Michael masih tidak sepakat dengan usulan Dito yang langsung disetujui mamanya. Dia tampak menunggu Dito ke luar dari kamar Caleb. Berdecak kesal membayangkan seseorang yang tidak professional merawat papanya, yakin kurang bertanggung jawab jika ada masalah yang terjadi. Michael memiliki hubungan yang kurang baik dengan Dito, satu-satunya asisten rumah tangga Caleb yang berani membantah. Dia sadar diri bahwa Dito yang tidak menyukainya. Michael sendiri tidak kuasa memecat atau menolak, karena Dito yang sudah puluhan tahun bekerja sebagai kepala asisten rumah tangga rumah papanya dan sangat dipercaya karena loyal dan jujur.
“Ma, kita coba cari lagi yang terbaik, aku yang akan cari dan menggaji lebih besar, mau berapa orang? lima? sepuluh?” ujar Michael setelah Dito ke luar dari kamar setelah memastikan keadaan Caleb.
“Mike, sudah nggak bisa Mama hitung berapa jumlah tenaga professional yang merawat papamu, nggak salah kita ikut saran Dito sekarang ini. Selama ini kamu dan Mama yang mengusul, tapi lihat papamu, bisa-bisa dia lumpuh total dan nggak bisa apa-apa. Lagi pula Dito bilang orangnya tahan banting, dan orang-orang dari dia yang bekerja di sini dipercaya dan bekerja dengan baik. Dito juga sangat bertanggung jawab selama ini.”
Michael menghela napas panjang, jengkel dengan pendapat mamanya. Memikirkan pekerjaan yang semakin menumpuk di perusahaan, akhirnya dia mengangguk lemah, menyetujui pendapat mamanya.
“Mulai minggu depan aku akan berada di Sangatta, tiga bulan di sana, aku ingin fokus dengan proyek internasional.”
“Apa bisa kamu sekalian menyelesaikan masalah di tambang papamu di Pontianak?”
“Mama bisa andalkan aku, aku bisa atur waktuku.”
Huda menghela napas lega, Michael memang sigap bekerja.
Merasa tidak ada yang dibicarakan, Michael memasang gestur beranjak dari kamar.
“Michael,” panggil Huda saat Michael baru saja berbalik badan.
Michael kembali ke mamanya, memasanga wajah tanya.
“Tolong pikirkan soal Freya. Michelle pasti butuh sosok mama.”
Michael diam, tidak memberi jawaban. Tapi beberapa detik kemudian, dia mengangguk malas-malasan.
Tampak Huda tersenyum tipis dan dia membiarkan Michael pergi dari kamarnya. Dia sebenarnya tidak begitu dekat dengan Michelle, karena anak itu adalah anak dari hasil hubungan gelap Michael dan perempuan yang bernama Nadia, dan dia yang juga tidak menyukai Nadia.
***
Hadirnya Gabriel dalam hidupnya, menjadi semangat bagi Kara dalam menjalani kesehariannya, dan anak itu sudah berusia dua tahun dan sedang lucu-lucunya. Wajahnya sangat tampan dan fisiknya yang kuat dan tumbuh pesat. Dia adalah favorit bagi para pengasuh di tempat penitipan dan kecerdasannya yang di atas rata-rata, juga sikapnya yang sopan. Kara telah berhasil merawat dan mendidik anaknya di tengah keras perjuangannya untuk bertahan hidup.
“Kalo orang-orang tahu siapa papa kandungnya pasti nggak heran. Ganteng, rambut bagus, matanya kebiru-biruan, sempurna,” ujar Intan yang sedang datang berkunjung ke apartemen Kara. “Huh, pasti heboh kalo mereka tahu ini anak Michael, si raja tambang.”
Kara tertawa kecil mendengar puja puji Intan ke anak laki-laki yang sedang tidur nyenyak di atas sofa. “Kamu itu ya, nggak lupa muji-muji Gabriel setiap datang ke sini,” ujarnya.
Kara kini tinggal di apartemen yang lebih mahal daripada sebelumnya, lebih kurang dua tahun dia bekerja sebagai perawat lansia yang tinggal di sebuah rumah yang tidak jauh dari gedung apartemen, bekerja mandiri dan tidak bekerja di bawah agen resmi. Awalnya diterima kerja di sana karena dia bekerja menjadi pertugas kebersihan di rumah lansia tersebut. Kara sangat akrab dan suka sekali mendengar cerita lansia itu yang merupakan jenderal besar. Sang istri kepincut dengan kepribadian Kara dan menyuruhnya bekerja merawat suaminya, dan dia yang berani membayar mahal, belasan juta perbulan.
Baru saja memberi pujian ke Gabriel, wajah Intan berubah sendu, “Jadi kamu dan Gabriel pindah lagi?”
Kara menghela napas panjang. “Iya, Tan. Mau bagaimana lagi, namanya juga hidup dan harus cari kerja yang lebih baik dan lebih baik lagi,” jawabnya. Sejak lansia yang dirawatnya meninggal dua minggu lalu, Kara tidak bekerja lagi di rumah itu dan sekarang dia menyambi menjadi petugas kebersihan panggilan menjelang mendapat kerja yang lebih baik.
“Kalo dulu mantan Jenderal kaya raya, terus sekarang lansia apa lagi?” tanya Intan lagi. Kara mengaku mendapat gaji belasan juta saat merawat lansia yang merupakan mantan jenderal dengan aset properti yang tersebar di Jakarta dan di beberapa kota di pulau Sumatra, bahkan ada dua properti di kota Melbourne.
“Yang ini bos tambang besar, Tan. Gaji lebih gede.”
“Batubara?”
“Ya dengar-dengar iya.”
“Ck ck ck, dua puluhan?”
“Ditawarkan satu bulan awal delapan belas, kalo sanggup nerusin lewat tiga bulan, bisa dua puluh lebih, juga bonus.”
“Wow, terus kok harus pindah sama Gabriel?”
“Di sana harus nginap, terus tempatnya jauh.”
“Terus apartemen ini?”
Kara mendengus kecil. “Aku sewain ke orang, sudah ada yang mau, pasang setengah harga.”
Intan tersenyum dengan bibir miring, Kara memang penuh rencana. Dia memegang lengan keras Kara. Sejak bekerja keras dan aktif berolah raga gratis di gedung apartemen, fisik Kara terlihat lebih kokoh, juga kulitnya yang kencang. “Gimana kamu bisa dapat info kerja, Kara?”
“Ada kenalan, pak Dito namanya. Dia ini sahabat pak Utsman dari kecil. Kebetulan dia menjenguk pak Utsman dan dia lihat aku bekerja. Katanya baru aku yang bisa kerja merawat pak Utsman sampe setahun lebih.”
“Oh ya? Hebat bener mamanya Gabriel ini. Tahan banting, melahirkan saja sendirian.”
Kara tertawa kecil. “Apanya yang hebat.”
“Terus, emangnya apa yang terjadi dengan perawat-perawat sebelumnya?” tanya Intan ingin tahu.
Kara mengangkat kedua bahunya. “Setahuku nggak betah karena pak Utsman galak.”
Intan mengernyitkan dahinya. “Galak gimana?”
“Galak banget, Tan. Aku saja pernah dilempar asbak rokok istrinya, sambil ngomel-ngomel bilang aku pelacur.”
"Bininya perokok?"
Kara mengangguk.
“Gila. Tua tua nggak bisa jaga mulut, pantes cepet mati," ujar Intan menggerutu.
“Jangan begitu dong ah. Gara-gara dia cepet mati, akunya jadi nggak punya penghasilan tinggi nih.”
“Hahaha.” Tawa Intan membahana. “Terus kok bisa aki aki nurut sama kamu?”
“Sabar, dan tunjukkin kalo kita kerja tulus,” ujar Kara, dan dia tampak menyembunyikan sesuatu di balik wajahnya saat mengingat betapa berat pekerjaannya saat merawat lansia yang temperamental.
Intan manggut-manggut.
“Bagaimana kerja di Elmer, Tan?” Kara balik bertanya.
Intan menghela napas panjang. “Mau pindah rasanya, Ra. Semakin ketat persaingan antar staff. Aku, ‘kan nggak bisa cari muka, adanya malah cari perkara.”
Kara meninju kecil lengan Intan. “Nggak usah nggak enakan, Tan. Aku perhatiin kamu orangnya suka nggak enakan gitu.”
“Ya, sepertinya aku harus banyak belajar dari kamu, Ra.”
Kara memeluk erat Intan, memberinya semangat. “Ayo semangat kerjanya,” serunya. Suaranya cukup keras, sehingga Gabriel terbangun dan dia langsung duduk.
“Mami Intan, hai.” Gabriel langsung menyapa Intan dengan senyum manisnya.
Intan tertawa lepas, dia langsung mengambil Gabriel dan menggendong, mencium-cium pipi gembulnya. “Hm ... mau pindah ini. Nggak bisa ketemu lagi sama Mami Intan.”
“Indah ... indah, Ma?” tanya Gabriel, bingung tidak mengerti.
Kara dan Intan tertawa-tawa melihat wajah baru bangun tidur Gabriel.
Bersambung