James masih memperhatikan Gabriel, “Lucu sekali, Ma. Hm ... ada keturunan bule?” tanyanya, mencoba menebak.
Huda tertawa menggeleng. “Nggak tahu juga, mungkin saja,” jawabnya. Dia tidak pernah bertanya-tanya tentang jati diri Kara, karena Dito mengatakan bahwa Kara yang tidak suka ditanya seputar kehidupan pribadinya.
Dahi James kontan mengernyit ketika mendengar jawaban mamanya, sedikit merasa heran, tapi dia tidak begitu mempedulikannya.
“Bagaimana papa, Ma?” tanya James lagi, dan dia langsung menggendong Gabriel. Anehnya, Gabriel mau saja digendong James.
“Ah, perawat yang satu ini memang ahli. Papamu mau menuruti semua perintahnya.”
“Oh ya. Masih muda?”
“Haha, James. Ya, masih muda.”
“Ah, papa.”
“Jangan selalu berprasangka buruk dulu ke papamu, James. Dia memang nakal dan banyak simpanan perempuan muda waktu dulu. Tapi mama Gabriel bukan perempuan yang kamu pikirkan.” Huda sedari awal sudah memperhatikan Kara dan dia menilai bahwa Kara bukan perempuan seperti pada umumnya, dia adalah pekerja keras dan pejuang.
James mendengus tersenyum, tidak percaya kata-kata mamanya, yakin papanya yang masih nakal seperti dulu, meskipun sakit sekalipun.
“Acih, Om,” ucap Gabriel tiba-tiba.
“Acih?” delik James heran.
“Dia bilang terima kasih, James,” ujar Huda menjelaskan.
“Oh, haha.”
“Oiya, Gabriel, ini om James,” jelas Huda ke Gabriel yang masih digendong James. Dia lupa memperkenalkan James ke Gabriel.
“Om Jems,” beo Gabriel, “Ukain, Om.” Gabriel meminta James membuka bungkusan cokelat darinya.
James membuka bungkus cokelat kecil dengan satu tangan dan giginya.
“Acih, Om.”
James mengacak rambut keriwil Gabriel gemas. "Aku hampir mengira Gabriel ini adalah anak dari salah satu gundik papa," bisiknya.
Mata Huda melotot, mencubit pinggang James geram. Kemudian, dia mengajak James masuk ke kamarnya.
“James!” seru Caleb yang sedang makan disuapi Kara.
Kara ikut menoleh ke arah pintu, sedikit terkejut melihat sosok laki-laki muda tampan menggendong Gabriel.
Pun James, tertegun melihat Kara yang duduk di samping tempat tidur papanya, memegang mangkuk berisi makanan lembut.
“Aku mengganggu?” tanya James, seraya menurunkan tubuh semok Gabriel dan anak kecil itu langsung duduk di atas tempat tidur Caleb,
“Tidak, tidak sama sekali.” Caleb tersenyum lebar melihat kedatangan anak keduanya dari negeri Paman Sam. Dia beralih ke Kara, “My Lovely, aku sudah kenyang,” ujarnya.
James mengernyitkan dahinya saat mendengar papanya memanggil Kara, lalu menggeleng tersenyum, papanya ternyata tidak berubah, selalu genit dengan perempuan-perempuan muda seperti Kara. Dia juga heran saat menoleh ke mamanya yang tampak santai tidak begitu peduli akan sikap papanya. Padahal, mamanya bercerita bahwa papanya yang sudah kapok dan tidak lagi genit.
Kara bangkit dari duduknya, dan membereskan alat-alat makan Caleb, sempat menegur Gabriel untuk tidak mengganggu, tapi Caleb membiarkan anak itu di dekatnya.
“Apa kabarmu,” tanya Caleb ke James.
“Aku baik, Pa.”
“Kuliahmu?”
“Lancar, sedang penelitian akhir.”
“Good. Kamu harapan Papa, setelah menyelesaikan kuliah, apa rencanamu, lanjut ke jenjang yang lebih tinggi?”
James menghela napas panjang, “Aku belum memikirkannya serius, Pa.”
“Ok, tak masalah.”
James tiba-tiba terhenyak, seolah menyadari sesuatu. Dia tertegun melihat papanya yang lancar berbicara dan tangannya yang lebih bertenaga.
“Ada apa, James?” tanya Caleb, bingung dengan perubahan sikap James.
James melirik Kara yang sedang berbincang dengan Huda, terdengar mereka membicarakan tentang jadwal terapi Caleb. “Papa tampak lebih bugar," ujarnya pelan.
“Oh, haha. Tentu saja, karena kesabaran mamamu,” tanggap Caleb. “Dan Lovely yang sabar merawat aku, juga si Gabriel.” Caleb menggelitik perut gendut Gabriel dan Gabriel tertawa lepas.
“Opa, om Jems asih cokat," ujar Gabriel.
“Om James kasih kamu cokelat?”
Gabriel mengangguk kuat. “Atu. Opa da unya.”
“Ah, Opa tidak punya coklat, dan Opa nggak boleh makan coklat.”
Gabriel mengangguk tersenyum.
Perasaan James menghangat melihat keadaan yang menyenangkan, papanya yang membaik dan penuh senyum, dan ada anak yang lucu menggemaskan. Dia tahu papa dan mamanya yang menginginkan kehadiran cucu di rumah ini. Memang sudah ada Michelle, anak Michael, tapi dia tidak mengerti kenapa papa dan mamanya yang kurang menyukai Michelle.
“Lovely,” panggil Caleb tiba-tiba.
Huda tampak memberi isyarat agar Kara mendekati suaminya.
“Ya, Caleb?”
Caleb tersenyum ke arah Kara, berujar, “Kenalkan, ini James, anakku. James, ini Lovely.”
James menoleh ke Kara, lalu keduanya saling tatap dan James tampak terpukau. Dia menyodorkan tangan kanannya ke Kara, “James.”
“Lovely.” Kara menjabat tangan James.
James tiba-tiba tertawa lepas.
“Ada apa, James?” tanya Caleb, juga Huda yang heran.
“Maafkan aku, Pa. Aku tadinya mengira papa menggoda Lovely, ternyata namanya memang Lovely,” jawab James dan dia memperhatikan Kara.
“Ah,” decak Caleb, dan Huda yang menjewer telinga James.
Kara mengulum senyumnya. Nama panggilannya berubah sejak bekerja di rumah mendiang Utsman, dan dia menyukai nama panggilan itu, seolah menjadi nama keberuntungan.
James menoleh lagi kea rah Kara, mengagumi fisik Kara yang tegap dan sedikit berotot dan dengan cepat menebak bahwa Kara adalah sosok yang tenang dan sigap.
“Dia pengasuh kesayangan Papa dan terbaik, James,” puji Caleb.
James mengangguk-anggukkan kepalanya, dan matanya yang tak lepas dari wajah Kara. Kara sendiri tidak begitu peduli dengan pujian Caleb tentang dirinya. Dia hanya bekerja dengan sebaik mungkin, dan imbalan yang sangat pantas untuknya.
Caleb memberi kode ke Kara agar menaikkan posisi duduknya, dan Kara dengan cekatan membantunya dengan memeluknya. James tertegun, Kara dengan hati-hati melakukan pekerjaannya.
“Ini waktu keluargamu, Caleb. Aku makan istirahat makan siang dulu ya?” ujar Kara pelan, menepuk lembut pipi tirus Caleb.
“Oh, oke, Lovely.” Caleb seperti keberatan melepas kepergian Kara, tapi dia harus membiarkan Kara pergi darinya, karena Kara yang harus makan siang.
“Ayo, Gabriel, kita makan siang dulu,” ajak Kara, dan Gabriel yang langsung menurut. Anak itu tidak lupa memeluk dan mencium pipi Caleb.
“Lovely,” panggil Caleb tiba-tiba saat Kara dan Gabriel sudah saling bergandengan tangan menuju pintu kamar.
Kara berbalik badan, “Ya?”
“Jangan lupa bayar hutangmu.”
Kara mendelik.
Caleb mengedipkan matanya, dan Kara yang langsung mengerti. Dia tertawa kecil, menggeleng dan mengajak Gabriel ke luar kamar.
Bersambung