Huda menghela napas lega setelah mendengar penjelasan dokter tentang keadaan suaminya yang membaik, menoleh ke Kara dan tersenyum lebar, serta merangkulnya, berdesah pelan, “Terima kasih, Lovely. You’re so lovely.”
Kara tersenyum mengangguk, dia juga tidak mengerti kenapa dia menyukai pekerjaannya, merawat lansia dengan penuh kasih sayang, tidak peduli amarah dan kekesalan mereka. Dia mengamati Caleb yang tengah dipapah duduk, tersenyum dalam hati dan mendoakan kesehatannya.
Tiba-tiba seorang asisten perempuan datang dan mendekati Huda, “Bu Huda, ada telepon dari pak James.”
Huda merenggangkan pelukannya, dengan cepat mengambil ponsel dari tangan asistennya, “Saya harus terima ini,” ujarnya ke Kara, dan Kara mengangguk kecil.
Huda pergi ke luar dari kamar, dan berjalan cepat menuju sudut sebuah ruang nyaman, duduk di sofa kecil. “Halo, James.”
“Ma.”
“Hei, di mana kamu, kapan kamu ke mari?”
Terdengar helaan napas panjang di ujung sana dan terkesan kesal, tentu saja Huda cemas. “Ada apa, James?”
“Nggak ada apa-apa, Ma. Aku akan pulang ke rumah malam ini.”
“Kamu menginap di mana sih, James?” tanya Huda, seharusnya putra keduanya itu sudah berada di rumahnya dua hari lalu, pulang dari Amerika Serikat. James kuliah di kampus ternama di sana.
“Aku di hotel beberapa malam ini.”
“Ck, James. Masalah apa?”
“Bagaimana kabar papa, Ma?”
“James. Ck.” Huda menyerah, dia tidak mau bertanya lagi. “Dia membaik dalam minggu ini dan ... sudah mau mandi.”
“Ah, syukurlah. Aku pulang malam ini, beritahu papa.”
“Ya.”
Meskipun penasaran dengan masalah James, Huda tetap lega setelah menerima panggilan James, setidaknya anaknya itu sudah memberinya kabar.
Baru saja Huda beranjak dari duduknya, Gabriel mengintipnya dari balik sekat ruang.
“Gabriel!” seru Huda, mendadak suasana hatinya gembira melihat anak laki-laki itu. Dia mendekati Gabriel dan hendak menggendongnya. Tapi Gabriel menolak, berujar bahwa dia ingin berjalan seperti orang dewasa. Huda tertawa geli melihat cara jalan Gabriel, mengingatkannya masa-masa kecil kedua putranya, terutama masa kecil Michael.
***
James menatap ponselnya dengan tatapan kosong, mengingat kembali pertengkarannya dengan sang kekasih saat masih berada di Amerika, dan pertengkaran itu berakhir putus. Putusnya hubungan asmara ini membuat James ingin pulang, berniat menenangkan diri. Lagi pula dia juga merindukan suasana kota Jakarta yang ramai dan padat.
James menyesap kopi panasnya sambil memandang keadaan luar cafe yang diguyur hujan, mengenang masa-masa indah dengan Devina, seorang gadis yang sudah dia pacari sejak awal kuliah, sama-sama dari kota Jakarta dan mereka yang saling jatuh cinta. Selesai kuliah, Devina diterima bekerja di perusahaan keuangan di sana, sedangkan James memilih lanjut kuliah ke jenjang S2 di kampus yang sama. Hubungan yang indah semasa kuliah, tapi berubah suram saat keduanya sama-sama sibuk dengan dunia yang berbeda, Devina dengan dunia kerjanya, dan James dengan dunia akademiknya.
Sampai suatu hari, James dan Devina berkencan dan mereka menginap di sebuah hotel. Setelah puas bercinta, pagi harinya James terbangun dan dia tidak mendapatkan Devina di sampingnya. Dia mendengar suara Devina sedang menerima telepon di balik sekat ruang.
“Dia masih tidur. Tenang saja, dia nggak bakalan tahu tentang hubungan kita berdua. Dia, ‘kan bucin orangnya. Oh, haha, ya ya. Aku belum sampai memikirkan pernikahan. Apa? Ya aku tahu dia orang kaya dan ... kamu tahu, ‘kan? Oh, haha. Aku bosan sama dia terus, Yud. Mending sama kamu, dan aku bisa bebas bicara apa saja. Haha ... Michael? Ya ya, aku pernah beberapa kali bertemu dengannya kalo aku diajak James ke rumahnya di Jakarta. Hm ... sebenarnya aku lebih suka Michael, dia ... lebih macho dan ya ... kamu taulah tentang dia. Iya aku juga tahu soal itu—“
James tanpa ragu memergoki Devina dan terjadilah pertengkaran hebat di antara mereka. Kesal karena Devina yang tidak merasa bersalah, James akhirnya memutuskannya, dan dia pun langsung memesan tiket pulang ke Jakarta.
Kopi panas pahit sudah James habiskan, dan dia bangkit dari duduk, tapi tiba-tiba saja ponsenya berdering, dan Devina yang menghubunginya.
“Halo,” sapa James malas-malasan.
Terdengar suara isak tangis di ujung sana. “James, maafkan aku. Aku ... aku akan menyusulmu ke Jakarta.”
“Nggak perlu, Devina. Aku sudah memaafkan kamu.”
“Aku menyesal, James. Maafkan aku.”
“Kamu sudah aku maafkan, nggak perlu menyusul,” ulang James, dan dia yang benar-benar tidak ingin bertemu Devina, mengingat kata-kata Devina yang menyakitkan perasaannya.
“Tapi aku sangat merindukanmu.”
“Kita sudah putus, Devina.”
“James....” Devina merengek di ujung sana.
“Aku nggak mau bertemu kamu.”
“Tapi—“
James mengakhiri panggilannya, dan ponselnya berbunyi berulang-ulang, tapi dia sudah tidak peduli.
***
Melihat pekarangan rumah orangtunya, membuat James lupa akan masalah beratnya. Rumah itu penuh kenangan, dan dia menghabiskan masa kecilnya di sana. Mengenang kembali papanya yang selalu menyempatkan waktu bermain di lapangan di tengah kesibukannya yang sangat padat. James tahu papanya lebih menyayanginya ketimbang kakaknya.
James sudah berada di dalam rumah, meletakkan sepatu di rak sepatu dan menukarnya dengan sendal.
“James!”
James bergegas mendekati mamanya yang muncul dari bagian dalam rumah.
James dan Huda berpelukan erat, dan dia tanpa sadar meneteskan air mata kerinduan.
Huda juga menangis haru, bahagia anak kesayangannya sudah tiba di rumahnya.
James membuka matanya, dan dia heran melihat anak laki-laki bermata indah memperhatikannya dengan serius.
James merenggangkan pelukannya, bertanya. “Ini anak siapa, Ma?”
“Oh, haha. Ini Gabriel, James. Cucu Mama.”
“Ha?” pikiran James mendadak melayang-layang.
“Mama bercanda. Ini anak yang merawat papamu. Namanya Gabriel. Ayo, Gabriel. Kenalan sama om James.”
Gabriel malu-malu, malah mendekap kaki kanan Huda, tapi matanya tertuju ke tubuh tinggi James.
Entah kenapa James langsung suka dengan penampakan Gabriel, rambut keriwil kecoklatan, dan matanya yang kebiru-biruan. Dia menunduk, merogoh saku jaketnya, dan menyerahkan kepalan tangannya ke hadapan Gabriel. “Buka tangan Om,” ujarnya ramah.
Gabriel masih mendekap kuat, tapi kepalanya mendongak ke atas, meminta persetujuan Huda.
“Buka, Gabriel,” ujar Huda, gemas melihat tingkah Gabriel.
Gabriel melepas pelukan kaki Huda, dan mendekati James, membuka tangan James yang terkepal.
“Ta da!” James berseru, sengaja ingin mengagetkan Gabriel.
Mata biru Gabriel berbinar melihat satu bungkus keemasan di tangannya dan dia sangat gembira. “Cokat! Cokat, Oma Uda! Cokat. Yay!!” teriaknya.
James dan Huda tertawa-tawa melihat Gabriel yang senang mendapat satu bungkus kecil cokelat dari James.
Bersambung