Bab 11. Kerja Baru Kara

1122 Words
Michael cukup puas dengan sikap Michelle yang sepertinya sudah jatuh hati kepada Freya, dan Freya yang sangat piawai mengambil hati anak perempuan kesayangannya itu. Keduanya sudah terlihat akrab, meskipun baru saling mengenal. Keyakinan Freya terbukti bahwa dia bisa dengan mudahnya mendekati putri kesayangan, berdasarkan pengalamannya dengan dua saudari perempuannya. “Om James?” delik Freya saat Michelle bercerita tentang pamannya yang sedang kuliah di Washington, dia pernah pergi ke sana, dan dia yang sangat disayang James. “Adikku, Freya,” sela Michael. Freya terperangah, baru tahu Michael memiliki seorang adik. “Oh,” desahnya. “Papi, katanya om James mau pulang ke Jakarta?” ujar Michelle bertanya. “Iya, Sayang, om James pulang minggu depan. Eh, tahu dari mana?” Michael balik bertanya. Dia sebelumnya tidak memberithau perihal kepulangan adiknya dari Amerika ke Michelle. “Bu Heni.” “Oh.” Lagi-lagi Ferya mendelik. “Heni yang tadi melayani makan malam kita barusan,” ujar Michael menjelaskan. Freya mengangguk-angguk, tapi dia tetap tidak bisa mengingat wajah perempuan yang melayaninya tadi, sibuk bercanda dengan Michelle dan memperhatikan Michael. “Ya, nanti kalo kamu tinggal di sini, kamu akan mengenalnya dan harus berurusan dengannya. Dia kepala asisten rumah tangga,” jelas Michael, seolah yakin Freya yang akan menjadi ratu di rumahnya. Freya tersenyum hangat, tersanjung akan sikap Michael yang seolah sudah yakin bahwa mereka akan menikah. Makan malam yang membahagiakan malam itu, Michael senang dan puas melihat keakraban Freya dan Michelle. Dia berkali-kali memperhatikan sekujur tubuh Freya, membayangkan tubuh sempurna itu dia gauli setiap saat dia mau, dan dia yang tidak perlu khawatir. Berharap Freya patuh kepadanya, sehingga dia bisa bebas berbuat sesuka hati. Malam menunjukkan pukul sepuluh dan Freya akhirnya pamit pulang. Michael sempat menahannya, menyuruhnya menginap di rumahnya. Tapi Freya menolak dengan alasan dia yang tidak mau berlebihan, dan Michael pun memahaminya. *** Kara dengan sigap membopong tubuh kurus Caleb dan membawanya ke dalam kamar mandi. “Aku nggak mau mandi di dalam kamar mandi, Setan!” umpat Caleb. “Bawa aku ke luar lagi, aku mau mandi di atas kasur! Setan kamu! Setan kecil!” Kara tidak peduli, dia tahu Caleb sudah tidak mampu berbuat apa-apa selain mengumpat. Lansia itu gemetar saat didudukkan di atas kursi khusus dan Kara bersiap memandikannya. Cuih, Caleb meludahi Kara saat Kara duduk hendak melepas pakaiannya. Lucunya, ludahnya tidak sampai ke wajah Kara karena Caleb yang sangat lemah, malah mengena dadanya yang kurus tinggal tulang. Kara tidak menertawai Caleb, dia paham jika dia tertawa, lansia pasti akan sangat tersinggung dan bisa berhari-hari ngambek. Namun, dia menertawai lansia itu dalam hati. “Haha, lihat itu. Adik kecilku. Haha.” Sinting, decak Kara dalam hati, mengingat cerita Dito mengenai Caleb yang genit, dan Kara yang tidak terlalu kaget. Tangan Caleb mulai nakal, pura-pura lemas dan mengena d**a Kara. Dengan cepat pula Kara menguasainya dengan mengikat keduanya di sandaran tangan kursi. Lalu, Kara memandikan tubuh kurus itu dengan perlahan. Kara terlihat cekatan, pengalaman selama satu tahun lebih merawat eks Jenderal sangat berarti baginya, dan waktu itu lebih tertantang, karena tubuh sang Jenderal yang tinggi besar. “Oh, kamu nggak peduli, kamu peduli uang sajaaa. Gundik siapa kamu dulu, ha? Pelac*r, kamu suka uang, ‘kan? Jangan sok cantik. Kamu jelek, kamu buruk rupa. Siapa suami bodohmu, ha?" Caleb mengumpat terus, dan Kara tidak peduli. Orang tua itu masih meludah, mengena tubuh rentanya, dan Kara tetap sabar. “Buka mulutnya ya, Caleb. Kita gosok gigi sekarang,” suruh Kara dengan sikap tenangnya. “Nggak mau. Aku nggak mau buka mulut.” Tapi Kara langsung memegang rahang Caleb dan mulai membersihkannya dengan tangan dan lap. Caleb meronta-ronta, dan Kara dengan tenang membersihkan bagian dalam mulutnya. Beberapa menit kemudian, Caleb sudah mandi, dan dia yang kelelahan. Kara pelan-pelan membopong tubuh renta Caleb, dan seseorang lainnya membantunya, membawanya kembali ke dalam kamar yang baru saja dibersihkan dan dirapikan saat dia dimandikan Kara. “Aku mau rebahan!” teriak Caleb lemah. “Pakai baju dulu, Caleb. Biar ganteng dan wangi,” ujar Kara lemah lembut. Caleb terdiam, seolah memikirkan sesuatu, memperhatikan Kara dengan seksama. “Ah, kamu bukan setan rupanya,” ujarnya. Kara tersenyum tipis, melap-lap tubuh telanjang Caleb dengan handuk kering dan mulai memakaikan baju ke tubuhnya. “Kalo aku bersih dan wangi, apa kamu mau menciumku?” tanya Caleb. “Nanti Huda cemburu,” canda Kara. “Dia istri yang sangat baik dan tidak pernah cemburu.” Kara tertawa kecil, dan menggeleng, merasa geli sekaligus lucu dengan perangai lansia yang satu ini. “Tapi kalo dia marah dan cemburu?” “Nggak akan pernah marah. Percayalah kepadaku, Manis.” Caleb berubah lagi, sikapnya yang sangat manis. Kara mengamati wajah Caleb yang teduh, sepasang mata Caleb tertuju ke wajahnya, dan dia tersenyum hangat. “Ok. Aku akan mencium kamu kalo kamu sudah bersih dan wangi,” jawab Kara, mulai senang dengan sikap Caleb yang melunak. “Janji?” “Aku janji.” “Cium di bibirku ya?” mohon Caleb tanpa malu-malu. Kara mendadat tertawa. “Caleb, buang jauh-jauh pikiran itu. Aku akan mencium ini.” Kara menunjuk punggung tangan kanan Caleb. Caleb diam, dan sepertinya dia sedang menenangkan diri. Dia pasrah tubuhnya “dikuasai” Kara. Caleb sudah berpakaian rapi sekarang, dan Kara siap menyisir rambutnya di depan cermin. “Aku sudah tua sekali, aku tua ... aku tua ... aku ingin mati saja,” ujar Caleb. Kara terenyuh mendengar kata-kata Caleb yang pasrah, dan dia menyisir rambut tipis Caleb dengan pelan. “Aku tidak berguna,” lirih Caleb, dan sekarang rambutnya sudah tersisir rapi. “Siap, Lovely?” tanya Yuda, salah satu pelayan rumah Caleb. Dia ditugaskan untuk menjadi asisten Kara selama bekerja di rumah Caleb, juga memenuhi kebutuhan Caleb. “Iya, Yud,” tanggap Kara, dan dia bersiap mengangkat tubuh Caleb, dan Yuda ikut membantunya. Caleb menghela napas lega saat sudah rebah di atas tempat tidurnya, dan dia terheran-heran. “Kenapa nyaman sekali tempat tidur ini?” “Karena sudah dibersihkan dan kamu sudah mandi sekarang,” ujar Kara. Caleb menoleh ke Yuda yang membereskan alat-alat bekerja Kara. “Hai, kamu jangan menggoda dia ya? Dia milikku,” ujar Caleb. “Aku nggak menggodanya, Caleb,” balas Yuda santai. “Aku tadi mendengar kamu memanggilnya Lovely berkali-kali, aku nggak suka kamu memanggilnya begitu.” “Itu memang namanya.” “Aku tidak percaya. Kamu bisa saja bekilah. Jangan begitu kamu sama aku, kualat kamu.” “Caleb, namanya Lovely.” Caleb mendengus sinis. “Kamu saja nggak mau berkenalan dengannya,” ujar Yuda lagi. Dia senang melihat perubahan positif majikannya sejak ditangani Kara selama lebih dari satu minggu ini, juga yang pada akhirnya mau mandi pagi. “Oh, Lovely. Itu ... namamu?” tanya Caleb ke Kara, dan dia memang tidak pernah mau tahu nama pengasuh barunya itu. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD