Calon Imam

1141 Words
"Ada masa depanku di sana." Aku tersenyum, dia membeku. Tanpa mengatakan apa-apa, dia langsung naik ke motor dan menyalakan mesinnya. Aih, ternyata rayuan gombalanku nggak mempan. "Eh?" Dengan tidak sopannya dia melajukan motornya saat aku baru saja hendak naik. "Wey! Aku belum naik ini! Mas ganteng!" Aku berteriak sambil berlari mengejar. Motor itu akhirnya berhenti. Dia menoleh sembari membuka kaca helm. Terlihat ada senyum tipis yang tersungging di wajahnya. "Gimana, sih, Mas, ini? Main tinggal aja," protesku dengan napas yang sedikit ngos-ngosan. "Udah minta dianterin, malah ditinggalin. Aku aduin ke Ibu baru nyaho nanti." "Cepet naik atau aku tinggal lagi," titahnya. "Ish, minta maaf dulu, kek," gerutuku seraya bergegas naik ke motornya. Repot kalau beneran ditinggal, 'kan? Mana nggak bawa duit lagi. Hadeeh! "Cakep doang, kelakuan ngeselin." "Apa?" Dia bertanya setengah berteriak karena bising kendaraan. Et, dah. Denger aja dia. "Nggak. Itu ada tukang jualan es lilin barusan," elakku sembari menahan senyum. Kami tak lagi berbincang setelah itu. Sepanjang perjalanan, aku pun memilih diam. Bukan karena marah dan kesal karena perbuatannya tadi, tapi justru tengah asyik berkhayal. Membayangkan memiliki pacar tampan sepertinya membuatku tak kuasa mengendalikan senyum. Pasti Leha dan Minah bakalan iri kalau aku punya pacar kek Mas Mustafa ini. Duuh, moga aja dia jomlo. "Hei!" "Hm." Aku masih asyik membayangkan adegan romantis sambil memejamkan mata. "Sampai kapan kamu mau nemplok terus kek tokek?" "Ah?" Aku langsung membuka mata dan segera melepaskan kedua tanganku yang ternyata melingkar erat di perutnya. Mamp*s! Kok, aku bisa meluk dia, sih? Jangan-jangan dari tadi lagi. Alamak, keasyikan berkhayal. Haha. "Maaf." Aku mesem. "Cepet turun!" "Iya, iya. Sabar," sahutku, kemudian bergegas turun dan memberikan helmnya. "Nggak mau bilang sesuatu gitu?" "Makasih," ucapnya dingin tanpa menatapku. Sabar, sabar. Jangan panggil aku Kokom Jumilah kalau nggak bisa naklukin si kanebo kering ini. "Sama-sama. Kalau Mas butuh bantuan lagi langsung bilang aja. Aku siap bantu, kok. Aku bakal temenin Mas ke mana pun termasuk ke KUA." Dia melirik tajam, tapi aku malah mengulum senyum sambil mengedip-ngedipkan mata manja bak lampu disco. "Kurang seons," gumamnya seraya mendorong motor menuju rumahnya yang letaknya berhadapan dengan rumah Bapak. "Apa, Mas? Mau beli soun? Ayo aku anterin!" kataku berpura-pura tak mendengar ejekannya tadi. Dia hanya merespon dengan gelengan tanpa berhenti ataupun menoleh ke sini. "Mas! Mas ganteng!" Aku mengejar ke rumahnya ketika teringat sesuatu. Dia menurunkan standar motor, kemudian memutar balik tubuhnya menghadapku. "Apa?" "Mas nggak mau tanya nama aku siapa gitu?" Dia menghela napas seraya menunduk, lalu menatapku lagi. "Siapa nama kamu?" "Mila. Namaku Mila, tapi Mas boleh panggil aku Sayang." Aku mesem, sedangkan dia melongo dengan mulutnya yang sedikit terbuka. "Pulang sana," tukasnya setelah sempat membeku sesaat, lalu berjalan cepat menuju teras rumahnya. "Kacau. Benar-benar kacau kalau begini," gerundelnya yang masih bisa kudengar. "Sampai ketemu lagi, ya, Mas. Teriak aja kalau butuh sesuatu. Pasti aku langsung ke sini!" Dia tak merespon. "Selamat beristirahat!" ucapku sesaat sebelum pintu rumahnya ditutup dengan kasar. Iih, gemes, deh. Jadi makin semangat dan tertantang buat naklukin dia. Haha. ??? "Kenapa kamu senyam-senyum gitu? Menang lotre?" tanya Ibu yang sedang menyiangi sayur sambil menonton televisi. "Lebih dari lotre ini, sih, Bu." Aku tertawa, lalu mencium punggung tangannya. "Gimana? Ganteng, kan?" goda Ibu. "Ganteng banget, Bu. Coba dari dulu punya tetangga kek dia. Duuh, rela deh disuruh nyapu halaman depan tiap detik." Aku tertawa. "Dasar." Ibu ikut tertawa sembari menggeleng. "Dia mau berapa lama tinggal di sininya, Bu?" Ibu menggeleng. "Tanya aja langsung sama orangnya. Mana Ibu tahu kalau soal itu. Mungkin Bapak tahu. Kamu coba tanya aja nanti." "Ya udah. Aku mau mandi dulu, ah, biar wangi." "Giliran ada gebetan aja, mandinya rajin." Aku tertawa sambil berjalan menuju kamar ketika mendengar Ibu menggerutu di belakang sana. ??? [Ada info, Gaes. Gebetan baruku gantengnya ngalahin si Asep, lho.] [Halah, ngibul. Nggak percaya,] balas Leha. [Sama. Mana ada di kampung ini yang lebih ganteng dari dia. Ngimpi.] Minah menimpali obrolan kami di grup. [Kalian aja yang kudet. Awas aja kalau kalian berani nyerobot. Haha.] [No pics= hoaks,] balas Leha lagi. [Ok. Tar aku bakal kasih kalian fotonya. Tunggu aja.] "Jum!" seru Ibu dari luar kamar. "Tolong beliin ibu garam, dong. Habis." "Iya!" sahutku seraya memasukkan ponsel ke dalam saku celana, kemudian bergegas berlari menemuinya. "Mana duitnya?" Aku menengadahkan tangan. "Semangat amat. Tumben. Biasanya tar-tar mulu." Aku nyengir sambil menggaruk kepala. "Udah, Bu. Cepetan, ah." "Sama minyak gorengnya setengah kilo, ya." "Ashiap," sahutku seraya berjalan menuju pintu depan dengan semangat. Moga aja dia lagi ada di depan rumahnya. Sayang, semua tak seperti yang kukira. Motor sport miliknya memang ada di halaman, tapi pintu rumahnya tertutup rapat. Aku melangkah mendekati halamannya setelah memastikan lingkungan sekitar sepi. "Aduh! Panas banget, sih, hari ini!" Aku sengaja berucap dengan suara keras seraya menatap awas ke rumahnya. "Enak kayaknya kalau jalan beli es!" Sepi. Masih tak ada sedikit pun tanda kemunculan dirinya. "Aku mau ke warung dulu, ah!" Ish! Masa nggak denger, sih? Suara udah kek pake toa begini juga. Aku mencebik sebal, lalu kembali melanjutkan langkah menuju warung sambil mengentak-entakan kaki. ??? "Lama amat kamu beli garem," gerundel Ibu setelah aku kembali. "Biasa, Bu. Diajakin ngobrol dulu sebentar sama temen gibah Ibu." Aku tertawa. "Hish, kamu itu. Ya udah bantu Ibu gorengin tempe." "Iya." Bapak pulang bertepatan dengan makan siang yang sudah siap disantap. Ketika kami sudah siap makan bersama, aku terpikirkan sebuah ide. "Mau ke mana kamu?" tanya Ibu saat melihatku berdiri lagi dari kursi. "Gini, Bu. Kan, tetangga baru kita itu anak mantan majikannya Bapak. Gimana kalau kita kasih dia makan siang? Kan, kasihan, Bu. Pasti dia nggak masak di rumahnya." "Nggak usah. Malu, Jum. Menu kita kampungan begini. Beda sama yang biasa dia makan," larang Ibu. "Beda gimana? Emangnya dia biasa makan apa? Berlian?" Bapak tertawa sampai beberapa butiran nasi melompat keluar dari mulutnya. "Ya bukan begitu juga. Maksud Ibu, dia pasti biasa makan makanan mahal dan enak." "Ah, kata siapa? Ini juga enak, kok. Ya, 'kan, Pak?" Bapak meneguk segelas air minum, lalu mengangkat satu jempolnya. "Boleh, ya, Bu? Amal, Bu, amal," bujukku dengan memasang wajah memelas. "Ya sudah sana." "Yes!" seruku riang, kemudian dengan semangat memasukkan nasi, tumis kangkung, sambal dan ikan goreng ke dalam rantang bekal. "Aku ke depan bentar, ya." "Jangan aneh-aneh, Jum. Habis nganterin makanan langsung pulang!" seru Ibu sesaat sebelum aku menghilang di balik pintu. Dengan penuh semangat aku berlari kecil ke rumah pria berambut cokelat gelap. Meski tak kelihatan batang hidungnya, tapi bisa kudengar samar-samar suara televisi dari dalam sana. "Permisi!" sapaku seraya mengetuk pintunya. "Mas ganteng! Ini aku, Mila!" Tak ada respon darinya, aku pun mengintip ke dalam melalui kaca jendelanya. Asem! Dia malah asyik nonton TV sama main hape. "Mas ganteng!" Aku kembali mengetuk pintunya lebih keras lagi. "Buka, dong! Aku disuruh Ibu anterin sesuatu!" Tak berselang lama, terdengar suara kunci diputar dan akhirnya, sosok tampan nan rupawan itu sudah berdiri menjulang di hadapanku. "Halo, Calon Imamku." Aku tersenyum manis. ???
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD