Bab 12. Peduli Caleb

1154 Words
Kara tersenyum simpul, sedikit menggerutu dalam hatinya, karena sebelumnya sikap Caleb yang sangat angkuh, tidak mau mengenalinya. “Ya, itu namaku, Caleb,” jawabnya, sambil lalu memastikan Caleb benar-benar nyaman. “Makan siang sekarang,” suruhnya kemudian. “Aku ... belum lapar.” “Coba dulu makan sedikit, kamu pasti akan merasa lapar. Makan sedikit untuk memancing selera,” bujuk Kara sambil mengedipkan matanya genit. Caleb mengamati sikap lucu Kara, dan dia mulai berselera. Kara duduk dengan tegap, mulai menyuapi Caleb, makan siang Caleb siang itu berupa bubur jagung dan perkedel kentang tak terbumbu. Tapi entah kenapa, Caleb cukup berselera pagi itu dan sudah tiga sendok makan yang masuk ke dalam tubuh kurusnya. “Jadi nama kamu Lovely?” “Ya.” “Lovely—“ “Lovely Karamelia Fauziya.” Dan Kara menyuapi Caleb lagi. “Hm, nama yang lezat.” “Haha.” Caleb hampir tersedak, “Maksudku nama yang cantik, hm ... sesuai dengan namamu.” Kara mencebikkan bibirnya. “Katamu aku buruk rupa,” ujarnya, pura-pura manja. “Tidak tidak, kamu cantik, Lovely. Aku nggak pernah bilang kamu buruk rupa.” Kara tertawa-tawa, memaklumi sikap lansia yang pelupa. Jelas-jelas Caleb tadi memarahinya, mengumpatnya dengan kata-kata kasar, menyebutnya si buruk rupa, pelac*r pula. “Hei, aku nggak bilang begitu, Lovely.” “Tadi pas aku paksa kamu mandi dan kamu berontak di dalam kamar mandi, kamu bilang aku wanita nggak baik-baik.” “Hei, hei. Maafkan aku, Lovely.” Kara menyuapinya, tapi Caleb yang cemberut. “Maafkan aku, mungkin aku lupa. Aku memang kasar dulu, tapi aku nggak kasar lagi, Lovely." Dasar aki-aki, umpat Kara, tapi dia senang akan sikap Caleb yang melunak. “Lovely,” desah Caleb setelah menelan satu suapan. “Ya, Caleb.” “Siapa suamimu?” “Aku nggak punya suami.” “Ah, bagaimana bisa? Kamu punya anak, ‘kan?” “Apa pedulimu?” “Aku peduli kamu sekarang.” “Kalo kamu peduli aku, habiskan dulu makananmu.” Caleb menurut, dia tidak mengerti kenapa dia yang begitu bersemangat makan hari ini, dan dia dengan tenang menelan setiap suapan dari tangan Kara. Kara tersenyum manis, merawat lansia yang penurut adalah segala-galanya dan pekerjaannya jadi lebih mudah. Benar kata Dito, merawat Caleb jauh lebih mudah daripada merawat Utsman si Jenderal, karena Caleb yang lemah tak berdaya, mulutnya saja yang kerap mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan. Tapi, menurut Kara hati Caleb tidak sejahat mulutnya yang sadis. “Kamu nggak menikah, tapi punya anak?” Caleb menyinggung pertanyaannya lagi, dan makan siangnya sudah dia habiskan karena dia ingin segera Kara menanggapinya. Kara menggeleng lemah, seolah enggan menjawab. "Tapi aku bukan pelac*r," lirihnya, mengingat banyak wajah sinis tertuju kepadanya saat berjalan berdua dengan Gabriel. Dan Kara yang tidak peduli. “Oh, Lovely. Aku tidak bermaksud begitu, aku hanya emosi," ujar Caleb meraih tangan Kara dan menggenggamnya dengan genggaman lemahnya. Kara meletakkan mangkok kosong kotor di atas baki di troli makanan. Wajahnya murung mengingat kejadian beberapa yang tahun lalu yang menyakitkan. “Lovely, siapa laki-laki kurang ajar itu? Beritahu aku dan aku akan kirim orang untuk menghajarnya,” ujar Caleb dan wajahnya menunjukkan simpati yang mendalam. Kara mendengus tersenyum, masih enggan bercerita. Entah kenapa perasaannya nyaman melihat sikap Caleb. Dia meletakkan kepalanya di sisi kepala Caleb, memegang tangan kurus Caleb dan matanya berkaca-kaca. “Bukan siapa-siapa, Caleb. Dia ....” Kara menelan ludahnya kelu mengingat wajah Michael yang menjijikkan saat menindih tubuhnya. “Dia memperkosa aku.” “Oh, Lovely.” Caleb memegang pipi Kara, terenyuh mendengar ucapan Kara barusan. “Kamu tahu siapa dia, aku bisa bantu kamu mencarinya dan memenjarakannya,” desisnya geram. Kara tersadar dan dia yang tidak mau tenggelam dalam perasaan sedihnya. Toh, dia dan Gabriel sudah bahagia dan dia yang sudah merelakan semua yang telah terjadi. “Nggak perlu, Caleb. Aku sudah nyaman dengan hidupku sekarang,” ujarnya sambil cepat-cepat menghapus air matanya dan kembali duduk dengan tegap. "Lagi pula, aku nggak mau berurusan dengannya lagi." Kara menghempaskan napasnya, membuang energi negatif dari dirinya. Dia berdiri hendak mendorong troli makanan Caleb. “Lovely.” Caleb menahan lengan Kara dengan sisa tenaganya yang lemah. Kara kembali duduk dan tersenyum melihat Caleb yang berubah sangat manis. Padahal orang tua itu sebelumnya sangat kasar kepadanya, dan Kara yang tidak peduli dengan sikap bengisnya, tetap sabar menghadapinya. “Aku baik-baik saja, Caleb,” ujar Kara yakin. “Aku nggak percaya kamu sudah merelakannya. Kamu pasti sakit hati sekali dan kamu yang tidak baik-baik saja. Jahat sekali laki-laki itu, Lovely.” Kara tersenyum hangat, lalu menggeleng. “Kamu nggak perlu ikut memikirkannya.” “Hei, siapa bilang aku nggak perlu memikirkan hidupmu, anakmu. Kamu bekerja dengan baik dan kamu menyuapiku tadi dan aku kenyang.” Kara tertawa lepas, benar-benar menyukai Caleb yang sekarang. “Lupakan, Caleb.” “Tidak tidak, aku nggak bisa melupakannya.” “Haha, ini masalahku, Caleb.” “Lovely. Kasihan sekali hidupmu.” Kara tertunduk, entah kenapa dia merasa sikap Caleb yang tulus kepadanya. Dia menatap sepasang mata cokelat Caleb. “Aku baik-baik saja, dan aku nggak mau mengingatnya lagi,” ujarnya sungguh-sungguh. “Baiklah,” balas Caleb, hatinya terdetak melihat tatapan Kara. “Aku ke luar dulu, Caleb. Aku antar troli ini dulu,” ujar Kara tiba-tiba, mengusir perasaan anehnya saat ditatap intens pria tujuh puluh tahun. Tapi Caleb sepertinya bersikeras ingin Kara tetap berada di sisinya, dia memencet bel dan menyuruh seseorang untuk mengambil troli makanannya di kamarnya. Tanpa menunggu lama, seseorang masuk ke dalam kamar Caleb dan mengambil troli makanan dan membawanya ke luar. “Hm, siapa nama anakmu?” tanya Caleb setelah pintu kamarnya ditutup dari luar. Kara berdecak kecil, setelah lebih dari satu minggu bekerja mengurus Caleb, baru hari ini Caleb menanyakannya, namanya, hidupnya, dan sekarang menanyakan tentang anaknya. “Gabriel.” “Gabriel--” “Hanya Gabriel, tidak ada nama belakangnya.” Caleb tercenung, dan dia tahu alasan Kara tidak menyertai nama apapun di belakang nama anaknya. “Hidupmu pasti sangat sulit, Lovely.” Kara mengulum senyumnya, bertahan untuk tidak mengingat masa lalunya yang sulit dan rumit. “Di mana orang tuamu?” tanya Caleb lagi. Belum sempat menjawab pertanyaan Caleb, tiba-tiba Huda datang bersama dokter pribadi keluarga. Kara mundur beberapa langkah dari tempat tidur Caleb, membiarkan dokter mendekati Caleb dan mulai memeriksanya. Huda mendekati Kara dan tersenyum puas. “Dia bersih sekali hari ini,” ujarnya, bahagia melihat suaminya yang bersih dan wajah bersinar penuh senyum, juga bersemangat saat diperiksa. “Iya, Bu.” Huda mengusap-usap bahu Kara, berbisik pelan, “Masih menganggap dirinya tidak berguna?” “Dia bilang itu sebelum mandi.” Huda tertawa menggeleng, membayangkan suaminya yang rewel dan dipaksa mandi. Awalnya dia mengira Kara tidak bisa menangani suaminya, tidak tahan mendengar kata-kata kotornya, tapi ternyata Kara berhasil melewati awal yang sulit dan sekarang Huda pun sudah melihat hasil kerja Kara, suaminya yang bersih dan bersinar, serta berpakaian rapi. Caleb sudah selesai diperiksa dan dokter tersenyum puas, dia dengan semangat menjelaskan bahwa keadaan Caleb membaik. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD