Kesan Pertama
Bak sehelai daun kering yang terselip di antara bunga-bunga cantik. Mungkin seperti itulah aku terlihat di mata lawan jenis. Tak menarik untuk didekati. Setiap kali menjalin kasih, pasti selalu berakhir dengan kegagalan.
Banyak yang berkata jika usia hanyalah angka. Pun menyarankan agar tak perlu pusing memikirkan omongan orang yang terus menanyakan 'kapan menikah'. Meskipun begitu, tetap saja perkataan seperti itu sesekali berhasil membuat diriku merasa tak percaya diri. Di hadapan orang-orang mungkin aku terlihat ceria, tapi lain hal jika sedang sendiri. Aku pun ingin mencintai dan dicintai.
"Jum! Jumilah!"
Aku yang tengah asyik tertawa melihat video lucu di ponsel pun, mau tak mau bergegas turun dari ranjang dan pergi keluar kamar.
"Jum!"
"Iya, Bu, iya!" sahutku dengan wajah cemberut.
"Lama sekali kamu itu munculnya kalau dipanggil," gerutu Ibu yang sudah berkacak pinggang di ruang televisi.
"Sabar atuh, Bu. Aku ini bukan titisan siluman yang bisa menghilang cepat."
"Nyahut saja kalau dikasih tahu."
"Iih, Ibu. Enggak usah jewer-jewer begitu. Memangnya aku anak kecil?" protesku seraya mengusap telinga yang dijewernya tadi.
"Ya sudah sana. Itu ... di depan ada tetangga baru yang minta tolong. Dia katanya mau beli perlengkapan mandi dan kebutuhan dapur. Tapi enggak tahu di mana minimarketnya. Temani sana."
"Malas, ah." Aku mengempaskan p****t di sofa dengan kedua kaki naik ke atas meja. "Pergi sendiri 'kan dia bisa. Nanti juga pasti ketemu kalau mau nyari. Manja banget, sih, minta diantar segala."
"Jangan begitu, Jum. Nabung amal."
"Jam-jum-jam-jum terus. Panggilnya Mila, Bu. Mila," protesku dengan wajah cemberut.
"Daripada ibu panggil kamu baskom. Hayo." Ibu malah tertawa meledek.
"Ibu, ih. Enggak asyik." Kulipat kedua tangan di d**a dan membuang muka.
"Ya 'kan namamu Kokom Jumilah. Pas, kan?"
"Tauk, ah."
"E-eh! Jangan ngambek begitu." Ibu menahan lenganku saat hendak pergi ke kamar lagi. "Itu antar dulu tetangganya. Dia anak majikan Bapak kamu dulu, lho, pas masih kerja jadi sopir."
"Masa? Ngapain dia pindah ke sini? Diusir?"
"Hush! Sembarangan saja kalau ngomong. Rumah itu memang sudah dari dulu dibeli mereka, tapi dikosongin. Ya sudah sana, cepat antar dulu."
"Malas aku, Bu. Ngerepotin banget minta antar segala."
"Kampung kita ini 'kan memang agak jauh dari minimarket, Jum. Sudah sana. Kasihan nunggu lama."
"Enggak mau, ah." Aku melepaskan cekalan Ibu dan berlalu pergi.
"Orangnya ganteng, lho." Ucapan Ibu berhasil membuat langkahku yang belum jauh ini langsung terhenti lagi.
Hah? Ciusan, nih?
Aku berdehem pelan, lalu memutar balik badan menghadap Ibu lagi.
"Memang seganteng apa?"
"Yaa, mirip-mirip sedikitlah sama poster artis yang kamu tempel di kamar itu. Sudah sana. Keburu dia pergi."
"Awas kalau bohong. Durhaka nanti."
"Ada juga kamu yang durhaka ngebantah ibu terus." Ibu melemparkan wortel ke arahku yang berlari menjauh sambil tertawa.
Sedikit lagi sampai, aku memperlambat langkah, lalu mengintip sedikit dari balik pintu. Di luar sana, pria dengan perawakan tinggi dan rambut cokelat gelap itu tengah berdiri membelakangi. Jaket hitam yang dikenakannya memberikan nilai tambah untuk penampilannya ini.
Dari belakang aja udah menggoda iman. Gimana kalau dari depan? Aih ....
Aku berjalan mendekatinya, lalu berdehem dua kali. Dia menoleh, dan seketika itu juga aku terpana dengan pesona ketampanannya.
"Hello?"
Aku yang sempat terpaku beberapa saat pun, kembali tersadar ketika dia mengibaskan telapak tangannya di depan ini.
"Kenapa bengong? Enggak kesurupan, kan?"
Asem!
"Iya, nih. Kesurupan siluman tampan," sahutku.
Aku tersenyum penuh arti. Sementara, dia mengerutkan dahi hingga ujung alis tebalnya itu hampir bersentuhan.
"Katanya mau minta antar ke supermarket? Ayo!"
Aku berjalan melewatinya yang masih menatap keheranan. Menyadari dia tak mengikuti, langkah ini terhenti, lalu memutar balik badan.
"Ayo! Kok, malah gantian bengong, sih? Terpesona sama kembarannya Esmeralda, ya?" Aku tersenyum dan mengibaskan rambut panjang ini.
Dia hanya merespon dengan gelengan, lalu berjalan menuju sebuah motor sport yang terparkir di depan rumah Bapak.
"Memang enggak bisa, ya, nyari sendiri?" tanyaku sembari mengenakan helm yang disodorkannya.
"Kalau enggak mau, ya enggak usah. Aku minta antar itu karena malas aja buang-buang waktu kalau harus nyari lama."
"Ceileh, ngambekkan kayak cewek lagi PMS." Aku tertawa seraya refleks mencolek pinggangnya.
Dia sempat mendelik tak suka sebentar, lalu akhirnya menyalakan mesin motor.
"Ayo cepat naik!"
"Iya, Sayang."
"Apa?" Dia menoleh cepat dan menatapku lagi dengan kening berkerut dalam.
"Itu ... anu." Aku menunjuk ke arah langit. "Barusan ada layang-layang."
Aku tersenyum kaku, lalu bergegas naik ke motornya sambil menahan tawa.
Sepanjang jalan, pria ini diam membisu. Sementara, aku terus bersenandung kecil sembari berpegangan erat pada kedua sisi jaket yang dikenakannya. Kuperhatikan sosoknya dalam diam, lalu mengulum senyum.
Bahunya cocok dijadiin sandaran, nih. Jadi pengen nyender manja. Aih!
Beberapa lama kemudian, kami akhirnya tiba di supermarket terdekat. Jaraknya sekitar hampir setengah jam. Aku memilih menunggu di luar dan membiarkannya belanja sendirian. Saat aku tengah santai berselancar di dunia maya, fokus mata ini teralihkan ketika satu kantong kresek putih terulur ke depan wajah.
"Apaan?" tanyaku.
"Buatmu. Anggap aja ini imbalan."
Kuambil alih kantong kresek tersebut, lalu tersenyum melihat cukup banyak camilan di dalamnya.
"Makasih, ya, Om."
"Jangan panggil om. Memangnya aku setua itu apa?" protesnya tanpa menatapku.
"Terus panggil apa, dong? Mbah dukun?" Aku tertawa, tapi tawa ini langsung terhenti lagi ketika menyadari lirikan tajamnya. "Maaf-maaf. Bercanda doang kali elah. Serius amat. Ngomong-ngomong, nama Om siapa?"
"Dibilang jangan panggil aku om. Panggil mas aja."
Siap, Mas ganteng. Aih.
"Mas namanya siapa?"
"Mus—"
"Musafir?" potongku.
Dia menatap tajam, aku nyengir.
"Mustafa," sambungnya ketus.
"Jadi teringat lagu dangdut, nih. Mustofa, ya, Mustofa. Urat sarafmu tegang." Aku bersenandung kecil dan tertawa lagi.
Namun, melihat raut wajah tak sukanya itu membuatku langsung menutup mulut dan berdehem pelan.
"Namanya keren, kok. Keren," pujiku dengan senyum canggung.
"Jelas-jelas Mustafa dan Mustofa beda. Sembarangan aja ganti nama orang," gerutunya sambil menggantungkan kantung belanjaan di motor.
Idih, marah-marah mulu. Untung ganteng. Eh?
"Mas ini beneran anak dari mantan bos bapakku dulu?"
"Hm."
"Ooh." Aku mengangguk, lalu mengulum senyum sambil menatap dia yang sedang memakai helm.
"E-eh! Itu mata Mas kenapa?" tanyaku pura-pura kaget.
"Kenapa apanya?" Dia menatapku bingung, lalu mengucek matanya.
"Itu di matanya ada sesuatu, lho. Seriusan!" Mendengar perkataanku ini, dia bergegas pergi berkaca ke spion motor.
"Enggak ada apa-apa, tuh. Memangnya ada apa, sih?" tanyanya sembari kembali menatap ke sini.
"Ada masa depanku di sana."
???