Malam itu dingin, angin berdesir lembut menyusuri celah-celah jendela kayu kamar Arcene. Di dalam ruangan yang redup hanya diterangi oleh cahaya dari lampu tidur yang kecil, dia duduk di tepi ranjang dengan mata terbuka lebar. Si kembar telah tidur terlelah di kamar sebelah setelah puas menyusu. Namun Arcene belum bisa tertidur. Suara tawa dari halaman kafe tempat pesta berlangsung masih terdengar samar-samar, menggema melalui udara malam yang sunyi. Arcene tak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh satu nama—Light. Dia mencoba menenangkan diri, tetapi bayang-bayang Light terus menghantui benaknya. Pria itu ada di sana, ya di luar sana, di antara kerumunan orang-orang yang sedang bersenang-senang. Arcene tahu betul siapa Light sekarang—seorang sosok tampan yang merupakan putra bu