, di sebuah hotel berbintang yang memiliki banyak fasilitas lengkap. Barbara baru pertama kali datang ke Hotel seperti ini namun dengan wajah tengilnya dia biasa saja seakan sudah sering datang ke tempat ini walaupun di dalam hatinya berdecak kagum melihat interiornya yang indah. "Kau bisa membuatkan ku hotel semacam ini? Aku menginginkan interior yang lebih wow, walaupun terlihat rumit tapi pengunjung yang datang merasa nyaman." Barbara menoleh, kedua sudut bibirnya terangkat. Aarav mengecup kening Barbara dan tangannya mengelus pinggang ramping itu. "Asalkan kau slalu ada di sampingku. Apapun yang kau inginkan, akan aku wujudkan saat itu juga." Tubuh Barbara menegang saat mendapatkan perlakuan itu dari Aarav. Matanya mengerjap bodoh membuat suasana malah canggung. Barbara menggaruk tangannya, sebenarnya dia hanya becanda namun balasan dari pria itu luar biasa. Mereka akhirnya sampai di restoran hotel. Mata Aarav berkeliling ke sana kemari mencari keluarga besarnya ada dimana. Akhirnya dia melihat Ayahnya duduk di sana. Menarik napas lalu menghembuskan nya secara perlahan. Aarav mengucapkan sebuah Matra di dalam hatinya, semuanya akan baik-baik saja. "Jangan diam aja." Barbara menarik Aarav untuk bergerak ke pinggir, melihat ada beberapa orang yang berlalu lalang. "Ayo, itu di sana keluargaku." Barbara menatap Aarav yang tubuhnya terasa tegang. Perasaan tadi pria ini baik-baik saja tapi kenapa sekarang dia jadi seperti ini? Tak ada suatu kejadian yang membuat ketegangan terjadi. Tak ada suatu kejadian yang membuat mereka shock. Namun kenapa tubuh Aarav seperti mayat hidup? Dia bergerak namun tak berjiwa. "Selamat malam Semua." ucap Aarav membungkuk sedikit. "Malam." Barbara menatap ke semua orang yang sudah berkumpul di sebuah meja besar. Alisnya naik sebelah saat melihat sosok wanita yang datang ke rumahnya tempo lalu. Senyuman tersungging di bibirnya melihat tatapan wanita itu yang menatap nya tajam. Barbara tersenyum mengejek membuat wanita itu mendelik. "Ayo, kalian duduk." ujar Leroy.Aarav menarik kursi lalu menyuruh Barbara untuk duduk. Setelahnya dia duduk di samping Barbara. Keadaan meja makan itu langsung hening seketika. Barbara hanya biasa saja, kakinya mengetuk lantai membuat banyak pasang mata menatapnya seakan tersangka. "Kenapa?" tanya Barbara. "Kau tidak ingin melakukan sesuatu untuk kami? Biasanya jika ada pertemuan seperti ini kau melayani kami." ucap seorang wanita yang Barbara tidak tahu siapa namanya. Make up yang di pakainya lumayan oke namun pakaian yang melilit tubuhnya tidak oke. "Maksudnya?" "Tentu saja kau yang menjadi pelayan kami." Barbara tetaplah Barbara tak akan bisa menjadi pribadi orang lain. "Memangnya kau siapa? Seenaknya memerintah ku. Orang tua ku saja tidak peduli apa yang aku lakukan. Lalu kau yang bukan siapa-siapa ku, menyuruh ku? Hidup ku lebih berharga ketimbang melayani kalian yang bukan siapa-siapa." "Jaga ucapan mu, Bianca!" "Ah iya aku melupakan satu hal. Kalian pasti belum mengenalku kan? Baik mari kita berkenalan, kenalkan aku Barbara saudari kembar Bianca." Mereka terkesima mendengar perkenalan Barbara. Mereka saling bertatapan satu sama lain. "Atas dasar apa kau berbohong?" "Untuk apa aku berbohong. Bianca sekarang di rumah dan di sini aku yang akan menjadi calon istri dari Aarav." "Kau pikir pernikahan itu main-main, hah? Kau pasti menyuruh Bianca untuk bertukar peran, kan? Dan menyuruh Bianca untuk mundur menjadi calon istrinya, Aarav?" "Maaf yah, Miss. Aku sebenarnya tidak sudi menikah dengan Aarav, tetapi karena aku di beri kan kekayaan dia, siapa yang akan menolak? Bukan begitu, sayang?" Barbara menatap Aarav yang terdiam. Mata pria itu menatapnya namun tak ada reaksi apapun. Dan Barbara paling benci jika sudah melihat tatapan itu. "Jika kau tidak mengatakan sepatah kata pun aku akan pergi dari sini, sekarang juga." Barbara akan berdiri namun tangannya di tahan. "Duduklah. Aku minta maaf." kembali semua orang yang ada di meja itu menatap Aarav dengan pandangan tidak percaya. "Tidak ada kesalahan di sini. Karena memang selama ini aku menginginkan Barbara yang menjadi pendamping hidupku. Mungkin selama ini aku terlalu fokus pada keinginanku untuk bisa memilikinya, maka dari itu aku pun tidak mencari tahu jika mereka bersaudara kembar. Aku sudah lama menginginkan Barbara maka dari itu aku akan menikah dengannya bukan dengan Bianca. Barbara wanita yang aku cintai, 1 Minggu lagi kami akan menikah." Suasana langsung hening seketika. Barbara menyipitkan matanya melihat beberapa pasang mata yang menatap tajam pada Aarav. Dia semakin yakin jika ada sesuatu yang terjadi di keluarga ini dan Barbara akan menguak segala sesuatunya. Brak! "Aku tidak setuju!" "Aku juga!" "Kami pun!" "Aku pun!" "Aku tidak peduli. Keputusan sudah aku buat. Aku akan menikah dengan Barbara." Dan setelah itu Barbara menutup matanya saat merasakan sebuah air mengenai ke wajahnya. Menekan giginya untuk menguasai amarahnya. "Kau pikir, kau bisa menguasai Aarav, hah?" kembali Barbara merasakan sebuah lemparan sesuatu mengenai kepalanya. "Aku tidak akan sudi nerima mu sebagai keluarga Rochester." "Wanita jalang." "Wanita tidak tahu malu." "Wanita hina." "Harusnya kau berkaca. Kau tidak ada satu level dengan keluarga kami." Barbara menghembuskan napas. Setelah itu membuka matanya dengan pelan, tangannya mengusap wajahnya lalu matanya menatap satu persatu. Aarav yang melihat Barbara di perlakukan seperti itu mengepalkan tangannya saat melihat tatapan Ayahnya menatap dirinya tajam. Dia menggenggam tangan Barbara dengan erat, menyalurkan ketenangan untuk tidak berteriak di tempat ramai ini. Ingin sekali berteriak pada mereka jangan pernah memperlakukan Barbara seperti itu namun kembali pada kenyataan dia tidak bisa melakukan apapun. Barbara merasakan tangannya di genggam dengan erat. Matanya menoleh ke arah tangannya lalu ke arah Aarav. Dia bisa merasakan emosi yang meluap besar namun pria itu menahannya dengan kuat. Barbara orang peka, menatap ke sekitar dan matanya tertuju pada satu pria yang diam melihat pertengkaran di meja mereka. Semakin yakin jika di keluarga ini memiliki masalah sampai Aarav tidak bisa berkutik sama sekali. Barbara terkekeh membuat mereka menatapnya dengan terkesima. Mengusap Gaun nya yang terkena tumpahan makan dan minuman lalu mengibaskan rambutnya memperlihat dengan jelas Tato berbentuk burung kecil. Berdiri dengan anggun lalu menarik Aarav untuk ikut berdiri. Aarav menurutinya tanpa bantahan. "Terima kasih atas souvernir yang kalian berikan padaku. Ini sebuah Dinner yang membuat aku terkejut sekaligus menjijikkan. Tapi aku tidak masalah, aku menerimanya dengan lapang d**a. Namun lain kali berbuat lah sopan pada seorang tamu, bahkan pada orang lain seperti aku. Mengingat kalian orang terhormat tapi berkelakuan tidak terhormat seperti ini. Hanya ingin mengingatkan, aku akan memperlakukan orang lain seperti orang lain memperlakukan ku." Barbara mendesis tidak suka. "Sudahlah tidak ada untungnya berlaku seperti orang yang tidak terhormat. Sekarang lebih baik aku pulang, aku pamit. Yuk, sayang." Barbara menarik lengan Aarav untuk pergi namun sebelum itu dia memperlihatkan apa yang mereka lakukan padanya. "UPS! Sorry. Aku melupakan sesuatu." Tanpa ada yang tahu pergerakan Barbara meja itu langsung runtuh seketika bersama orang-orang yang duduk di kursi. Mereka terjerabah dengan keras, bahkan pengunjung langsung menatap penuh minat ke arah meja mereka. "Oh Good! Sorry aku sengaja!" Setelah itu Barbara mengacungkan jari tengahnya, tidak peduli ada orang tua di sana. Tidak ada pantangan baginya, siapapun yang sudah mengusik hidupnya semuanya kelar tak tersisa. Aarav terdiam melihat kelakuan Barbara. Memejamkan matanya sebentar sebelum dia merengkuh pinggang wanita itu pergi meninggalkan Dinner mereka yang gagal. Aarav sama sekali tak berbalik, dia berjalan pergi dengan Barbara yang ada di pelukannya. Tak peduli dengan keadaan sekitar, yang sekarang dia butuhkan hanya ketenangan. *** "Benar-benar dinner yang menyebalkan. Bagaimana bisa mereka tidak memiliki sopan santu pada orang yang tidak di kenalnya? Bagaimana bisa mereka bersikap iblis seperti itu? Aku membenci mereka! Akan aku balas dua kali lipat dari rasa sakit itu nanti." Aarav hanya mendengarkan omelan Barbara sedari pulang ke Mansion. Wanita itu tidak berhenti satu detik pun untuk mengutuk keluarganya. Aarav hanya mengangguk mengiyakan saat Barbara bertanya. Bahaya jika ucapan wanita itu tidak di iyakan. Aarav tidak ingin mendapat amukan juga dari wanita cantik itu. Barbara meraih minumnya, lalu meneguk dengan rakus. Setelah habis meletakkannya dengan kasar, "Baru kali ini aku bertemu orang-orang macam seperti keluargamu. Menyebalkan sekali. Aku ingin mencekik mereka satu persatu sekarang juga." Barbara meraih bantal guling, meremas bantal guling itu dengan penuh marah. Aarav menggelengkan kepala melihat tingkah laku calon istrinya. "Kau, kenapa kau diam saja saat keluargamu merendahkan mu seperti itu?" "Sudah biasa." "Kau bilang sudah biasa? Demi Tuhan Aarav! Kau itu anaknya, bagaimana bisa mereka ... ah sudahlah, terserah." Barbara melemparkan guling nya lalu meraih jaket yang tergantung di sana. "Kau mau kemana?" "Klub." "Untuk apa?" "Kau pikir pergi ke klub untuk apa? Pengajian?" "Bukan begitu maksudku?" "Lalu apa?" Barbara benar-benar sedang dalam mode tidak bisa di ajak bicara baik-baik. "Dari pada kau pergi ke klub, bagaimana kalau kita minum di bawah saja?" "Di bawah mana?" "Tempat aku menyimpan wine ku." Terdiam sejenak. "Oke, ayo pergi." Aarav hanya bisa menggelengkan kepala. Benar-benar sesuai ekspetasinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD