Arcene Berniss menutup buku keuangan di atas meja kasir kafe kecil miliknya. Waktu hampir menunjukkan pukul dua belas malam, dan kafe itu kini sepi setelah hari yang sibuk.
Ia menghela napas panjang, merasa lelah namun puas. Kafe mungil ini sebenarnya milik temannya namun dialah yang mengelolanya dan ikut mengembangkannya dari hasil kerja kerasnya selama beberapa tahun.
Dan meski tidak besar, tempat itu menjadi pelarian bagi para pelanggan setianya.
Sambil merapikan apron, dia mendengar suara derap langkah yang tidak familiar. Arcene menoleh ke pintu, melihat seorang wanita cantik memasuki kafe.
Sosoknya anggun, mengenakan setelan mahal yang kontras dengan suasana sederhana kafe itu.
Wanita itu membawa aura misterius yang membuat Arcene waspada.
“Maaf, kafe kami sudah tutup,” ucap Arcene sopan namun tegas.
Wanita itu tersenyum kecil, melirik sekeliling kafe sebelum tatapannya kembali ke wajah Arcene. “Aku baru tiba di kota ini dan aku ingin bersantai sejenak. Boleh, kan? Aku akan tambah biayanya agar kau tetap buka.”
Kata-kata itu membuat Arcene mematung. “Apa maksudmu? Kau mau membayar lebih mahal?” tanyanya.
“Ya, kalau kau mau.” Wanita itu melepaskan sarung tangannya dan duduk di kursi tinggi di hadapan meja bar.
Arcene mengangguk. “Kau tak perlu membayar lebih. Tapi mungkin kau bisa memberi beberapa gelas kopi dan roti yang tersisa.”
“Oke, buatkan aku kopi yang terenak di sini.” Wanita itu tersenyum dengan senyuman miringnya yang cantik.
“Aku Slania, kau?” tanya wanita itu.
“Arcene.” Arcene menjawab sambil menyiapkan kopi untuk wanita bernama Slania itu.
“Wow, kau orang Belgia?”
Arcene mengangguk sambil tersenyum tipis. “Bagaimana kau tahu?”
“Namamu cukup umum di sana. Nenekku juga berasal dari sana. Apa arti namamu?”
“Seorang perempuan yang sangat kuat dan pembawa kemenangan serta keberuntungan bagi keluarganya. Tapi … ternyata itu tak sesuai dengan ekspetasi keluargaku. Lihatlah, aku hanya bekerja di kafe kecil.” Arcene mengedikkan bahunya.
Lalu Arcene meletakkan segelas kopi di depan Slania.
“Kau ingin mencoba sebuah keberuntungan? Aku memiliki sebuah tawaran menggiurkan untukmu,” jawab wanita itu sambil meletakkan sebuah amplop putih di atas meja. “Tawaran yang sulit untuk ditolak.”
Arcene menatap amplop itu dengan curiga. “Aku tidak menerima tawaran aneh dari orang asing. Apakah kau mucikari? Sudah banyak mucikari yang menawariku untuk bekerja di club malam sebagai wanita malam.”
Wanita bergincu merah itu mengangkat alisnya, seolah sudah menduga respons tersebut lalu tertawa santai. “Jadi, aku terlihat seperti mucikari? Buka saja amplop itu. Aku yakin kau akan memikirkan tawaranku.”
Dengan ragu, Arcene meraih amplop tersebut. Ia membuka segelnya perlahan, lalu mengeluarkan undangan berwarna emas yang terlihat sangat mewah.
Huruf-huruf timbul di permukaannya berbunyi: [Anda diundang ke pesta tahunan keluarga Boyd]
Mata Arcene menyipit. “Pesta Keluarga Boyd? Itu salah satu acara paling eksklusif di kota ini. Mengapa kau memberikannya padaku?”
Wanita itu tersenyum tipis, seolah sudah menyiapkan jawaban. “Aku membutuhkan seseorang untuk menggantikanku ke sana. Dan aku membawa nama keluargaku. Aku tak sempat ke sana tapi harus hadir hanya untuk menghormati perjanjian bisnis keluarga.”
Arcene tergelak sinis, melipat kembali undangan itu dan meletakkannya di atas meja. “Maaf, aku bukan tipe orang yang bisa menghadiri pesta seperti itu. Aku akan menjadi badut di sana.”
“Tunggu.” Wanita itu mengeluarkan sebuah kotak berwarna coklat dari tas karton besar dan meletakkannya di sebelah amplop. “Kau akan memakai ini, dan tak akan ada yang mengenalimu karena kau akan memakai topeng. Di dalam kotak ini ada gaun rancangan eksklusif dari desainer terkenal, lengkap dengan aksesori yang sesuai. Dan tentu saja, ada imbalan yang jauh lebih menarik jika kau mau membantuku.”
Arcene mengernyit, merasa semakin aneh dengan situasi ini. “Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku? Mengapa memilihku? Pasti akan banyak orang yang mau dengan tawaranmu ini.”
“Karena kau … cantik dan proporsi tubuhmu tak berbeda jauh denganku. Kau hanya perlu hadir, menikmati makanan, dan berbaur dengan para tamu. Aku yakin kau sangat pandai dalam hal ini karena kau terbiasa menghadapi banyak customer di sini. Dan ini tak gratis, aku akan membayarmu dengan jumlah besar. Dan mungkin saja kau bisa menjerat salah satu konglomerat di sana.”
Arcene menatap wanita itu dengan cermat. Ada sesuatu yang aneh dalam caranya berbicara, seolah dia menyembunyikan sesuatu.
Namun, bayangan tentang imbalan besar itu mulai menggoyahkan logikanya. Kafe kecil itu membutuhkan renovasi, dan dana yang dia miliki saat ini tidak mencukupi.
“Berapa imbalannya?” akhirnya dia bertanya.
Slania tersenyum, seolah tahu bahwa dia telah memenangkan argumen. “Jumlahnya cukup untuk membuat kau tidak perlu khawatir tentang kafe ini selama beberapa tahun.”
Pernyataan itu membuat Arcene terdiam. Tawaran ini memang menggiurkan, tetapi dia tetap merasa ada sesuatu yang tidak beres.
“Kalau aku setuju, apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus menjadi dirimu?” tanyanya dengan nada datar.
“Kau hanya perlu datang dan berbaur dengan tamu lainnya. Dan tak perlu menjadi diriku kecuali di bagian penerima tamu. Kau harus memberikan undangan itu sebagai diriku,” jawab wanita itu. “Dan gaun ini akan membuatmu terlihat sempurna, dan aku akan memberikan semua informasi yang kau butuhkan tentang pesta itu. Yang penting, jangan terlalu mencolok.”
Arcene menatap Slania dalam-dalam, mencoba membaca niatnya. Namun, pandangan wanita itu tetap tenang dan tak terbaca.
“Baiklah,” akhirnya Arcene menyerah. “Aku akan melakukannya. Tapi jika ada sesuatu yang mencurigakan, aku tidak akan segan-segan pergi dari sana.”
“Setuju.” Slania menjawab dengan anggukan kecil.
Ia meraih kotak gaun itu dan menyerahkannya kepada Arcene. “Aku akan mengirimkan sopir untuk menjemputmu besok malam. Bersiaplah untuk pengalaman yang tidak akan kau lupakan.”