Bab 5. Kunjungan Sahabat

1198 Words
Sepasang mata Intan terbelalak saat melihat bayi Gabriel, mengagumi bayi dua bulan itu yang sedang terbaring di dalam kotak bayi, kedua kaki mungilnya bergerak-gerak seolah tidak sabar ingin digendong. “Ya ampun, Karaaa. Ganteng banget anakmu.” Intan langsung mengambil tubuh semok Gabriel dan menggendongnya. Kara tersenyum kecil, mengingat perjuangannya saat melahirkan Garbriel seorang diri, menahan sakit luar biasa tanpa ada satu orang pun yang menolongnya. Melihat wajah bayi tanpa dosa itu membuatnya terenyuh dan rasa sakit yang terbayarkan. “Sudah kamu urus akta lahirnya?” tanya Intan. “Ya, aku pakai calo, biar urusan cepat selesai.” Intan tertawa kecil, menyadari betapa susahnya mengurus data sipil, terutama anak luar nikah. Tidak bisa dia bayangkan Kara yang harus menahan malu saat mengungkapkan jati dirinya. “Jadi kamu kerja bersih-bersih apartemen ini?” tanya Intan lagi. “Ya, dan aku menitipkan Gabriel di tempat penitipan saat jam kerja saja.” “Ah, syukurlah, Kara.” Kara tersenyum kecut, menyadari dirinya yang harus kuat menghadapi masalah berat dalam hidupnya. “Bagaimana dengan kuliahmu, Tan?” “Bulan depan aku wisuda, dan … aku sudah diterima sebagai pegawai tetap di perusahaan tempat aku magang dulu.” Kara mendadak sumringah, senang mendengar kabar baik dari sahabatnya, dan Intan sangat pantas menerima keberuntungan itu. “Jadi kamu kerja hanya jalan kaki dari kosan?” “Ya.” “Intan, betapa beruntung dirimu.” “Ya, berkat doa kamu juga, Kara. Aku ingat kamu selalu bilang kepadaku bahwa aku akan diterima bekerja di Elmer Group, dan aku yang nggak perlu menghabiskan banyak uang untuk ongkos karena dekat dari kosan, lalu gaji di sana di atas rata-rata.” “Elmer adalah Impian banyak orang, dua digit untuk pekerja pemula … duh, kamu kaya, Intan. Kamu harus bekerja sungguh-sungguh!” ujar Kara menyemangati. Ini yang Intan suka dari Kara, dia tidak pernah memendam perasaan iri terhadap nasib orang lain yang beruntung, dia senang melihat kesuksesan orang lain, meskipun nasibnya yang selalu apes kurang beruntung. Tiba-tiba Gabriel merengek, dan Kara langsung mengambil Gabriel dari dekapan Intan, membawanya ke sofa dan duduk sambil menyusukannya. Intan ikut duduk di samping Kara. “Hm … jadi … Gabriel ini adik Michelle dong,” ujarnya. Kara tertegun beberapa saat. “Hm … kamu harus pastiin kalo mereka berdua nggak bertemu saat dewasa nanti,” ujar Intan lagi, mengkhawatirkan sesuatu yang akan terjadi. Kara mendengus sinis. “Kamu terlalu sering menonton film fiksi, Tan.” “Hei, film itu juga terinspirasi dari keseharian di dunia nyata, Kara. Takutnya mereka bertemu dan jatuh cinta, ‘kan jadi berabe.” Kara tertawa renyah mendengar ucapan Intan yang berlebihan, lucunya Gabriel juga ikut tertawa. “Ya ampun, anak dan emak kompaknyaaa!” seru Intan merasa geli dan lucu melihat Gabriel yang tertawa di tengah kegiatan menyusunya. “Ih, gemes banget dedek bayi ini.” “Aku sebisa mungkin akan menghalangi itu terjadi. Lagi pula aku sudah berusaha dulu datang ke kantor si b******k itu dan dia yang mengusirku.” Intan menghela napas panjang, masalah Kara adalah perkara sulit, “Hm … memang lebih baik kamu menghindar saja.” “Ya, memang seharusnya begitu. Aku pernah mendengar dari Heni bahwa keluarga pak Michael itu dikenal suka semena-mena.” “Heni?” “Kepala rumah tangga keluarga Michael.” “Kamu mengenalnya?” “Ya, tentu saja aku mengenalnya. Gimana sih kamu?” “Dia perempuan tua?” “Empat puluhan.” Intan menatap wajah Kara dengan seksama. “Aku punya firasat kurang baik tentang si Heni ini.” “Maksud kamu?” “Aku pernah menerima panggilan dari nomor hapemu, tapi aku mendengar suara seorang wanita empat puluhan, aku sapa halo tiga kali, trus dia bilang salah sambung.” Kara tertawa lagi. “Dia yang nelpon kok malah dia yang bilang salah sambung.” “Iya, aneh, ‘kan?” Kara menghela napas pendek, mengusap-usap kepala Gabriel dan bayi itu yang mulai mengantuk. Mengingat kembali momen dia bekerja di rumah Michael dan beberapa kali dia mendapatkan Heni yang terlihat tidak peduli dirinya. Terlebih, saat kejadian naas menimpa dirinya dan Heni yang pasrah tidak bisa berbuat apa-apa, juga terkesan membiarkan. Mungkin saja firasat Intan benar, bahwa perangai Heni yang kurang baik “Hm … kepala rumah tangga?” “Iya.” “Jadi yang mengatur gaji juga dia.” “Iya.” “Gaji kamu sudah pasti diambil dia.” Kara tertawa lemah, mengiyakan dalam hati. Heni pernah mengatakan bahwa dia yang memegang uang gaji seluruh pekerja di rumah Michael, seharusnya dia sudah menerima gaji pertamanya sebagai pengasuh Michelle dan dia kabur tepat satu bulan bekerja, dan hari itu adalah hari menerima gaji. “Sudah, yang penting kamu aman di sini. Gaji kamu di sini juga cukup, ‘kan. Nanti kalo aku sudah bekerja di Elmer, aku juga bisa bantu-bantu,” ujar Intan. “Dan aku akan jadikan Gabriel ini anak angkatku dan dia harus panggil aku mami Intan.” Kara tertawa lepas, bahagia memiliki seorang sahabat sebaik Intan dan hidupnya yang selalu merasa nyaman. *** Dua tahun kemudian, Mendengar kabar sakit papanya yang kambuh, Michael pergi ke rumah orang tuanya usai bekerja di kantor. Sedikit merasa gembira di dalam hatinya karena berpikir papanya yang tidak berdaya dan akan selalu terbaring di atas tempat tidur. Sudah lama Michael memendam perasaan kesal terhadap kelakuan papanya yang menyebalkan, memiliki banyak wanita simpanan dan menghambur-hamburkan uang untuk mereka, tanpa mau peduli istrinya. Michael berharap papanya lebih lama menderita, sehingga tidak mampu bersenang-senang dengan wanita-wanita peliharaannya, dan lebih fokus dengan mamanya. “Sudah dua hari ini papamu nggak makan, Mike. Hanya minum s**u dan dua sendok nasi,” ujar Huda sedih, dan Caleb, suaminya, yang tertidur di atas tempat tidur. Perasaan kesal dan sebal Michael berubah iba, melihat papanya yang tidak berdaya, juga lebih kurus. “Apa kata dokter Bram, Ma?” “Hipertensinya sudah akut,” lirih Huda sambil memperbaiki kerudungnya. Michael menghela napas panjang. “Ada kemungkinan lumpuh,” lanjut Huda lagi dan dia benar-benar tidak berdaya. Michael menyesali sikapnya yang seolah bahagia saat tahu ayahnya menderita, dan dia menyadarinya. Tiba-tiba datang seorang pria berjalan tergopoh-gopoh mendekati Huda, berujar, “Bu Huda, Asri dan Juanda nggak lanjut kerja. Mereka berhenti dan … nggak mau merawat Bapak lagi.” Huda menelan ludahnya kelu, entah berapa kali Caleb gonta ganti perawat selama sakit dan mereka yang kerap mengeluhkan sikap Caleb yang pemarah dan tidak sabaran, juga kata-katanya yang nyelekit. “Aku akan bantu cari orang untuk merawat papa,” ujar Michael. “Sebentar, Pak Michael. Sebenarnya saya sudah dapat orang yang tepat dan tahan banting, dan orang ini mau bekerja di sini, bahkan mau menginap. Kendalanya … dia punya anak kecil, dua tahun umurnya.” Michael mendelik, “Aku mau yang professional, Pak Dito.” “Selama ini selalu yang professional yang bekerja di sini, Mike. Ujung-ujungnya minta berhenti cepat karena nggak tahan dengan kelakuan papamu,” sela Huda, yang malah tertarik dengan orang yang akan dibawa Dito. “Ma?” delik Michael, tidak setuju dengan ide mamanya. Huda tersenyum mengangguk ke arah Dito, seolah menyuruh Dito untuk mendatangkan orang tersebut dan bisa bekerja merawat suaminya. “Anaknya laki-laki atau perempuan?” tanyanya. “Laki-laki, Bu.” Huda tersenyum puas, mengamati luas rumahnya sambil membayangkan anak kecil berlarian di dalamnya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD