Dia kembali membeku tanpa ekspresi.
"E, eh!" Dengan sigap tanganku menahan pintu ketika dia hendak menutupnya. "Kok, malah mau ditutup, sih?"
"Mau ngapain ke sini? Aku nggak punya waktu berurusan sama cewek aneh."
"Aneh? Aku nggak aneh, kok, cuma limited edition." Aku tersenyum seraya menaik-turunkan kedua alis. "Eeh!" Kembali dengan cepat aku menahan pintunya. "Baperan amat Mas. Bercanda doang." Aku tertawa.
"Kalau ke sini cuma mau kasih gombalan nggak mutu, mending kamu pergi." Kata-kata dan raut wajahnya sama-sama dingin.
"Jangan dingin-dingin, dong, Mas. Nanti aku pilek."
Dia menyentak napas kasar seraya mengerlingkan mata ke atas. "Kamu ke sini sebenarnya mau ngapain?"
"Oh, ini. Aku disuruh Ibu anterin makan siang buat calon mantu."
Dia menatapku dengan keningnya yang berkerut dalam, tapi aku malah tersenyum penuh arti.
"Bawa pulang lagi aja. Aku bisa cari makan di luar."
"Eh!" Kembali aku menahan pintunya. Kali ini dengan satu kaki. "Jangan gitu, dong, Mas. Itu namanya nggak menghargai pemberian tetangga. Ibu, lho, ini ... yang ngotot mau kasih makan siang. Kasihan katanya Mas nggak ada yang masakin. Beda lagi situasinya kalau kita udah disatukan di depan penghulu. Pasti ak—" Aku tak sempat menyelesaikan ucapan ketika mulut ini dibekap.
Coba dibekapnya pake bibir, oops!
"Bisa nggak, mulutnya jangan merepet terus kayak petasan?"
Aku mengangguk, lalu menghela napas lega ketika bekapannya dilepas.
"Aku cuma ...." Aku melongo. Lagi-lagi tak sempat menyelesaikan ucapan ketika dia dengan cepat merebut rantang dan menutup pintunya.
Aih, galak amat. Untung suka, eh?
"Mas!" Aku mengintip ke dalam sambil menggedor kacanya, lalu tersenyum ketika melihatnya berjalan mendekat. "Selamat ma ... kan." Suaraku memelan ketika tirainya ditutup begitu saja.
Ckckck, sungguh terlalu kau, Rhoma!
Aku pergi meninggalkan rumahnya sambil sesekali mengintip ke belakang dan tak sengaja mendapati dia juga tengah mengintip dari balik tirai.
"Ciee, yang ngintip!" Aku tergelak dengan telunjuk mengarah padanya. Membuat dia dengan cepat kembali menutup tirai. "Uuh, malu-malu meong dia. Padahal penasaran, tuh. Sok jual mahal, tar lama-lama juga jatuh cinta."
Aku bersiul senang sambil melompat-lompat kecil, dan terkejut karena tiba-tiba Ibu mendaratkan cubitan di lengan saat aku masuk.
"Ih, sakit, Bu," ringisku sembari mengusap-ngusap area yang dicubitnya.
"Kamu itu, iih! Udah ibu bilang jangan aneh-aneh dan langsung pulang. Malah ngegombal nggak jelas di sana."
"Ya maklum, Bu. Namanya juga kelamaan jomlo. Kali aja yang ini nyantol." Aku tertawa sambil berjalan menuju meja makan.
"Jangan berkhayal terlalu tinggi. Nanti kamu kecewa."
"Tenang aja, Bu. Aku udah biasa dikecewain. Udah kebal."
Sebenarnya, aku jomlo bukan karena tak laku. Asep pria paling tampan di kampung ini bahkan tak pernah bosan mengejarku. Hanya saja, aku trauma pernah gagal nikah dua kali. Kegagalan pertama karena calon suami kepergok bermesraan dengan mantan kekasihnya. Sementara, kegagalan kedua karena calon suamiku mendadak mundur dengan alasan dia sudah memiliki wanita idaman lain. Menyedihkan bukan?
Namun, entah apa yang terjadi padaku. Bertemu dengan anaknya mantan majikan Bapak mendadak perasaan trauma itu lenyap entah ke mana. Sekarang, yang ada aku malah bersemangat ingin menaklukan hatinya.
"Mending kamu sama si Asep, Jum."
"Ih, ogah! Mending aku jomlo daripada harus nikah sama playboy kampung itu."
"Gitu-gitu dia serius sama kamu, Nur. Buktinya, dia udah dua kali pernah bawa orangtuanya buat ngelamar."
"Ah, tetep aja di luar sana banyak cem-cemannya. Ogah. Makan ati tar."
"Sudah, sudah. Jangan bahas soal nikah dulu. Mending kamu makan yang banyak, Jum. Badan udah kurus kering begitu," timpal Bapak yang sudah selesai makan dan salat.
"Iya, Pak. Ini juga mau makan. Bapak mau jalan ngojek lagi?"
"Hm."
"Hati-hati, Pak," ucapku, lalu mencium punggung tangannya.
Jodoh memang sudah diatur. Aku pun tak bisa menyalahkan para mantan calon suamiku itu sepenuhnya. Mungkin, memang dengan cara itulah kami harus berpisah. Lebih baik mengetahui kebusukan mereka di awal daripada terjebak dalam penikahan toxic. Hanya akan menyiksa lahir dan batin.
Entah sudah menikah apa belum mereka dengan wanita pilihannya sekarang. Kami berbeda kampung. Jadi, aku tak mengetahui perkembangannya. Lebih tepat dibilang tak mau tahu. Kehilangan keduanya bukan berarti hidupku sudah berakhir. Mungkin Tuhan sedang mempersiapkan jodoh yang terbaik. Aku percaya itu.
???
Sejak lulus SMA, aku tak langsung mendapatkan pekerjaan. Hampir setahun lamanya menganggur dan hanya membantu Ibu berjualan donat keliling kampung. Akan tetapi, nasib baik berpihak ketika aku diterima bekerja di sebuah minimarket. Memang jaraknya cukup jauh karena berada di pusat kota.
Sayang, pekerjaan itu tak bertahan lama karena minimarketnya gulung tikar. Aku kembali menganggur untuk beberapa bulan. Hingga akhirnya, kedai bakso yang terletak di jalan utama menerimaku bekerja sampai sekarang. Meski gajinya kecil, tapi sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan membantu Ibu.
"Mau berangkat, Jum?"
"He-eum."
"Kirain libur lagi."
"Kemarin doang liburnya, Bu. Kalau libur terus, ya, nggak ada pemasukan. Aku berangkat, ya," pamitku, lalu mencium punggung tangannya.
"Dianter si Asep?"
"Ish, nggak. Aku jalan ke depan aja buat nyari ojek."
Bapak memang bekerja sebagai ojek online. Beliau sempat menawarkan diri untuk mengantar jemput, tapi kutolak. Tidak tega kalau Bapak harus bolak-balik dari pusat kota ke kampung ini hanya untuk mengantar-jemput. Biarlah Bapak fokus mencari nafkah di sana karena di kampung ini pengguna ojol masih sepi peminat.
"Ya sudah, hati-hati, ya."
"Iya," sahutku seraya melangkah menuju pintu dengan menenteng sepatu.
Bertepatan dengan aku yang tengah duduk di teras sembari mengikat tali sepatu, Mas Mustafa keluar dari rumah sembari membawa kanebo di tangannya. Aku tersenyum, tapi dia membuang muka.
Sadis bener.
"Mau nyuci motor, Mas?" tanyaku basa-basi.
Dia tak acuh.
"Motor aja mandi. Yang punyanya udah mandi belum, tuh?" candaku, tapi dia masih tak acuh dan fokus dengan pekerjaannya.
"Duh, panas banget, ya, hari ini. Pengen jalan ke depan nyari ojek jadi males." Aku sengaja berujar sedikit keras seraya mencuri-curi pandang ke arahnya.
Yaah, dicuekin lagi. Nggak ngerti kode cewek apa dia? Ish!
"Mas! Mas ganteng!" panggilku dari depan gerbangnya.
Dia menoleh, tapi raut wajahnya tetaplah dingin.
"Nggak mau ke depan gitu?"
"Nggak." Dia kembali membuang muka dan mulai membersihkan busa sabun di motor dengan air dari keran.
Aku mendengkus kesal. Ketika hendak pergi, langkahku terhenti karena mendengar suara klakson motor dari belakang.
"Mau berangkat, Yank?" tanya Asep setelah motornya berhenti tepat di sampingku.
"Yank, Yank, palamu peyang!" tukasku kesal, tapi dia malah tertawa hingga gigi gingsulnya terlihat.
Asep memang tampan. Bahkan, tak kalah tampan dari tetangga baruku ini. Dia menjadi rebutan para gadis cantik di kampung ini dan kampung sebelah. Akan tetapi, entah kenapa sampai detik ini dia masih saja sibuk mendekatiku yang selalu bersikap dinign dan ketus terhadapnya.
"Aku anter, yuk!"
"Ogah! Sana temuin aja pacar-pacarmu itu."
Asep kembali tertawa. "Cemburu, ya? Tenang, Mil. Mereka semua bakal aku putusin kalau kamu terima lamaran aku."
"Diih, pede banget. Siapa juga yang mau nikah sama kamu. Playboy cap kampung."
"Cap kaki tiga kali."
"Cap badak!" timpalku lagi.
Asep tergelak.
Memang aneh. Dia tak pernah marah atau tersinggung meski aku sering mengejek dan bersikap kasar padanya. Bucin padaku? Mungkin iya. Entahlah.
"Udah ayo! Aku anterin aja. Daripada capek jalan ke depan."
"Nggak usah. Aku udah ada yang mau nganterin, kok."
"Hah? Siapa?" Asep menatapku dengan keningnya yang berkerut dalam.
Aku melirik pria bercelana pendek selutut dengan kaus hitam press body yang sibuk mencuci motor. Berharap dia paham dengan kodeku, tapi ternyata tidak.
"Siapa yang mau nganterin, Mil?" Asep meraih pergelangan tanganku.
"Tukang ojek!" Aku menepis tangannya, kemudian pergi dengan perasaan kesal. Sempat menoleh kembali ke belakang, tapi si kanebo kering itu tetap tak acuh.
"Beneran, nih, nggak mau dianterin?" Asep mengimbangi langkahku tanpa menyalakan mesin motornya.
Aku diam.
"Ya udah kalau nggak mau," ujarnya, kemudian menyalakan mesin motor dan berlalu pergi.
Aku berhenti melangkah dan tertegun sejenak. Sebelum akhirnya, mengambil ponsel dari tas. "Balik sini cepetan!"
"Katanya tadi nggak mau." Asep tertawa dari seberang telepon.
"Mau nganterin apa nggak?" tanyaku sewot.
"Iya, iya. Duuh, galak amat calon istri."
???