Ia segera mengenakan pakaiannya yang berserakan di lantai. Tangannya gemetar saat dia membenarkan gaunnya, seolah-olah tubuhnya menolak untuk bergerak.
Begitu selesai, dia memandangi dirinya di cermin besar di kamar itu. Rambutnya kusut, dan wajahnya tampak sedikit lelah, tetapi dia tidak peduli.
Yang penting sekarang adalah pergi sebelum semuanya menjadi lebih rumit. Dia memakai kembali topengnya agar tak terlihat oleh siapapun terutama kamera pengawas di luar.
Arcene menoleh ke arah Light untuk terakhir kalinya. Pria itu masih tidur nyenyak, napasnya teratur dan tenang.
Tanpa sadar, Arcene tersenyum tipis, tetapi senyuman itu segera memudar ketika kenyataan menghantamnya.
Dengan langkah perlahan, dia membuka pintu kamar dan keluar tanpa melihat ke belakang lagi.
*
*
Lorong-lorong mansion itu sepi, tetapi jejak pesta semalam masih terlihat jelas. Gelas-gelas kosong dan serpihan dekorasi berserakan di lantai.
Arcene melangkah dengan cepat, mencoba menghindari siapa pun yang mungkin masih berkeliaran.
Ia tahu bahwa dirinya hanyalah tamu penyusup—bukan tamu undangan resmi. Ia masuk ke pesta itu karena Slania, dan dia tidak ingin meninggalkan jejak apa pun yang bisa membuatnya terlacak.
Namun, langkahnya terhenti ketika dia melihat seorang pelayan sedang dimarahi oleh salah satu tamu pesta semalam.
Wanita itu, yang masih mengenakan gaun pesta mewah, berdiri dengan tangan terlipat di d**a dan ekspresi arogan di wajahnya.
Pelayan itu tampak gugup, kepalanya tertunduk, dan tangannya gemetar memegang nampan kosong.
“Kau benar-benar tidak berguna! Bahkan hal sepele seperti ini saja tidak bisa kau lakukan dengan benar!” suara wanita itu melengking, penuh penghinaan. “Apa gunanya kau bekerja di sini kalau hanya membuat masalah? Dasar pelayan tak berguna!”
Arcene menahan napas, dadanya terasa sesak. Ia tidak mengenal pelayan itu, tetapi adegan tersebut terasa sangat dekat dengannya.
Kata-kata kasar yang dilontarkan wanita itu seolah-olah diarahkan langsung padanya.
‘Apa aku akan diperlakukan seperti itu oleh Light jika dia tahu aku hanya seorang pelayan kafe?’ pikirnya.
Ia menggigit bibirnya, merasa hatinya semakin tenggelam dalam rasa malu dan rendah diri.
Pelayan itu hanya menunduk lebih dalam, meminta maaf dengan suara pelan yang hampir tak terdengar.
Wanita tamu itu mendengus kesal sebelum akhirnya pergi, meninggalkan pelayan itu berdiri kaku di tempatnya.
Arcene ingin melangkah maju dan mengatakan sesuatu, tetapi dia tahu bahwa itu bukan urusannya dan akan berbahaya jika dia ikut campur.
Apa yang bisa dikatakannya? Ia sendiri bahkan tidak punya keberanian untuk menghadapi kenyataan dirinya.
Arcene melanjutkan langkahnya, tetapi kini dia lebih waspada. Di sepanjang lorong, dia memperhatikan setiap sudut, memastikan tidak ada kamera pengawas yang menangkap dirinya.
Ia menarik sebagian syal dari gaunnya untuk menutupi bibirnya meskipun topeng sudah cukup menutupi area wajahnya, mencoba tetap tidak mencolok.
Jantungnya berdegup kencang saat dia melewati beberapa penjaga yang sedang berbicara di dekat pintu keluar. Ia menundukkan kepala, berharap mereka tidak memperhatikannya.
‘Aku harus keluar dari sini sebelum ada yang menyadari,’ pikirnya panik.
Begitu mencapai pintu belakang mansion, Arcene merasa lega. Udara dingin pagi itu menyambutnya, membuatnya sadar bahwa dia benar-benar telah keluar dari tempat yang bukan seharusnya dia berada.
*
*
Dalam perjalanan pulang, Arcene tidak bisa kegelisahan hatinya. Ia merasa seperti seorang Cinderella yang bangun kesiangan, tetapi tanpa sepatu kaca, tanpa pangeran yang mencarinya. Yang ada hanyalah rasa hampa.
‘Tidak, aku tak menyesalinya karena aku menginginkan ini dan tahu risikonya,” gumamnya dalam hati.
Namun, di balik semua rasa gelisah dan ragunya, ada bagian kecil dari dirinya yang tidak bisa melupakan Light.
Pria itu telah memberinya malam yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya—malam yang penuh gairah, tetapi juga penuh kebingungan.
*
*
Sementara itu, Light terbangun beberapa jam kemudian. Ia meraba tempat di sebelahnya, tetapi yang dia temukan hanyalah kasur kosong yang dingin.
Ia membuka matanya, menatap sekeliling kamar, dan menyadari bahwa Arcene telah pergi.
Ada perasaan aneh yang mengganjal di hatinya—rasa kecewa dan penasaran. Arcene adalah wanita yang berbeda dari siapa pun yang pernah dia temui sebelumnya, dan kini dia telah menghilang tanpa jejak.
Light duduk di tepi ranjang, tangannya mengusap rambutnya yang berantakan. Lalu dia beranjak dan mencari Arcene ke kamar mandi, namun hasilnya nihil.
“Kemana kau pergi, Celine?” gumamnya.
Ia tidak tahu bahwa Arcene, wanita yang telah membuatnya begitu penasaran, sedang berjalan menjauh darinya sejauh mungkin—berusaha melarikan diri dari kenyataan yang mungkin tidak pernah bisa mereka hadapi bersama.
Namun, dalam hatinya, Light tahu bahwa dia tidak akan membiarkan semuanya berakhir begitu saja.
*
*
Pagi itu, setelah menyadari bahwa Arcene telah meninggalkan kamarnya tanpa sepatah kata pun, Light segera mengambil tindakan.
Jantungnya berdegup kencang, bukan karena amarah, melainkan karena kegelisahan yang tidak dia mengerti.
Tanpa membuang waktu, dia mengenakan kembali pakaian yang tergeletak di lantai, lalu merapikan penampilannya secepat mungkin.
Setelah memastikan dirinya siap, dia melangkah keluar dari kamar untuk menemukan wanita misterius itu.
Langkah kakinya terdengar mantap di sepanjang lorong-lorong mansion yang masih dipenuhi sisa-sisa kemeriahan pesta semalam.
Beberapa pelayan yang sibuk membersihkan dekorasi menatapnya dengan heran, tetapi Light tidak peduli.
Ia memulai pencariannya di sekitar area pesta. Ruang dansa yang semalam begitu hidup kini sunyi, hanya menyisakan kilauan sisa lampu hias dan lantai yang lengket karena tumpahan minuman.
Light mengamati setiap sudut dengan cermat, berharap menemukan Arcene berdiri di salah satu sudut ruangan seperti semalam.
Namun, yang dia temukan hanyalah kekosongan.