Suasana ballroom hotel Purnama sudah dipenuhi oleh para tamu undangan. Mempelai pria pun sudah berdiri dengan gagah di hadapan pemuka agama dan para tamu undangan. Kini mereka sedang menunggu mempelai wanita untuk keluar.
Para tamu undangan terdengar sedang berbisik-bisik. Pasalnya, sudah cukup lama mereka menunggu si mempelai wanita. Tapi sampai saat ini belum juga keluar.
"Jangan-jangan mempelai wanitanya kabur?"
"Iya, bisa jadi. Aku denger katanya mereka itu dijodohin, Jeng."
Mempelai pria - Rendra, laki-laki itu hanya bisa bersikap setenang mungkin, dan tetap tersenyum dan mengepalkan tangannya erat-erat. Menekan emosinya agar tidak timbul ke permukaan. Padahal dalam hatinya dia sudah ingin mengeluarkan unek-uneknya, dan menyemprot calon istrinya - Mawar dengan berbagai macam u*****n.
"Astaga, lama banget! Awas aja, harus gue kasih pelajaran itu cewek bar-bar!" umpat Rendra mengadukan kedua giginya.
Terdengar kasak-kusuk dari para tamu undangan. Rendra, pada awalnya laki-laki itu hanya diam, tak peduli. Tapi pada akhirnya ia pun melihat ke arah pintu, di mana calon istrinya - Mawar sedang berjalan ke arahnya. Tangan kirinya membawa sebuket bunga, lalu tangan kanannya menggandeng lengan ayahnya, Bima.
Tanpa Rendra sadari, laki-laki itu tersenyum dengan hangatnya. Ia merasa lega, jika Mawar tidak kabur di hari pernikahannya. Jujur saja, Rendra sedikit gelisah saat mendengar ucapan para tamu undangan tadi. Bagaimana jika Mawar beneran kabur? Pasti dirinya akan menanggung malu seumur hidup.
"Wah, cantik ya anaknya Desri?"
Decak kagum terdengar dari para tamu undangan, saat melihat Mawar. Bukan hanya para tamu undangan, tapi Rendra pun terpesona akan kecantikan Mawar hari itu.
Gadis itu bak seorang ratu. Gaun putih yang melekat pada tubuhnya, lalu mahkota yang menghiasi kepalanya, lalu make-up yang dikenakan oleh Mawar, semuanya sangat cocok! Satu kata untuk Mawar hari ini, perfect!
Mawar, gadis itu merasa gugup saat semua tamu undangan menatap ke arah dirinya. Ia sempat mempererat gandengannya pada sang ayah, sehingga Bima - ayahnya meringis kesakitan.
Karena gaun yang menjuntai ke lantai, ditambah Mawar yang tidak terbiasa mengenakan high heels. Ujung gaun yang sedang ia kenakan, terinjak oleh kaki kanannya.
"Ahh!" pekik gadis itu, saat tubuhnya sudah tak seimbang lagi.
Untung saja Bima dengan sigap menangkap tubuh putrinya. Jika tidak, Mawar akan tersungkur di atas lantai.
"Astaga!" teriak para tamu undangan saat melihat Mawar hampir saja terjatuh.
Lalu, bagaimana dengan Rendra? Laki-laki itu sedang menutup mulutnya, menahan tawa agar suaranya tidak terdengar oleh orang lain. Bukankah itu sedikit keterlaluan.
Akhirnya langkah Mawar pun terhenti, saat dirinya sudah tiba di depan Rendra, yang beberapa menit lagi akan menjadi suaminya.
Bima, laki-laki itu menyerahkan tangan putrinya pada Rendra. Dan Rendra pun menerimanya dengan lembut. Laki-laki itu menggenggam tangan Mawar dengan hati-hati, lalu menuntunnya menuju ke hadapan pemuka agama yang sudah menunggunya sedari tadi.
Ballroom hotel berubah menjadi hening. Detik-detik pengucapan janji sehidup semati dari sepasang manusia, sebentar lagi akan dilaksanakan.
"Rendra Mahesa Wijaya, apakah engkau bersedia menerima Mawar Jelita sebagai istrimu, wanita satu-satunya yang engkau cintai, mengasihinya di saat suka maupun duka, di saat kaya maupun miskin, dan tidak akan meninggalkannya hingga maut memisahkan."
"Iya, saya bersedia," jawab Rendra dengan santai.
Lalu pemuka agama itu menatap ke arah Mawar.
"Mawar Jelita, apakah engkau bersedia menerima Rendra Mahesa Wijaya sebagai suamimu, pria satu-satunya yang engkau cintai, mengasihinya di saat suka maupun duka, di saat kaya maupun miskin, dan tidak akan meninggalkannya hingga maut memisahkan."
Mawar terdiam, dia belum menjawab pertanyaan pemuka agama itu. Bahkan pikiran wanita itu terlihat sedang melayang-layang entah kemana.
"Saudari Mawar?" panggil pemuka agama itu.
"Iya?" sahut Mawar gelagapan.
Kemudian Rendra meraih tangan Mawar, lalu menggenggamnya.
"Dia bersedia," kata Rendra menggantikan Mawar untuk menjawab pertanyaan pemuka agama itu.
Para tamu undangan saling melempar pandangan, merasa aneh dengan kedua mempelai itu.
"Apakah engkau bersedia menerima Rendra sebagai suamimu?" tanya pemuka agama itu lagi.
"I - iya, saya bersedia!" jawab Mawar spontan.
Lalu para tamu undangan pun mengucap syukur, karena kini dua insan itu telah menjadi sepasang suami istri.
Rendra dan Mawar pun saling memasangkan cincin di jari mereka. Lalu setelah itu mereka saling melempar pandang, hingga membuat pemuka agama dan para tamu undangan keheranan.
"Rendra dan Mawar, kini kalian sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Silakan Tuan Rendra, Anda boleh mencium istri Anda sebagai bukti kasih kalian," ucap pemuka agama tersebut, dan sukses membuat Rendra dan Mawar terkejut.
Mawar dan Rendra saling melempar pandangan, tatapan mata Mawar menajam. Sorot matanya mengatakan, 'awas saja jika kamu berani mencium ku meski seujung jari pun!'
Rendra malah tersenyum, kakinya maju selangkah kemudian tangannya menarik kepala bagian belakang Mawar - wanita yang kini sudah menjadi istrinya.
Sedetik kemudian bibir seksi pria itu mendarat di kening Mawar, hingga membuat mata gadis itu melotot, dan hampir keluar dari tempatnya.
Terdengar suara tepukan tangan memenuhi ballroom saat itu. Kebahagiaan tergambar dengan jelas di setiap wajah para tamu undangan. Terlebih lagi, senyuman tak pernah pudar dari wajah dua keluarga yang kini sudah menjadi besan itu.
Tergambar kepuasan di wajah mereka. Akhirnya mereka bisa menyatukan dua manusia yang tidak tertarik dengan sebuah pernikahan, dan sekarang malah mengucapkan janji sehidup semati di hadapan Tuhan.
Rendra menjauhkan wajahnya dari kening Mawar, lalu menatap Mawar yang masih terdiam. Sepertinya kesadaran gadis itu belum sepenuhnya kembali.
"Sadar dong, Sayang ...." bisik Rendra dengan suara beratnya.
Mawar terkejut, kesadarannya mulai kembali. Gadis itu menatap tajam ke arah Rendra. Padahal, dia sudah mengancam suaminya - Rendra, agar tidak mencium dirinya. Tapi, kenapa?
"Uhh!" keluh Mawar sambil mengepalkan tangannya.
"Kenapa? Mau marah? Silakan kalo berani," ucap Rendra sambil tersenyum.
"Sabar, sabar, jangan sampe terpancing sama bujuk rayu setan. Sabar ...." Mawar menenangkan dirinya, dengan mengelus-elus permukaan dadanya.
----------
Satu per satu tamu undangan mulai meninggalkan ballroom. Hanya tinggal beberapa orang saja yang masih berada di dalam sana. Max salah satunya, sahabat yang merangkap menjadi atasan. Laki-laki itu masih duduk di kursi, tangannya menggenggam segelas sampanye. Mata laki-laki itu terus menatap Mawar.
Ada sedikit rasa iri terhadap sahabatnya, Rendra. Bagaimana bisa Rendra tidak menyukai wanita secantik Mawar? Itulah yang ada di dalam benak Rendra. Jika saja Mawar dijodohkan dengannya, sudah pasti tanpa pikir panjang dia akan langsung menerima perjodohan itu.
"Max, belum pulang?" sapa Mirna pada sahabat putranya.
"Eh, Tante ...."
Mirna menarik kursi yang ada di sebelah Max, lalu duduk di sebelahnya.
"Cantik, ya?" tanya Mirna pada Max yang sedari tadi memperhatikan Mawar yang masih menyalami para tamu undangan.
"Iya, cantik, Tante."
"Kamu suka?"
"Iya, suka." Max menjawab tanpa tau apa yang ditanyakan oleh Mirna. "Eh ...."
"Kamu suka Mawar? Mau dicariin sama Tante yang kayak Mawar?" tawar Mirna pada sahabat anaknya.
"He-he-he, nggak usah Tante, makasih," tolak Max sambil tersenyum.
Karena yang diinginkan oleh Max adalah Mawar sendiri, bukan gadis yang menyerupai ataupun mirip dengan Mawar! Jika saja dirinya bertemu dengan Mawar lebih dulu, apakah semuanya akan seperti ini?