Dan pada akhirnya, tak ada seorang pun yang tau siapa jodohnya. Sebesar apapun cinta kita pada seseorang, tidaklah lebih kuat dari kuasa Tuhan yang telah menggariskan semua jodoh umat-Nya, Sekuat apapun usaha kita untuk bertahan dan memperjuangkan cinta yang kita mau, rasanya tak mungkin jika Tuhan tidak berkehendak demikian.
"Saya terima nikah dan kawinnya Mulandari Arya binti Almarhum Mahardika Arya dengan maskawin perhiasan senilai Rp28.180.000,00 dibayar tunai!"
"Sah!"
Dan mulai saat itulah semuanya berubah.
Mulan tersenyum kecil kala melihat pantulan dirinya di cermin, ia menyibak piyama minion yang ia kenakan hingga sebatas d**a. Dengan segenap perasaan membuncah ia mengusap hangat perutnya yang masih terlihat rata, namun terasa lebih berisi.
"Kamu lagi apa sayang?" Bisik Mulan lirih pada janin yang ada di dalam rahimnya, yang kini berusia dua bulan.
"Sehat-sehat ya sayang... Mama nggak sabar banget pengen ketemu kamu."
Tok tok tok
Mulan kembali merapihkan piyama nya, dan segera membukakan pintu kamar yang ia tempati sejak sebulan lalu tepatnya semenjak menikah dengan Damian, dan tinggal di unit apartemen yang kini mereka tempati.
"Iya kak? Kakak butuh sesuatu? Kakak mau makan malam?" Tanya Mulan bertubi-tubi, dengan binar wajah berharap agar Damian mau melonggarkan sedikit waktunya untuk sekedar mengobrol dengan dirinya.
"Mamah dan Arinda akan datang, sepuluh menit lagi mereka sampai, cepat kunci kamar ini, dan pindah ke kamarku." Titah Damian dingin, tanpa ada minat berbicara lebih, jangankan berbicara lebih, menatap pun tidak. Seolah menunjukan bahwa laki-laki itu memang terlalu jijik padanya.
Wanita muda itu tersenyum kecut, sebulan menikah dengan Damian nyatanya tak membuat laki-laki itu menunjukan sikap baiknya, yang ada justru sikap yang semakin dingin, seolah tak tersentuh. Kadang Mulan bertannya-tanya pada dirinya, Akankah kelak saat anaknya lahir, Damian akan tetap bersikap dingin seperti ini? Akankah pernikahannya dapat bertahan? Entahlah. Hanya tuhan yang tau, Mulan hanya bisa pasrah.
Mulan segera mematikan lampu kamar sempit itu dan segera menguncinya, ia tak ingin Mamah mertua dan adik iparnya curiga bahwa selama ini ia tidur di kamar pembantu, bisa-bisa Damian dimarahi habis-habisan, dan jika Damian dimarahi pasti ia juga yang akan terkena imbasnya, cukup dengan Damian mengabaikannya, ia tak yakin akan sanggup jika harus menerima kekerasan lainnya.
Kini Mulan dan Damian duduk bersanding di ruang tamu, menunggu kedatangan Kinasih dan Arinda. Sudah hampir duapuluh menit namun belum ada tanda-tanda kedatangan ibu dan anak itu, keduanya sibuk dalam kesibukannya masing-masing. Benar-benar nampak seperti dua orang asing yang tinggal dalam satu rumah.
Damian nampak fokus menyaksikan tayangan chanel bisnis di televisi, dengan kacamata minus yang bertengger di hidung bangirnya. Dan itu membuat Damian nampak lebih tampan berkali-kali lipat, kaos oblong putih yang nampak ketat membalut tubuh kokoh berotonya, dipadu dengan celana joger berwarna abu.
Sedangkan Mulan nampak mulai tak tenang, tiba-tiba saja terlintas di benaknya, keinginan agar Damian mau mengusap-usap perutnya. Pasti itu sangat menyenangkan. Ia ingin, sangat ingin meski hanya sebentar.
Dengan ragu Mulan mengumpulkan keberaniannya, "Kak.." panggil Mulan lirih, namun tak ada jawaban. Damian bukan tidak mendengar, ia hanya tak ingin terlalu banyak interaksi dengan Mulan.
Tak gentar, Mulan menyentuh pelan bahu Damian, hingga mpunya menoleh dan malah justru membuat Mulan gelagapan.
"Kakak bisa tolong elus in perut Mulan?" Tanya Mulan ragu, dengan menunduk takut, menanti jawaban.
1 menit
2 menit
3 menit
"Sebentar saja??" bujuk Mulan kembali, dengan harap-harap cemas.
Tak ada respon, Mulan mendongak menatap Damian yang nampak fokus dengan siaran di televisi.
Mulan tersenyum kecut, memang harusnya ia tak berharap lebih dalam pernikahannya, jangankan berharap lebih, menaruh keinginan kecil pun nyatanya tak dapat terkabulkan.
Mata Mulan memanas, ia beranjak dari sofa, "Mulan ke belakang dulu Kak.", Mulan pun melangkahkan kakinya ke kamar mandi, dan mengunci dirinya di dalam.
"Pliss jangan nangis.. Masa gini doank nangis sih?!" Sungut Mulan pada dirinya sendiri yang nyatanya lebih sensitif dan mudah menangis setelah hamil. Menyebalkan!
Mulan segera membasuh wajahnya saat sayup-sayup ia mendengar suara cempreng Arinda, dengan gerakan cepat, wanita itu mengeringkan wajahnya dan menarik nafas sebanyak mungkin, berusaha nampak senormal mungkin agar Arinda dan ibu mertuanya tidak curiga.
"Lu abis nangis lan?" Tanya Arinda setelah memeluk hangat sahabatnya, yang telah berubah status menjadi kakak iparnya.
Damian menatap Mulan datar, namun terselip sebuah ancaman disana.
"Ahh enggak." Elak Mulan, "Mamah mana?", tanya Mukan mengalihkan topik.
"Mamah nggak ikut, tadi tante Sofi dateng soalnya." Jawab Arinda, sambil menuntun Mulan duduk disampingnya, lalu memulai obrolan mereka, mengabaikan Damian di dekat mereka.
Dengan ragu Mulan masuk ke kamar Damian, pandangannya menyapu seluruh penjuru kamar dengan dominan warna hitam itu namun nihil, hingga ia melangkahkan kakinya lebih jauh dan menemukan kebulan asap yang berasal dari balik pintu balkon.
Mulan mendekatkan langkahnya pada Damian, namun belum sempat Mulan mendekat, Damian segera menyingkir, membuat Mulan tersenyum kecut. Ia benar-benar merasa tidak diinginkan.
Hingga sebuah bisikan batinnya seolah mengingatkan Mulan bahwa dirinya tak lebih dari seorang wanita jahat, perebut calon suami orang lain, dan tinggal menunggu kapan karma akan tiba padanya.
Setetes air mata jatuh membasahi pipi Mulan, ia berdoa semoga kelak Damian bisa berubah, meski ia sendiri tak yakin. Dan yah, sekali lagi Mulan pasrah, ini memang karma pahit yang harus ia terima dan jalani.
Dengan saling memunggungi, Damian dan Mulan memasuki alam mimpinya masing-masing.
10 menit
15 menit
20 menit
Mulan kembali membuka kedua kelopak mata belo miliknya. Dengan perasaan campur aduk Mulan mendudukan dirinya, ditatapnya wajah tampan Damian yang kini tidur telentang, untuk memastikan apakah lelaki itu sudah benar-benar tertidur atau belum.
Senyum kelegaan Mulan terukir jelas, saat telah memastikan Damian benar-benar tidur.
Nekat, meski terselip sedikit raasa ragu dan takut Mulan mengambil tangan besar Damian, dengan hati-hati ia meletakan tangan besar nan hangat itu diatas perutnya.
Begitulah Mulan, ia tak akan segan berbuat nekat untuk memenuhi keinginannya. Jangan lupakan, ia adalah wanita ambisius. Apalagi keinginannya kali ini benar-benar datang dari sang calonn buah hati, tak akan sanggup Mulan menolaknya.
Semoga saja Damian benar-benar lelap dalam tidurnya.
Telapak tangan besar Damian terasa pas melingkupi perut Mulan ya ng masih terlihat datar, wanita itu benar-benar terlena hingga tak terasa kantuk mulai menderanya, dan perlahan mataya terpejam.
Hanya beberapa menit hingga…
Wanita itu meringis menahan air matanya kala tangannya di pelintir kuat oleh seseorang yang tak lain adalah suaminya sendiri.
"Jangan pernah kamu menyentuh saya dengan tangan kotormu!", desis Damian kala beberapa menit lalu ia tersadar Mulan nampak tidur dengan nyenyak di dekatnya, dan jangan lupakan tangan Damian yang masih berada di atas perut Mulan.
Mulan meringis kuat, pergelangan tangannya terasa sanga panas dan sakit, "Tolong lepaskan..hikss.. Mulan minta maaf Kak.. Hikss.."
Damian menarik kasar tangan Mulan sambil berdiri, lalu dengan kasarnya ia mendorong Mulan hingga punggungnya terbentur hardboard tempat tidur.
"Cukup sekali ini! Jangan sampai terulang lagi atau ku pastikan tanganmu akan patah!" ancam Damian dengan tegas dan dingin. Lelaki itu pun berlalu meninggalkan kamarnya sambil menyahut kunci mobil dan jaket.
Wanita yang nampak bersimbah air mata itu tak tinggal diam, sekuat tenaga ia menahan rasa sakit di punggung dan tangannya untuk mengejar sang suami yang sedang murka.
"Kak tunggu.." cegah Mulan saat Damian sudah berada di ambang pintu.
Damian berhenti tanpa menoleh, "Kakak jangan pergi.. Diluar hujan, bahaya.. Biar Mulan tidur disofa.. Mulan janji Mulan nggak akan ganggu Kakak." bujuk Mulan, berharap Damian luluh. Namun nyatanya tidak, Damian kembali melanjutkan langkah kakinya dan menutup kencang pintu apartemen mereka.
Mulan terduduk di lantai sambil menangis tanpa suara.
Sejijik itu kah Damian pada dirinya? Mulan seolah tertampar kenyataan pahit bahwa memang benar-benar Damian tidak menginginkan dirinya dan anak mereka.
Bodoh! Mulan memaki dirinya sendiri, harusnya ia tidak selancang itu pada Damian. Tak akan, Mulan tak akan menyentuh Damian lagi, cukup kali ini ia membuat Damian marah seperti tadi.
Keesokan paginya Mulan, Damian dan juga Arinda nampak menikmati sarapan mereka dengann tenang, sesekali Mulan melirik Damian yang sudah rapih dengan setelan kantornya, dalam batinnya bertanya-tanya kapan suaminya itu pulang? Namun Mulan tak berani bertanya. Wanita itu memilih diam dan kembali menikmati setangkup roti gandumnya.
"Ini kenapa Lan?" Tanya Arinda khawatir kala melihat bekas membiru di pergelangan tangan Mulan, sedangkan Damian nampak tak acuh, sungguh ia tak peduli meski Mulan akan mengadu pada Arinda ataupun Mamahnya.
"Kesleo deh kayanya, cuma nggak papa kok." jawab Mulan berbohong, ia tak ingin membuat pagi ini menjadi pagi yang buruk.
"Bohong! Ini bekas jari gitu!" Desak Arinda, sejurus kemudian ia menatap Damian tajam.
"Kakak apain kakak ipar aku?" Tanya Arinda tajam, Damian hanya mendelikan bahunya.
"Ihh kak! Kakak ap-"
Damian menyumpal mulut Arinda dengan sehelai roti tawar "Kakak berangkat." Arinda mengendus kasar, terpaksa mengunyah roti itu. Sedangkan Damian berlalu begitu saja tanpa berpamitan pada Mulan, Seolah Mulan tak ada.
"Lan?" Arinda menatap lembut sahabatnya.
"Heum?" Mulan mendogak.
"Gue harap elu mau dan mampu bertahan sama Kak Damie ya." pinta Arinda penuh harap, sedangkan Mulan nampak mengangguk dengan sedikit ragu.
Hari-hari berlalu, malam ini seperti malam-malam sebulan yang lalu, dimana Mulan sibuk menyiapkan makan malam untuk Damian yang akan pulang dari kantor pukul 7 nanti.
Mulan tidak peduli meski masakannya selalu berujung di tempat sampah,.setidaknya ia berusaha menjadi istri yang baik semaksimal mungkin, setelah seharian lelah di toko roti miliknya, namun kebiasaan memasak untuk Damian tidak akan ia lewatkan.
Setelah 2 minggu yang lalu ia lulus dari SMA dimana ia menimba ilmu selama 3 tahun, Mulan kini fokus pada toko rotinya, ia sendiri belum terpikir akan melanjutkan kuliah atau tidak, bukan karena masalah biaya, hanya saja Mulan memang masih sedikit ragu karena banyak faktor.
"Assalamu'alaikum." Mulan segera berlari menuju ruang tamu saat mendengar suara dingin khas Damian itu menyeruak di telinganya.
"Waalaikumsalam."
"Kak, makan dulu yuk,. Aku udah masak, Aku tadi juga bawa cup cakes dari toko." Cerocos Mulan bertubi-tubi, dengan senyuman manis yang mencetak jelas lesung pipi nya.
Damian melengos, "Aku sudah dinner di kantor." jawabnya tak acuh, sambil berlalu meninggalkan Mulan.
Mulan membuntuti langkah Damian, "Kak, bisa kita bicara sebentar?" pinta Mulan penuh harap.
"5 menit saja.. Hanya 5 menit." bujuk Mulan, Damian membalikan tubuh atletisnya menghadap Mulan.
"Besok Mulan ada jadwal chek ke dokter." Damian mengerutkan alisnya, seolah bertanya lalu?
"Dokter kemarin bilang, Mulan harus dateng sama Kakak." Damian menghela nafasnya kasar.
"Kamu bisa pergi sendiri, urus urasanmu sendiri, aku sibuk. Jangan merepotkanku." ucap Damian datar meninggalkan Mulan dan membuka engsel pintu kamarnya, namun buru-buru Mulan mencegahnya.
Tatapan elang Damian seolah menghunus tepat di tangan mungil Mulan yang sedang menahan lengannya, Mulan yang sadar dengan kesalahannya pun segera melepaskan tangannya dari lengan kekar Damian.
"Mulan mohon kak.. Sekali ini saja.. Mulan janji nggak akan minta kakak nemenin Mulan lagi.. Mulan cuma takut ada sesuatu sama anak kita." ucap Mulan memohon sambil menundukan kepalanya, mencoba menyamarkan tanggul air matanya yang mulai merembes. Ia ingat betul dokter Irene mengatakan ada hal penting yang harus ia bicarakan dengan Damian menyangkut bayi mereka.
"Anak kamu!" ralat Damian dengan penuh penegasan, lelaki itu pun masuk ke dalam kamarnya lalu membanting pintu dengan kuat-kuat hingga menimbulkan suara menggelegar.
Mulan menangis lirih di depan kamar Damian, "Anak kita.. Dia anak kita.. Anakku dan anak kakak.." Isak Mulan tertahan.
Bisakah Damian membenci dirinya, tanpa ikut membenci anak mereka?
Keesokan harinya, Mulan tak menyiapkan sarapan. Wanita itu pergi pagi-pagi sekali ke rumah sakit sebelum Damian bangun.
Mulan menatap kosong lawan bicaranya, yang tak lain adalah dokter yang selama 2 bulan ini memeriksa kandungannya.
"Apa nggak ada cara lain dok?" Tanya Mulan dengan suara seraknya menahan laju air matanya.
Dokter Irene diam tak menjawab, hal itu semakin membuat hati Mulan terasa seperti diremas tangan tak kasat mata. Ia yang melakukan banyak dosa tapi mengapa anaknya yang harus menanggung semua ini?
Haruskah ia kehilangan satu-satunya harta berharga yang ia punya? Harta berharga yang bahkan belum ia lihat bagaimana bentuknya, bagaimana rupanya kelak?
Rasanya Mulan ingin mati saja kala Dokter Irene mengatakan bahwa Mulan mengalami pengentalan darah, dan usia kandungannya masih sangatlah dini, begitu juga dengan usia Mulan yang masih muda. Hal itu membuat Mulan harus merelakan sang buah hati untuk keselamatan nyawanya.
"Ada satu cara Bu, suntikan pengencer darah. Tapi tentunnya Ibu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, karena suntikan ini harus ibu lakukan rutin selama masa kehamilan."
Mulan menjambak rambutnya frustasi, "maka dari itu bu, saya meminta suami ibu juga datang. diskusikan dulu bersama suami ibu. Semoga keputusan yang ibu ambil nanti tepat."
Sepulang dari rumah sakit, Mulan nampak duduk termenung di ruang keluarga dengan tatapan kosong namun penuh dengan linangan air mata.
Bagaimana bisa, kandungan Mulan yang selama ini terasa baik-baik saja nyatanya justru diambang bahaya?
Bahkan Mulan tak menyadarinya sedikitpun, hanya beberapa kali terasa kram, dan ia pikir itu wajar, walau kenyataannya tidak.
"Dek, bertahan ya sayang, Mamah akan berusaha semaksimal mungkin supaya kamu bisa lahir dengan sehat dan selamat.. Kuatkan mamah ya dek, adek harus bertahan." Ucap Mulan diiringi degan tangis menyayat, Mulan sangat amat mencintai janin yang kini berkembang di rahimnya, meski baru terhitung 2 bulan, namun rasa cinta seorang ibu pada anaknya nampak melekat sempurna pada diri Mulan.
Dititik ini Mulan benar-benar menginginkan adanya sosok lelaki berstatus suami yang dengan setia menemani dan menguatkannya, ia ingin seseorang memeluknya dan mengucapkan semuanya akan baik-baik saja. Namun nyatanya kosong! Damian seolah tenggelam dalam dendam pada dirinya, lelaki itu bertingkah seperti hanya dirinya lah pihak yang terluka dan dirugikan tanpa mau tau perasaan Mulan dan apa yang terjadi pada Mulan.
Damian seolah menutup mata dan hatinya untuk Mulan.