Dengan memantapkan hatinya, Mulan menandatangani surat penjualan unit apartemennya ditemani dengan Bu Nina, wanita seumuran Damian itu benar-benar tak habis pikir dengan perilaku suami Mulan. Lelaki macam apa yang membiarkan istri dan calon anaknya hidup dalam penderitaam ini, meskipun Nina tau bahwa akar masalah ini adalah Mulan sendiri, namun tak seharusnya Damian bertingkah seperti ini.
“Kalau kamu butuh sesuatu bilang ya sama ibu.” Ujar Nina merangkul Mulan.
“Iya bu, makasih ya. Mulan nggak tau lagi harus dengan apa Mulan balas semua kebaikan ibu”
Tak ada pilihan lain, ia butuh uang untuk menjalani serangkaian tes dan pengobatan agar nyawa anaknya selamat, ia tak mungkin mengandalkan Damian yang sampai detik ini tidak pernah memberikan sepeser pun uangnya untuk Mulan.
Tak menunnggu lebih lama lagi, hari itu setelah Mulan menerima uang hasil penjualan apartemennya, wanita itu langsung menuju ke rumah sakit.
"Suami ibu tidak ikut lagi?" Tanya dokter Irene, sambil menuliskan resep untuk Mulan.
"Suami saya sibuk dok." jawab Mulan kikuk, dokter Irene tersenyum kecil, "Nanti biar saya ajari cara menyuntikkan obatnya ya bu, nanti dirumah bisa minta tolong suaminya untuk bantu menyuntik ya." Mulan hanya mengangguk, batinnya tertawa sumbang, mana mungkin Damian sudi menyentuh dan membantunya(?)
Setelah menyelesaikan semua urusannya dengan dokter Irene, Mulan melangkahkan kakinya menuju kantin rumah sakit, untuk mengisi perutnya.
Disisi lain, seorang pria tampan, dengan garis wajah tegas dan berwibawa itu nampak mengacak rambutnya frustasi.
Fikirannya terus saja tertuju pada satu orang, yang tak lain adalah istrinya. Ya, berulang kali Damian berusaha mengenyahkan Mulan dari fikirannya, justru seakan bayangan Mulan terus saja menempel di otaknya.
Bohong rasanya jika Damian sama sekali tidak memiliki rasa simpati pada Mulan, apalagi wanita yang telah resmi menjadi istrinya itu kini sedang mengandung darah daginnya.
Meski sering kali Damian menyangkal dan berusaha menutup mata dan telinganya tentang bayi yang dikandung Mulan, namun nalurinya sebagai seorang calon ayah seolah meraung memintanya menepis semua ego dan dendamnya demi calon buah hatinya.
api disis lain, egonya ingin membalaskan dendamnya pada Mulan, karena telah membuat nya kehilangan wanita yang amat ia cintai, membuat impian hidup bahagia bersama Aisyah hanya menjadi kenangan belaka. Ia benar-benar membenci hidupnya sekarang.
Damia melangkahkan kakinya memasuki unit apartemennya dengan langkah santai. Hari ini pekerjaannya tak terlalu berat, namun justru pikirannya teforsir untuk memkirkan Mulan dan bayi dalam kandungan wanita itu.
Sepi
Damian mengerutkan dahinya kala tidak mendapati Mulan yang biasanya sibuk berkutat di dapur dengan aroma sedap masakan yang menguar hingga keseluruh penjuru ruangan.
'Dimana dia?' Batin Damian.
Iseng Damian melangkah menuju kamar sempit, yang seharusnya menjadi kamar pembantu, namun ia menyuruh Mulan tidur disana.
"Auh...." Damian terperanjat kala mendengar suara rintihan Mulan, dengan penuh tanda tanya di kepalanya, Damian mengintip dari celah pintu kamar yang memang tidak ditutup sempurna.
Pandangan Damian menajam kala mendapati beberapa kardus kasa, kapas, beberapa box yang entah isinya apa, dan suntikan yang kini ada di tangan Mulan! 'Tunggu! Apa yang akan wanita itu lakukan pada anakku?!!' batin Damian menjerit, reflek ia mendorong kasar pintu kamar Mulan hingga terbuka lebar.
Mulan terpekik, kala Damian tiba-tiba saja merebut suntikan itu dari tangannya.
Belum lagi saat Damian melempar dan menginjak-injak perlengkapan menyuntiknya.
"JALANG!! BODOH!!"
"SIALAN!!"
"APA YANG KAMU LAKUKAN PADA ANAKKU BODOH?!!!"
"ENYAHLAH KAU KE NERAKA JALANG!!"
Maki Damian sambil terus menginjak-injak botol injeksi dan semua perlengkapan lainnya, sementara Mulan terisak sambil berusaha menarik lengan Damian.
"Jangan kak.. Tolong hentikan.. Hiksss.. Hikss.."
"Cukup Kak!.." Pinta Mulan bersujud mencoba menjauhkan kaki Damian, walau hasilnya nihil.
"Dengarkan aku!" ucap Damian tajam sambil menjambak rambut Mulan dan menariknya agar berdiri.
"Jangan pernah menyentuh barang-barang sialan itu lagi! Atau kamu akan tau akibatnya!" Ucap Damian tajam sambil mencengkram pipi tirus Mulan, dan mengehempaskan tubuh mungil Mulan ke lantai, lalu pergi begitu saja.
Mulan menangis terisak sambil berusaha bangkit menahan rasa sakit di pinggul dank ram diperutnya untuk memunguti perlengkapan suntik antikoagulan' yang sudah tak berbentuk, semuanya rusak, bahkan stok injeksi yang belum sempat ia simpan di kulkas pun pecah semua.
"Tega kamu kak...hikss..." Tangis Mulan terisak, harus dengan apa ia membeli kembali semua barang-barang ini?
Keesokan harinya, Damian lagi-lagi tak mendapati Mulan di dapur, namun ia tak peduli, Damian segera melanjutkan langkahnya untuk pergi bekerja.
Setelah kepergian Damian, Mulan bangkit dari tidurnya. Wanita itu meraih jaketnya dan berjalan mencengkram pinggiran pintu kamarnya dengan erat, perutnya terasa sangat sakit, hingga peluh dan air mata menetes begitu saja.
Dalam hatinya Mulan berdoa agar anaknya baik-baik saja, Mulan menangis tergugu karena rasa sakit yang semakin menjadi-jadi dan perasaan takut serta bingung, kepada siapa ia harus meminta bantuan?
Arinda? Sahabatnya itu kini sedang pergi ke Surabaya untuk mengurus beasiswanya disana, sedangkan ia tak mungkin meminta bantuan mamah mertuanya, ia tak ingin menambah masalah baru, dengan membuat penyakit jantung mamah mertuanya kambuh.
Bu Nina? Cukup, rasanya Mulan tak ada muka lagi untuk kembali merepotkan Bu Nina.
"Bertahan ya Dek, tolong jangan tinggalin mamah.. Bantu mamah oke?? Kita ke dokter sekarang." Lirih Mulan dengan wajah yang sudah memutih, karena menahan sakit.
Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba saja Mulan terhuyung ke belakangan, semuanya terasa gelap dan menyakitkan.
'Inikah akhir dari semuanya Ya Allah?' Batin Mulan bertanya hingga kesadarannya hilang sepenuhnya.