20. Kunjungan Pagi

1465 Words
“Morning …,” sapa Lio hangat begitu Mia membukakan pintu. Untuk beberapa saat Mia hanya bisa melongo melihat sosok Lio muncul di pintu apartemennya sepagi ini.  "Kamu ngapain ke sini?" tanya Mia setelah berhasil mengatasi keterkejutannya. "Mau jemput kamu," jawab Lio santai. Kening Mia langsung berkerut bingung. "Ngapain jemput aku?" "Mau antar ke tempat kerja kamu." "Ngapain kamu harus anter aku kerja?” Sambil bertanya Mia berusaha mengingat-ingat jadwalnya hari ini. Adakah ia salah mengingat, atau Chica lupa memberitahunya? “Kita enggak ada proyek bareng kan hari ini?" Lio tersenyum kecil kemudian menggeleng. "Enggak ada." "Terus, urusannya apa sama kamu?" tanya Mia tanpa basa-basi. "Martin minta tolong aku buat antar kamu hari ini." "Mas Martin kontak kamu?" "Iya." Alarm siaga Mia langsung aktif.  "Jangan bilang dia belum balikin mobil aku," desis Mia curiga. Lio langsung meringis. Benar-benar Martin ini! "Dia belum bilang kamu?" Tanpa menghiraukan pertanyaan Lio, Mia melenggang begitu saja meninggalkan tamunya di pintu lalu masuk ke kamar untuk mencari ponsel. Segera dihubunginya nomor sang kakak. "Mas?" sapa Mia galak begitu Martin menjawab panggilannya. "Pagi, Adek …," balas Martin tanpa dosa. "Mobil gue mana?" tanya Mia tanpa basa-basi. "Maaf ya, Dek. Masih gue pinjem dulu buat hari ini ya. Soalnya-" Mia segera memotong ucapan Martin. Ia tidak ingin mendengarkan alasan Martin yang pastinya tidak masuk akal dan hanya akan menyulut kekesalannya saja. "Lo kan janji pagi ini udah ada di apartemen gue!" "Iya, Dek. Tapi ternyata mobil gue masih dipinjem." "Lo mah selalu gini, Mas! Nyusahin gue jadinya." "Sorry, Dek. Ambil positifnya aja deh, kan kita jadi berguna buat orang lain. Bisa bantu orang lain itu pahala loh, Dek!" "Sorry aja terus! Enggak guna tau Mas! Enggak ada hubunganya juga sama pahala! Dan sorry lo itu enggak bisa anter gue ke Lumiere." "Tapi Arcel kan bisa anter lo ke Lumiere, Dek." "Siapa yang minta lo kirim dia ke sini?" tanya Mia sengit. "Enggak ada sih. Gue cuma berinisiatif aja." "Inisiatif kata lo! Sembarangan aja deh, Mas!" "Gue enggak sembarangan, Dek. Gue lakuin ini buat-" "Stop, Mas!” Lagi-lagi Mia memotong ucapan Martin. “Asli ya, Mas. Gue harap mata lo cepet melek dan lo sadar kalo cewek itu cuma bisa nyusahin doang. Masih bagusan Irina ke mana-mana!" "Lo kok tega nyinggung soal dia lagi sih, Dek." Suara Martin tiba-tiba terdengar sedih. "Gue bukan jahat, Mas. Justru gue sayang sama lo dan gue berharap lo dapet cewek yang baik. Yang layak dan pantes buat lo. Bukan yang sukanya ngeret." Keduanya masih berdebat beberapa saat lagi sebelum akhirnya saling mematikan sambungan. "Jangan marahin Martin lagi, Na. Dia kayaknya lagi ada masalah," ujar Lio menenangkan Mia. Entah sejak kapan Lio tahu-tahu sudah ikut duduk di meja makan bersama Mia, mendengarkan pertengkaran gadis itu dengan sang kakak. "Gimana enggak jadi banyak masalah kalo pacarannya sama sumber masalah?" tanya Mia geram. "Ada apa sama pacarnya Martin?" Sebenarnya Lio tidak mau ikut campur, hanya saja ia tahu Mia butuh mengeluarkan unek-uneknya. "Kamu tau enggak Mas Martin itu pacaran sama anak SMA?"  "Hm?” Lio terlihat sedikit terkejut mendengar ucapan Mia. “Anak SMA?" Mia mengangguk jengkel. "Masih bocah. Manja. Banyak maunya. Tukang minta-minta. Pokoknya ngerepotin." "Minta-minta gimana maksudnya, Na?" "Minta dianter jemput tiap hari. Minta diajak jalan-jalan tiap weekend. Minta dibeliin ini itu." Pokoknya, setiap kali teringat kelakuan Tika, pacar terbaru Martin yang sudah mirip sugar baby itu, Mia selalu dongkol. Bayangkan! Anak 16 tahun berpacaran dengan pria dewasa berusia 30 tahun. Waraskah anak itu? "Bukannya masih wajar ya?” Lio mengernyit ragu. Bagi Lio sendiri, dia juga pasti mau melakukan semua hal yang Mia sebutkan untuk orang yang menyandang status sebagai pacarnya. “Namanya pacaran." "Wajar kalo cuma bocah itu doang, masalahnya yang ikut jalan-jalan sekeluarga. Kadang tetangga ngikut juga. Yang dibeliin ini itu juga sekeluarga. Plus tetangga," gerutu Mia geram. "Wow …," desah Lio seketika. Kalau sampai semua ikut-ikutan, jelas jadi tidak wajar rasanya. Merasa mendapat respon positif dari Lio, Mia melanjutkan dengan berapi-api. "Dan Mas Martin pernah minta tolong aku ngerias anak itu dan keluarganya. Seluruh keluarga besarnya karena sepupunya nikah. Gratis." Lio mengangkat alisnya kemudian menggeleng. "Itu sih bener nyusahin." "Kan!” seru Mia keki. “Orang kalo bisa mikir pasti ngerasa itu enggak wajar. Masalahnya Mas Martin kayak kena pelet." "Terus Irina itu siapa?" "Irina itu mantan pacarnya Mas Martin. Mereka pacaran udah lama, ada kali lima tahun. Terus putus tiga tahun lalu. Sejak putus sama Irina, Mas Martin enggak pernah serius pacaran lagi. Selalu yang aneh-aneh yang dijadiin pacar." Entah karena patah hati mendalam, atau dalam rangka mencari pengalihan, Martin selalu bergonta-ganti kekasih sejak berpisah dengan Irina. "Martin masih punya rasa buat Irina mungkin?" tebak Lio. "Kayaknya iya." "Terus kenapa putus?" "Entah.” Mia menggeleng malas. Setiap kali ditanya pada Martin, kakaknya tidak pernah mau bercerita. Pun ketika Mia mengonfirmasinya pada Irina. Keduanya sama-sama bungkam soal masalah putusnya mereka.  “Ngomong-ngomong ngapain aku jadi bahas masalah Mas Martin sama kamu?" Tiba-tiba saja Mia tersadar dan merasa malu sendiri. "Emang kenapa?" balas Lio santai. "Kamu boleh bahas masalah apa pun sama aku. Aku selalu siap mendengarkan." Sikap Mia yang tadi sempat mencair pada Lio, seketika kembali ketus. "Enggak ada waktu. Sekarang aku mesti mikirin caranya pergi kerja tanpa mobil aku." "Kan ada aku. Kamu lupa aku ke sini buat jemput kamu?" "Enggak lupa. Cuma enggak mau," jawab Mia kejam. "Kenapa?" tanya Lio tanpa nada tersinggung. Ia sudah terbiasa mendengar nada ketus Mia, malah sepertinya Lio jadi kecanduan. "Maleslah. Mending naik ojek. Mikrolet juga gapapa." "Aku yang enggak rela, Na. Masih lebih mending kamu sama aku, udah pasti aman." Mia menatap wajah Lio, mengamatinya sedemikian rupa. Kalau dipikir-pikir memang benar juga. Daripada naik ojek dengan orang yang tidak dikenal, atau berdesak-desakan di dalam mikrolet, masih lebih mending pergi bersama Lio. Setidaknya Mia tinggal duduk nyaman di dalam mobil tanpa perlu cemas memikirkan kalau-kalau ada orang yang berniat jahat padanya. "Emang kamu enggak kerja?" "Kerja. Habis antar kamu aku kerja." Mia melirik jam di ponselnya. "Kamu kerja jam berapa?" "Waktu aku fleksibel." "Aku masih lama loh. Belum mandi, belum selesai siap-siap." Salah sendiri Lio datang terlalu pagi. Baru juga jam enam. Baru juga Mia bangun. Tahu-tahu saja Lio sudah muncul. Bukan salah Mia kalau dirinya masih kucel dan jelek, bukan? "Aku tahu.” Lio mengangguk tenang. “Aku sengaja datang pagi sebelum kamu keburu pergi." Berdasarkan informasi yang Martin berikan, biasanya Mia akan berangkat kerja sekitar pukul delapan. Jadi, Lio sengaja datang pagi agar bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan Mia. "Emang enggak masalah nunggu lama?" "Enggak kok. Aku punya banyak waktu. Kita bahkan bisa sarapan bareng dulu sebelum aku antar kamu." "Ya udah, aku siap-siap dulu." Mia bergegas meninggalkan meja makan untuk menuju kamar mandi. Waktu-waktu yang Lio lewatkan untuk menunggui Mia bersiap, ia gunakan untuk melihat-lihat isi apartemen gadis itu. Setelah berkeliling di area ruang duduk apartemen Mia, Lio terpaku pada sebuah pigura kecil yang terpajang di rak buku milik gadis itu. Perlahan senyumnya mengembang, dan Lio terus berdiri di sana sampai mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Lio langsung menoleh ke arah Mia dan berujar hangat. "Ternyata kamu masih simpan foto kita, Na." "Eh?" Sontak Mia membeku di tempat. Wajah Lio dan suaranya ketika berbicara membuat Mia berdebar-debar. Kenyataan kalau Lio memergoki dirinya masih menyimpan foto mereka juga membuat Mia salah tingkah. Ditambah lagi Mia baru menyadari kalau dengan cerobohnya ia hanya mengenakan bathrobe ketika keluar dari kamar mandi. Mia seolah lupa kalau Lio ada di apartemennya. Perlahan Lio berjalan menghampiri Mia. "Aku kira kamu udah buang semua." "Sayang aja dibuang,” jawab Mia gugup. “Itu kan kenangan aku waktu SMA." Lio maju semakin mendekat dan berhenti tepat di hadapan Mia. Sebelah tangannya terulur ke belakang tubuh Mia lalu meraih pinggang gadis itu. "Apa aku boleh menyimpulkan kalau kamu masih punya kenangan khusus tentang masa-masa itu?" Seketika itu jantung Mia terasa seperti sedang maraton, berpacu cepat dengan detak yang menggila. Wajah Lio begitu dekat dengannya. Mata cokelat pemuda itu masih sama memikatnya seperti dulu, bahkan mungkin semakin berpengaruh. Embusan napas Lio di wajahnya juga aroma maskulin yang menguar dari tubuh pemuda itu membuat Mia kehilangan akal sehat. Ingin rasanya ia membalas pelukan Lio. Namun, untung saja kewarasan masih ada dalam kepalanya. Mia masih bisa menahan dirinya untuk tidak bergerak sama sekali. "Jangan mengambil kesimpulan begitu. Aku enggak ada maksud ke situ sama sekali," bantah Mia meski suaranya terdengar lirih. Satu tangan Lio yang lain naik ke wajah Mia dan membelai lembut pipi gadis itu. "Enggak usah malu buat mengakui, Na. Aku juga masih menyimpan foto-foto kita kok." Lalu, entah keberanian dari mana, tiba-tiba saja Lio mencuri satu kecupan dari bibir Mia. Usai mengejutkan Mia dengan aksinya, Lio tersenyum bahagia. "Makasih, Na." "Makasih buat apa?" tanya Mia setengah linglung. Ia masih terlalu terkejut dengan kelakuan Lio barusan. "Setidaknya aku tau aku masih punya harapan. Masih ada ruang di hati kamu buat kenangan kita."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD