Bab - 29

1351 Words
"Halo?" sapa Mawar saat ponsel milik wanita itu berdering, pertanda ada yang menelpon. "Iya, halo," sahut Rendra dengan suara yang dingin. "Ada apa?" tanya Mawar sambil tangannya bergerak lincah, menghias desert pesanan milik pelanggannya. "Lagi apa?" Tiba-tiba saja laki-laki itu kepo dengan kegiatan istrinya. Apa yang ia lakukan di saat dirinya pergi bekerja? "Aku lagi sibuk. Ada apa?" tanya Mawar lagi. Mengingat desert yang ia buat baru sedikit. Rendra menghela napas, laki-laki itu menyadarkan punggungnya pada kursi. Ia urungkan niatnya untuk memberi tau tentang acara anniversary pernikahan orang tuanya, dan juga tentang kedatangan mertuanya ke Jakarta. Tiba-tiba saja dirinya ingin melihat ekspresi istrinya, saat tau orang yang selalu dirindukan oleh istrinya akan datang. "Nggak! Ya udah, aku tutup!" Rendra langsung menutup telpon secara sepihak, bahkan saat Mawar belum juga menyahut. "Ih, orang aneh! Ganggu aja!" umpat Mawar kesal. Wanita itu kembali menghias desert pesanan Mesya. Setelah berdiskusi dengan Max, sudah diputuskan jika pemesanan desert akan dikurangi, tapi tidak dengan bayarannya. Pekerjaan Mawar kali ini sedikit ringan, wanita itu bisa sedikit santai, tidak terburu-buru seperti biasanya. ********* "Udah semua?" tanya Mirna saat dirinya sedang menunggu Desri yang sedang mengunci pintu rumahnya. "Iya, udah." "Ga ada yang ketinggalan?" "Nggak ada kayaknya," ucap Desri sambil menatap barang bawaannya. "Ya udah, ayok!" ajak Mirna sambil menggandeng tangan besan plus sahabatnya itu, menuju mobil. Di mana suaminya - Herman, sudah menunggu. Saat mobil baru saja akan keluar dari pelataran rumah, dan hendak menuju jalan. Tiba-tiba saja mobil yang mereka tumpangi dihadang oleh mobil Avanza putih. Untung saja Herman dengan cepat menginjak pedal rem. Jika tidak, mungkin mobil yang mereka tumpangi akan menabrak mobil Avanza itu. "Astaga!" pekik Mirna dan Desri bersamaan. Tubuh Mirna dan Herman hampir saja membentur dashboard, jika mereka tidak menggunakan seat belt. "Itu orang kurang minum aqua apa gimana, sih?" maki Mirna kesal. Wanita itu keluar dari mobil, dan menghampiri mobil Avanza putih itu yang sudah menghadang jalan mobilnya. Herman dengan ketar-ketir mengikuti istrinya dari belakang. Padahal laki-laki itu sudah memperingati pada istrinya, agar dirinya saja yang turun. Tuk ... tuk ... tuk ... Mirna mengetuk-ngetuk kaca jendela mobil itu. Tapi sayangnya si empunya tak kunjung menurunkan kaca mobilnya. Sampai membuat Mirna kesal sendiri. "Keluar kamu!" teriak Mirna sambil terus mengetuk-ngetuk kaca jendela. Untung saja suasana desa saat itu sedang sepi. Karena hampir semua penduduknya pergi berprofesi sebagai petani sayur, ada juga yang sedang mencari rumput untuk pakan ternak mereka, sapi salah satu contohnya. Akhirnya kaca jendela pun diturunkan, dan terlihat laki-laki yang selama ini sudah menghancurkan kehidupan sahabatnya. "Kamu!" pekik Mirna saat tau siapa yang mengendarai mobil Avanza putih itu. "Desri nya, ada?" tanya Bima sambil melepaskan kacamata hitamnya. "Ga ada!" ucap Mirna dengan tegas. "Jangan bohong! Aku liat tadi dia masuk ke dalam mobil kamu!" bentak Bima pada Mirna. Laki-laki itu bahkan sampai turun dari mobil, dan menghampiri Mirna. Merasa istrinya terancam, Herman dengan cepat menghadang Bima. "Minggir!" usir Bima pada Herman. "Jangan berbuat macem-macem, Bim! Desri emang ada di dalem mobil kita, kenapa? Mau kamu bawa? Hah?" teriak Herman pada temannya itu. Meski mereka dulu dekat, bukan berarti kali ini pun Herman akan membela Bima. Apa yang sudah Bima lakukan pada Desri adalah hal yang salah. "Minggir! Aku mau ketemu Desri!" Bima mendorong tubuh Herman. Herman pun menepi, memberi jalan pada Bima yang ingin bertemu dengan mantan istrinya itu. Mirna dengan cepat melangkah menuju mobilnya, tapi ditahan oleh Herman. "Pa!" bentak wanita itu pada suaminya. Herman menggeleng. "Nggak, Ma. Biarin mereka bicara dulu." Akhirnya Mirna menurut pada suaminya. Wanita itu meremas ujung pakainya, sambil menggigit bibir bagian bawahnya. Perasaan was-was menyelimuti hatinya, takut jika si Bima akan berbuat nekat pada sahabatnya itu. Sedangkan di dalam mobil, Desri terdiam saat tau siapa yang mengendarai mobil Avanza putih itu. Jantungnya berdegup dengan kencang. Perasaan takut, benci, dan sakit menghampiri dirinya. Wanita itu bahkan tak berani keluar dari mobil. Tangannya berubah menjadi dingin. Ingin sekali dirinya menonjok laki-laki itu! Laki-laki yang sudah menghancurkan kehidupannya, laki-laki yang sudah membuat anaknya - Mawar takut akan berumah tangga. Sialnya sekarang Bima sedang berjalan menuju mobil milik Mirna, dan detik berikutnya pintu mobil bagian tengah pun terbuka. Desri diam, tatapan matanya masih lurus tertuju ke depan. Bahkan saat Bima sudah berdiri di samping pintu mobil yang sudah sepenuhnya terbuka. "Des ...." panggil Bima sambil mencoba menyentuh tangan Desri. Dengan cepat Desri menarik tangannya yang sempat disentuh oleh Bima. "Ada apa?" tanya Desri dengan ketus, tanpa menoleh sedikit pun. Ternyata wanita itu masih belum sudi melihat wajah mantan suaminya itu. Rasanya sesah jika dirinya melihat wajah laki-laki yang dengan teganya menghancurkan kehidupan dirinya dan putrinya. "Aku pengen ketemu sama kamu," ucap Bima masih dengan posisinya seperti tadi. Berdiri di samping pintu mobil. "Ada urusan apa? Aku ga punya waktu!" usir Desri secara tidak langsung. "Maafin aku ...." ucap Bima dengan dengan wajah memelas. Desri masih diam, tak menyahuti permintaan maaf dari Bima. Wanita itu tau, jika apa yang diucapkan oleh mantan suaminya itu hanyalah dusta! Sambil meneguhkan hatinya, agar jangan sampai tertipu lagi dengan tampang melas suaminya itu. "Maafin aku, Des. Aku baru sadar, ternyata aku nggak bisa hidup tanpa kamu." Demi Tuhan, ingin sekali Desri muntah saat mendengar ucapan Bima. Dari mana laki-laki itu belajar mengucapkan perkataan menjijikkan seperti itu? "Aku nggak bisa hidup kamu dan Mawar, Des! Mawar, buah hati kita," ucap Bima sambil berlinang air mata. "Dusta!" teriak Desri sambil menatap tajam ke arah Bima. Wanita itu mendengar dengan jelas apa yang diucapkan oleh Bima. Ingin sekali dirinya menonjok Bima hingga laki-laki itu babak belur. Tapi tangannya ditahan oleh Herman. Dengan terpaksa Herman memegangi tangan istrinya. Jika tidak, bahaya nanti. Mirna akan berbuat nekat, seperti kuda yang lepas dari kandang. Sebagai antisipasi, Herman pun terus menggenggam tangan istrinya. "Des, kamu mau, kan balikan lagi sama aku?" tanya Bima sambil mencoba meraih yang Desri. "Jangan mimpi!" tegas Desri dengan tatapan membunuh. Akhirnya, wanita itu berani juga membalas tatapan mata Bima. "Kenapa?" tanya Bima heran. "Kamu tanya kenapa? Kamu lupa sama apa yang udah kamu lakuin ke aku? Ke Mawar? Kamu lupa? Hah? Gimana teganya kamu ngusir aku sama Mawar, pas di luar lagi hujan! Aku sama Mawar jalan nggak tentu arah! Bawa uang cuma dua puluh ribu! Itu cukup buat apa? Hah? Aku sama Mawar bahkan sampe rela nahan laper biar kita bisa kembali ke Kuningan! Sedangkan kamu? Malah dengan enaknya bermesraan sama wanita itu! Dasar ga punya hati kamu, Bima!" teriak Desri sambil bercucuran air mata. Dadanya naik turun, merasakan sesak yang sedari tadi ia tahan. "Itu semua gara-gara Melinda. Kalo dia nggak menggoda aku, aku nggak akan mung-" "Jangan nyalahin orang lain! Harusnya kamu bisa menjaga hati dan perasaan kamu demi keluarga kita!" bentak Desri sambil terus menangis. Sedangkan Mirna, mengepalkan tangannya dengan erat. Kesal dan sesak, seolah-olah Mirna pun merasakan apa yang dirasakan oleh Desri. "Aku akan ceraikan Melinda. Setelah itu, kamu mau kan balikan sama aku?" tanya Bima sambil mencoba untuk menggenggam tangan Desri. "Jangan harap! Sudah cukup aku dan Mawar aja yang jadi korban keegoisan kamu! Jangan ada lagi!" tegas Desri sambil menatap tajam ke arah Bima. "Mir ...." panggil Desri pada sahabatnya. Dengan cepat Mirna berjalan menuju mobil, mendorong tubuh Bima yang menghalangi jalannya. Setelah itu wanita itu masuk ke dalam mobil, dan disusul oleh Herman. Setelah itu mobil pun melaju, meninggalkan Bima yang masih termenung di pelataran rumah Desri. Sedangkan dalam perjalanan menuju Jakarta, Desri hanya diam. Tak bersuara sama sekali. Sampai membuat Mirna dan Herman khawatir. "Des, kamu ga apa-apa, kan?" tanya Mirna dengan lembut. Tapi sayangnya Desri hanya diam, tatapan matanya kosong. "Des, aku mohon ... jangan kayak gini. Nangis, Des! Nangis! Keluarkan rasa sedih kamu! Jangan dipendam!" Mirna mengguncangkan tubuh Desri sambil menangis. "Aku takut ...." lirih Desri dengan tatapan mata yang masih kosong. "Takut kenapa?" tanya Mirna sambil menyelipkan rambut sahabatnya, ke belakang telinga. "Aku takut, Bima bakalan ngambil Mawar dari aku." Mirna menggeleng dengan kuat. "Nggak, Des! Bima nggak akan berani ngambil Mawar dari kamu! Inget, sekarang di sisi Mawar ada Rendra!" Desri bisa sedikit bernapas dengan lega. Saat dirinya ingat, kini di samping Mawar sudah ada laki-laki hebat seperti Rendra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD