Bab 2. Malang Kara

888 Words
Michael menggeram kesal, karena dia yang tidak puas dengan layanan dua wanita yang sudah diatur sekretarisnya. Dia memang puas, tapi merasa ada yang kurang malam itu. Dia langsung menyuruh dua wanita itu pulang dari hotel sambil mengumpat. Michael akhirnya memilih pulang ke rumah dan tidak jadi menginap di hotel seperti yang dia rencanakan sebelumnya. Masih memegang botol minuman, Michael masuk ke ruang tamu dan jalannya masih sempoyongan. Entah kenapa dia tergerak ingin ke dapur karena melihat lampu temaram yang menyala. Dia mendengar suara perempuan yang sedang berbicara, melihatnya di depan meja makan sambil memegang ponsel di telinga. “Tapi ada kumisnya, aku geli liat cowok yang ada kumisnya. Geli banget ngeliatnya. Hiii—” Michael tersenyum sinis, tersinggung dengan kata-kata gadis muda itu, yang seolah membicarakan dirinya, dia yang berkumis dengan jambang tipis di wajahnya. Dia berjalan pelan mendekati kursi yang diduduki gadis itu dan berujar, “Nggak suka cowok berkumis?” Gadis itu terkejut, berdiri dari duduknya, melangkah cepat ke luar dapur. Michael terpesona melihat gadis itu, meskipun temaram dan agak gelap, matanya awas saat melihat betis ramping mulus milik gadis itu sampai hilang dari pandangannya. Entah kenapa dia bergejolak, napasnya naik turun dan birahinya yang terpancing. Michael dengan cepat menahan pintu kamar yang hendak ditutup gadis itu. “Siapa kamu?” tanya Michael. Melihat wajah ketakutan gadis itu dari balik pintu kamar, membuatnya semakin panas. “Sa … saya Kara, Pak. Saya baby sitter Michelle,” jawab Kara gugup dan takut. Michael mendorong paksa pintu kamar Kara, dan Kara yang tidak berdaya. “Kamu nggak suka kumis saya?” “Maaf, Pak. Maksud saya—” Kara terpojok, tidak tahu harus berkata dan dia mundur dan terdesak karena Michael yang melangkah maju. Kara menyender di dinding kamar dan Michael yang sudah berdiri dekat di depannya, menatapnya tajam. Michael meraih kedua tangan Kara dan Kara yang langsung berontak. “Jangan, Pak!” “Diam kamu.” Kara ketakutan dan langsung berkeringat, aroma minuman alcohol sangat tajam di hidungnya dan mata Michael yang merah dan wajah yang beringas. “To … looong.” Michael langsung membekap mulut mungil Kara. “Diam!” Kara menangis ketakutan. “Diam kamu.” Kara berteriak lagi, tapi Michael malah menguatkan cekalan tangannya sambil memburu bibir Kara dengan paksa dengan bibirnya. “Jangan, Paaak.” Kara menggeleng ke sana ke mari, dan dia terus berteriak. Kara terus menggeleng menolak, menendang dan sekuat tenaga berontak, ingin lepas dari cekalan Michael, dia sangat ketakutan. Cukup lama Kara berontak dan berteriak, sampai pada akhirnya dia tidak bertenaga. Michael tertawa menyeringai melihat Kara yang tidak berdaya, mendorong tubuh lunglai Kara ke atas tempat tidur, dan langsung melepas bawahan Kara dengan kasar. Kara memang lemas, tapi masih berusaha menolak, sampai pada akhirnya dia merasakan selangkangannya dihentak dari atas dan rasanya sakit sekali, dan dia yang benar-benar tidak berdaya. “Oooh,” lenguh Michael dari atas tubuh Kara, tertawa puas. “Oh, enak juga tubuh kamu … siapa namamu?” Kara tidak menjawab, menangis tersedu-sedu. “Hei, jawab!” paksa Michael. “Siapa namamu?” tanyanya, kali ini nadanya lebih lunak. “Kara….” *** Michael sudah rapi di awal pagi dan dia sudah berada di dapur hendak sarapan. “Heni,” panggil Michael ke Heni yang sedang menyiapkan sarapan pagi itu. Heni mendekati Michael dan bertanya. “Kara yang gantikan Ira?” tanya Michael. “Iya, Pak. Dia baru sebulan bekerja.” “Oh.” Michael mengangguk mengerti, akhirnya dia tahu siapa gadis yang dia setubuhi semalam dan membuat tidurnya sangat nyenyak. “Kamu yang urus Michelle hari ini.” Heni menelan ludahnya, dan raut wajahnya yang berubah. “Baik, Pak.” Michael menoleh ke pintu kamar Kara, masih mengingat hawa panas di dalam kamar itu dan dia yang akhirnya merasakan kepuasan sempurna, berulang-ulang pula. *** Kara bangun pagi itu dan dia heran karena merasakan sakit di s**********n. “Oh,” rintih Kara dan dia menangis lagi, baru menyadari apa yang terjadi padanya, dia yang semalam “diserang” Michael dengan brutal. Kara beranjak pelan dari rebahnya, mencoba berdiri tegak, lalu berjalan mencari benda pipih. Tapi dia tidak menemukannya. Tiba-tiba pintu kamarnya dibuka, dan dia melihat Heni yang sedang membawa makanan dan minuman untuknya. Heni meletakkan makanan dan minuman di atas meja, dia menunduk tidak ingin melihat Kara. Setelahnya, dia mundur dan melangkah menuju pintu kamar. “Ibu, tunggu!” cegah Kara. “Makan, Kara.” “Ibu, jam berapa sekarang?” “Sepuluh. Kamu … makanlah, pasti lapar.” Kara langsung memahami sikap Heni yang terus tertunduk dan seolah tidak mau melihatnya, yakin wanita itu sudah dibungkam dan tidak ingin terlibat. Kara sedikit tahu tentang Michael dari Heni, bahwa Michael memiliki perangai buruk dan semena-mena. Kara terdiam membisu saat mendengar pintu kamar yang dikunci dari luar. Lapar dan haus, Kara menghabiskan makanan dan minuman. Kara mengamati pakaian di tubuhnya yang acak-acakan, merasakan perih di s**********n. Ingatannya kembali ke beberapa tahun silam, saat dia duduk di bangku sekolah dasar, kejadian yang hampir mirip menimpanya, tapi dia yang tidak sampai ternoda. Kara menangis tersedu-sedu, menyesal telah menerima pekerjaan dengan gaji yang menggiurkan, dan dia yang belum menerima sepeserpun. Dia ingin lari, tapi dia tidak punya uang saat ini. Bertahan? Dia yang pasti akan terus menjadi sasaran. Kara pasrah dan rebah, tatapannya nanar ke pintu yang terkunci, dan dia yang tidak bisa ke mana-mana, juga tidak bisa menghubungi siapapun. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD