Bab - 28

1313 Words
Kini ketiganya sedang menyantap sarapan mereka masing-masing. Pagi itu Mawar membuat nasi goreng telur mata sapi. Sangat sederhana, tapi cukup memanjakan lidah. Setelah selesai sarapan, Rendra dan Max pamit untuk bekerja. Dua orang itu berangkat ke kantor bersama, dengan menggunakan mobil milik Rendra. "Ren ...." panggil Max saat mobil yang membawa mereka sudah melaju. "Hem, apa?" sahut laki-laki itu tanpa menoleh. "Gue mau nanya," ucap Max dengan serius. "Astaga, tinggal nanya aja kali. Serius amat, mau nanya apaan emang?" tanya Rendra sambil menoleh ke arah sahabatnya, lalu kembali fokus lagi dengan kemudinya. "Lo suka sama Mawar?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Max dengan sangat lancar, tidak ada keraguan di dalamnya. "Ha? Kenapa Lo nanya gitu?" Rendra menyipitkan matanya sambil menatap sahabatnya, hanya sebentar. Kemudian dia kembali menatap ke depan. "Gue serius, Lo suka sama Mawar?" Pertanyaan yang Max lontarkan masih sama. "Menurut Lo?" Rendra malah balik bertanya. "Menurut gue? Lo masih sama, Michelle masih tetep jadi nomor satu di hati Lo. Bener?" tebak Max. Rendra mengangguk sebagai jawaban. Max hanya diam, dia tak terkejut dengan jawaban yang diberikan oleh sahabatnya, Rendra. "Gue boleh ambil Mawar dari Lo?" Pertanyaan yang Max lontarkan cukup membuat Rendra terkejut setengah mati. Sampai-sampai laki-laki itu mengerem mendadak, lalu menepikan mobilnya dan menatap ke arah sahabatnya yang duduk di samping dirinya. "Apa?" tanya Rendra sambil menyipitkan matanya. "Gue boleh ambil Mawar dari Lo?" Max secara terang-terangan meminta istri sahabatnya. Rendra terkekeh mendengar permintaan Max. Ada apa dengan sahabatnya itu? Apakah dia masih waras? Kenapa tiba-tiba saja laki-laki itu secara terang-terangan meminta Mawar dari dirinya yang berstatus sebagai suaminya? Berbagai macam pertanyaan memenuhi otak Rendra, tapi tak ada satu pun yang keluar. Mulutnya seolah-olah terkunci, enggan untuk terbuka. "Boleh?" tanya Max lagi. "Kenapa?" Hanya satu kalimat yang keluar dari mulut Rendra. "Lo tanya kenapa? Harusnya Lo udah tau, kenapa gue minta Mawar dari Lo, kan, Ren?" ucap Max sambil menatap mata sahabatnya. Iya, benar. Harusnya Rendra tau, kenapa tiba-tiba saja Max meminta istrinya secara terang-terangan seperti ini, jika sahabatnya itu tidak memiliki perasaan terhadap Mawar. "Lo suka ke dia?" Pertanyaan konyol terlontar dari mulut Rendra. Padahal laki-laki itu sudah tau jawabannya, tapi masih tetap bertanya. "Iya, gue suka sama dia. Ga masalah, kan? Toh Lo juga masih belum bisa move on dari Michelle, bukan?" tanya Max pada Rendra. Laki-laki itu tak menjawab pertanyaan Max. Rendra malah melajukan mobilnya menuju Wijaya Group, mengingat sebentar jam masuk kerja dimulai. Selama sisa dalam perjalanan menuju kantor, dua laki-laki itu sama-sama terdiam. Tak ada obrolan, tak ada candaan. Sepi, senyap, hampa, dan tak menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan di dalam mobil itu. Hingga mobil memasuki area Wijaya Group, keduanya masih sama-sama diam. Dari mereka menunggu lift, sampai mereka masuk ke dalam lift. Keduanya masih sama-sama diam. Sampai akhirnya Rendra tiba di ruangannya terlebih dahulu. "Gue duluan," ucap Rendra sambil melangkah keluar dari lift, tanpa menoleh ke arah sahabatnya. Lalu pintu lift pun tertutup. Membawa Max menuju ruangannya, yang terletak di lantai paling atas. Pintu lift terbuka, Max langsung menuju ruangannya. Berjalan menuju kursi kebesarannya, lalu duduk di sana. "Sepertinya aku sudah gila," gumam Max sambil memijit mengacak-acak rambutnya sendiri. Saat dirinya sedang menyesali perbuatannya, pintu ruangannya diketuk dari luar. "Masuk!" ucap Max sambil merapikan rambutnya yang tadi sempat ia acak-acak. "Tuan." Mesya masuk ke dalam, sambil membawa dua kotak desert kesukaan bos-nya. "Silakan, simpan di atas meja!" Lalu Mesya pun meletakkan dua kotak desert itu. Masih berdiri di depan meja bos-nya, menatap laki-laki yang kini sedang memeriksa beberapa dokumen. "Ada apa?" tanya Max pada asistennya. Karena masih saja berdiri di hadapannya. "Tuan, maaf sebelumnya jika saya terkesan ikut campur." "Langsung saja. Ada apa?" tanya Max to the point. "Bagaimana jika Tuan sedikit mengurangi jumlah pemesanan desert pada Nona Mawar?" Max meletakkan bolpoin miliknya, lalu mengangkat wajahnya dan menatap wajah Mesya. Laki-laki itu belum bersuara, menunggu Mesya mengatakan alasannya. "Saya merasa tidak tega pada Nona Mawar, Tuan." "Tidak tega?" Max menyipitkan matanya. "Iya, jujur saja, saya tidak tega. Apalagi dalam sehari Tuan bisa memesan desert sampai enam puluh kotak. Dan lagi Nona Mawar membuat semuanya sendirian. Kemarin saja, saat kita bertemu, Nona Mawar terburu-buru. Dengan alasan teman suaminya itu akan ikut makan malam di apartemennya. Melihat wajah Nona Mawar yang bercucuran keringat, itu membuat tak tega, Tuan." Mesya mengutarakan kegelisahan. Max mengangguk, membenarkan apa yang baru saja dikatakan oleh asistennya, Mesya. Bagaimana bisa dia melupakan hal itu? Membiarkan wanita yang dicintainya kelelahan karena ambisinya itu? "Astaga, bagaimana bisa aku melakukan hal ini?" keluh Max sambil mengusap wajahnya dengan kasar. "Jadi, bagaimana, Tuan?" Mesya menanyakan keputusan Tuannya. "Iya, kita kurangi. Kita pesan 25 saja. Tapi dengan bayaran yang seperti biasa. Kamu mengerti, kan?" tanya Max pada Mesya. Mesya mengangguk, lalu berkata, "Iya, saya mengerti, Tuan." "Bagus! Ada lagi?" tanya laki-laki itu. "Tidak ada. Saya pamit undur diri dulu, Tuan. Panggil saya kapan pun saat Anda butuh." Mesya membungkukkan setengah badannya. "Baiklah." Setelah itu Mesya kembali ke ruangannya. Sedangkan Max kembali berkutat dengan beberapa dokumennya. ******** Sedangkan di ruangan kerja milik Rendra, laki-laki itu tak bisa konsentrasi sama sekali. Otaknya dipenuhi oleh ucapan Max tadi, saat mereka berdua hendak pergi ke kantor. "Sialan!" umpat laki-laki itu sambil melemparkan bolpoin miliknya ke atas meja. Punggungnya ia sandarkan pada kursi kerjanya, menatap langit-langit ruang kerjanya. Pikirannya benar-benar kacau karena permintaan sahabatnya barusan. Padahal, apa masalahnya jika Max meminta Mawar dari dirinya? Toh selama ini pernikahan mereka tak berkembang sama sekali, malah terkesan jalan di tempat. Tiba-tiba ponselnya berdering, membuyarkan lamunannya. Dengan cepat ia mengambil benda canggih itu, dan melihat nama yang tertera di sana. Ternyata mamanya yang menelpon. "Ada apa?" sahut Rendra tanpa basa-basi. "Anak durhaka! Bukannya nyapa dulu!" "Rendra lagi sibuk kerja. Jadi, ada apa, Ma?" tanya laki-laki itu tanpa menghiraukan keluhan mamanya. "Haduh, kamu itu nyebelin banget ya ternyata ...." Mirna menghela napas, saat menghadapi anak laki-lakinya itu memang membutuhkan kesabaran yang ekstra. "Rendra tutup nih," ancam laki-laki itu pada mamanya. "Anak durhaka! Mama coret kamu dari KK, ya!" teriak Mirna dari seberang sana. "Gapapa, coret aja. Lagian emang sekarang Rendra udah punya KK sendiri, ko." "Astaga!" keluh Mirna sambil memijit pelipisnya. Padahal sudah lama dirinya tak menelpon dengan anaknya. Tapi kenapa? Setiap kali menelpon, yang ada ibu dan anak itu malah adu mulut. "Nanti siang mama mau kembali ke Jakarta." Mirna memberi tau tujuannya menelpon. "Terus?" "Ya itu, mama cuma mau ngasih tau itu aja." "Kenapa pake acara nelpon segala, sih? Di chat juga kan bisa, Ma. Sayang kuota tau!" Ya ampun, Mirna benar-benar kesal dengan tingkah anaknya. Wanita itu sampai mengingat-ingat, dulu dirinya ngidam apa, sih? Sampai-sampai punya anak tengil seperti Rendra! "Mama mau ngasih tau, nanti malam minggu ada acara di rumah. Anniversary pernikahan mama sama papa," ucap Mirna sambil meneguk segelas air. Telponan dengan anaknya membuatnya merasa sangat haus. "Terus?" tanya Rendra heran. "Kamu dateng, lha! Kalo bisa nanti malem kamu ke rumah mama! Ajak Mawar sekalian, Desri juga mau ikut ke Jakarta." Mata Rendra membulat, saat nama mertuanya disebut. "Mama Desri mau ikut sama mama?" tanya Rendra meyakinkan. "Iya, Desri mau ikut. Ini sekarang mama lagi di rumahnya -" Tut Tut Tut Panggilan berakhir. Rendra mematikan panggilannya itu, di saat mamanya masih sedang berbicara. Mirna, wanita itu hanya mengusap dadanya yang terasa sangat kesal. Ingin sekali dirinya menjewer telinga anaknya itu! Setelah memutuskan panggilan telepon dengan mamanya, Rendra langsung mencari kontak Mawar. Dan menelpon wanita yang sudah sebulan ini menjadi istrinya. "Ekhem ...." Rendra berdeham, menenangkan dirinya. Tak bisa dipungkiri, Rendra senang karena mama mertuanya akan ke Jakarta. Setidaknya istrinya itu tidak akan merindukan mamanya lagi. Jujur saja, Rendra jadi ikutan sesak saat melihat Mawar yang menangis karena merindukan mamanya. Tunggu ... kenapa dia jadi ikutan sesak juga saat melihat Mawar menangis, merindukan mamanya? Sebenarnya ada apa, sih dengan perasannya itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD