19. Selalu Ada Cara

1803 Words
"Dek, udah beres?" Martin mendekat ketika melihat Mia mulai membereskan peralatan makeup miliknya. “Loh?” Kening Mia langsung berkerut kusut. “Mas ngapain ke sini?” “Mau ketemu kamu.” Martin menjawab dengan senyum manisnya. “Mencurigakan," gumam Mia sambil melirik kakaknya. “Kok, malah mencurigakan? Kakak kangen sama adiknya kan hal wajar.” “Mau apa deh Mas ke sini?” tanya Mia tanpa basa-basi. Martin berlagak memasang wajah sedih. “Dibilang mau ketemu sama lo, enggak percayaan deh.” Mia menghentikan kegiatannya membereskan peralatan makeup, kemudian melipat tangan di depan d**a. Ditatapnya Martin penuh curiga. “Mas ke sini sengaja mau ketemu gue?” “Iya, dong! Masa ketemu Chica?” "Lo tau dari mana gue di sini?” “Dari Chica.” Mia langsung celingukan mencari Chica dan menemukan sang asisten tengah bersembunyi di belakang punggung Martin. "Cha? Bener?” tanya Mia galak. Sambil meringis Chica menjawab, "Iya, Mbak. Tadi Mas Martin chat Chica." "Kenapa enggak kasih tau aku?" Chica melirik Martin kemudian berganti menatap Mia takut-takut. "Enggak boleh sama Mas Martin." "Alesannya?" Melihat Chica kesulitan menjawab, Martin segera membantu. "Lo kan pasti lagi sibuk, Dek. Gue enggak mau ganggu kerjaan lo." "Lagak lo, Mas." Mia mencibir sinis. "Enggak mau ganggu gue atau takut gue larang dateng?" Sontak Martin terkekeh. Adiknya memang sangat mengenal dirinya. "Dua-duanya sih." “Oke. Sekarang kan udah ketemu. Terus Mas mau apa?” “Pinjem mobil lo dong, Dek," pinta Martin sambil tersenyum sangat manis. “Tuh, kan! Pasti ada maunya!” Refleks Mia berseru jengkel. “Ssh!” Cepat-cepat Martin mendekat lalu menutup mulut Mia dengan tangannya. “Malu, Dek! Pada ngeliatin tuh.” Mia melotot tajam kemudian menepis tangan Martin. “Mas nyebelin sih!" "Nyebelin apanya, Dek?" "Ya gini! Dateng-dateng minjem mobil. Alesan mau ketemu, padahal ada butuhnya doang!" "Harusnya lo bangga, Dek." "Bangga buat apa?" "Karena gue selalu inget sama lo. Susah senang gue inget lo, Dek." "Susahnya doang! Seneng sih lo sendiri aja," gerutu Mia keki. "Enggak gitu, ah!" Martin langsung membantah. "Lo kenapa mau minjem mobil? Mobil lo ke mana lagi?" Perlahan Martin tersenyum malu-malu. "Mobil gue dipinjem, Dek." "Sama?" Bukannya menjawab, Martin malah cengar-cengir salah tingkah. "Pacar lo?" tebak Mia sebal. Sejak berpacaran dengan kekasihnya yang terakhir ini, Martin seringkali menyeret Mia dalam kerepotan. Baru empat bulan berpacaran saja, entah sudah berapa kali Mia ikut disusahkan. Tidak jauh-jauh, urusannya kalau bukan soal pinjam mobil, paling-paling minta dirias. Masalahnya, yang dirias bukan hanya kekasihnya saja, melainkan keluarga besarnya. "Bukan." Martin menggeleng cepat. "Kakaknya pacar lo?" tebak Mia lagi. "Bukan." Kembali Martin menggeleng. Mia mencoba mengingat-ingat isi keluarga gadis itu. "Adiknya?" "Bukan." Mia sudah malas menebak. “Terus?” "Kakak dari nyokap temen deketnya pacar gue.” "MAS!" jerit Mia keki. Seperti sudah bisa ditebak, alasan Martin benar-benar tidak masuk akal. Teriakan Mia membuat mata-mata lain langsung tertuju ke arah mereka, sementara Chica semakin mengkeret di belakang Martin. "Apa, Adek?" tanya Martin polos. "Hidup lo kenapa aneh banget sih?" "Aneh gimana?" "Suka beramal enggak jelas. Bantuin orang yang enggak ada hubungannya sama lo." "Itu ada loh. Krusial banget masalahnya." "Apa masalahnya coba?" Mia bertanya sambil berkacak pinggang saking keki. “Pacar lo punya temen deket. Temen deketnya punya nyokap. Nyokapnya punya kakak. Jauh banget, Mas! Enggak ada hubungannya sama lo!” "Tapi, Dek …, kakak dari nyokap temen deketnya pacar gue itu butuh mobil buat anterin anak temennya ke rumah sakit." "MAS!" jerit Mia lagi. Semakin pusinglah kepala Mia mendengar penjelasan Martin yang berputar-putar itu. "Ampun, Dek! Teriak mulu lo! Kaget gue." "Stop ceritanya!" "Gue belom selesai jelasin loh," ujar Martin dengan wajah sedih. "Gue enggak mau denger cerita lo yang aneh-aneh itu!" tolak Mia lelah. Tepat di saat itu, Mia merasakan bahunya diremas lembut oleh seseorang dari arah belakang. Menyusul kemudian pertanyaan dari sang pemilik tangan. "Na, ada masalah?" Tanpa perlu menoleh ke belakang, Mia langsung tahu siapa yang bertanya. Alih-alih merasa tenang, Mia jadi tambah sakit kepala. "Enggak ada," jawabnya datar. "Tadi aku dengar kamu teriak beberapa kali," ujar Lio dengan sikap melindungi. "Arcel?" sapa Martin ragu. Sontak Lio menatap ke arah sosok yang sejak tadi berdebat dengan Mia dan menimbulkan keributan. Perlahan matanya melebar. "Loh? Martin?" ujar Lio heran. "Sorry sorry, gue kira tadi ada yang gangguin Nona, ternyata kakaknya." Keduanya memang saling mengenal karena pernah bersekolah di tempat yang sama. Martin adalah senior Lio, mereka berbeda satu angkatan. Keduanya cukup akrab karena pernah sama-sama bergabung di OSIS. Ketika Mia sempat dekat dengan Lio pun, Martin tahu. Hanya saja, sudah lama tidak bertemu membuat Lio tidak langsung menyadari sosok Martin saat ini. Martin menatap keduanya bergantian kemudian tersenyum penuh arti. "Kalian melanjutkan yang tertunda?" "Apa deh, Mas?!" sentak Mia galak. "Abis ngapain dong Arcel di sini?" "Gue ada job di sini. Lo mau jemput Nona?" Mendengar panggilan khusus yang masih Lio gunakan untuk Mia, Martin langsung bersiul jail. “Panggilannya masih belum berubah ternyata.” "Bukan jemput. Malak mobil," gumam Mia sebal. "Hm?" Lio mengernyit bingung. "Gue cuma mau pinjem mobil dia doang," ujar Martin membela dirinya. "Cuma cuma, kalo mobil gue lo gondol, gue pulangnya gimana coba?" sahut Mia dongkol. "Gampang. Kan ada Arcel," usul Martin seenaknya. "Lo sembarangan banget deh kalo ngomong!" omel Mia kesal. "Aku enggak keberatan kok anter kamu pulang," celetuk Lio enteng. "Tuh kan, Arcel aja setuju!" sambut Martin senang. Mia menoleh ke samping dan memelototi Lio. "Ini lagi satu!" "Dek, lo galak amat sih," tegur Martin sambil meringis ngeri. "Mas, daripada pinjem mobil gue, mending lo pinjem mobil dia aja," usul Mia tiba-tiba. "Eh, jangan!” tolak Lio cepat. “Mending pinjem mobil kamu aja." "Kenapa?" tanya Mia. "Kalo Martin pakai mobil kamu, aku dengan senang hati antar kamu pulang. Kalau mobil aku yang dipinjam, kamu enggak akan mau antar aku. Yang ada aku ditelantarin di jalan." Sontak Martin terbahak puas. "Lo hafal banget kelakuan adek gue, Cel." "Lumayanlah," ujar Lio bangga. Melihat situasi yang menguntungkan untuknya, Martin tidak menyia-nyiakan kesempatan. "Jadi adek gue aman nih ya di tangan lo?" "Aman.” Lio langsung mengangguk mantap. “Enggak usah khawatir. Pasti gue antar sampai selamat ke apartemennya." "Emang lo tau dia tinggal di mana?" "Tau. Gue udah pernah datang dua kali." "Wah wah, Dek!” Martin pura-pura memasang wajah kecewa. “Lo enggak cerita-cerita tau-tau udah gini aja." "Lo jangan suka ambil kesimpulan seenaknya, Mas.” Mia melotot ke arah Martin, kemudian berganti ke Lio. “Dan kamu jangan suka cerita yang bikin orang jadi berasumsi aneh-aneh." Sebelum menyaksikan pertengkaran yang lebih heboh lagi, Martin segera melarikan diri. "Gue jalan dulu deh!" "Gue belum kasih izin lo bawa mobil gue loh, Mas." "Tapi kuncinya udah ada di gue, Dek." Martin tersenyum jail sambil menunjukkan kunci mobil Mia yang sejak tadi sudah berada di sakunya. "Kok bisa?" Mia mengernyit sebal. Martin mengedik senang. "Dikasih Chica." "CHA!" seru Mia benar-benar kesal. "Sampe ketemu lagi!" Martin langsung melambai kemudian berbalik badan, setengah berlari ia meninggalkan Mia. "Mobil gue!" jerit Mia putus asa. "Besok udah terparkir cantik di basement apartemen lo!" seru Martin. "Awas lo bohong lagi!" ancam Mia galak. Lio menggeleng geli melihat kelakuan sepasang kakak adik ini. Sejak menjadi adik kelas Martin dulu, ia memang tahu kalau Martin memang sosok jail yang senang menggoda orang lain. Namun, Lio tidak menyangka kalau Martin juga akan sejail ini pada adik satu-satunya. "Tunggu aku ya.” Lio menepuk pelan pundak Mia. “Bentar lagi kok. Kita pulang sama-sama." Kalau sudah begini, Mia bisa apa lagi. Mau sok jual mahal, tetapi ia tahu dirinya butuh bantuan. "Mbak, maaf," bisik Chica di samping Mia. Mia tidak menanggapi Chica, ia hanya sibuk melanjutkan kegiatannya membereskan peralatan makeup yang tertunda gara-gara kedatangan Martin tadi. "Mbak Mia …. Marah ya sama Chica?" tanya Chica takut-takut. Mia tetap diam saja. Ia malas menanggapi. Ia jengkel. Dan yang pasti, Mia senewen membayangkan dirinya lagi-lagi harus berada semobil dengan Lio dalam waktu cukup lama. "Mbak?" Chica memegang ujung baju Mia dan menggoyangnya perlahan. "Enggak tau, Cha!” sentak Mia keki. “Jangan ngomong sama gue. Gue sebel." "Yah, Mbak …. Maafin Chica," ujar gadis itu memelas. Dan Mia yang sesungguhnya berhati baik, mana tega marah lama-lama? Mia memang mudah kesal, tetapi ia juga mudah memaafkan. Akhirnya, ditatapnya juga Chica yang sejak tadi terlihat gelisah dan merasa bersalah. "Kamu kok bisa-bisanya nurut aja sama Mas Martin sih? Udah tau dia suka ngaco. Hobinya ngerjain aku. Malah diturutin aja semua kata-kata dia." "Maaf, Mbak. Chica suka enggak tahan liat senyumnya Mas Martin," aku Chica apa adanya. Mia menggeleng lelah. "Emang senyumnya dia bisa bikin dua koper aku ini terbang balik ke kandangnya?" Mia tahu kalau diam-diam Chica sebenarnya menaruh hati pada Martin. Tidak heran memang, harus Mia akui kakaknya memang tampan. Sayang saja kelakuannya minus dan sering menyebalkan. "Na, udah …. Jangan marah-marah lagi. Kan ada aku." Tiba-tiba saja sumber kepusingan Mia yang lain kembali. "Justru ada kamu aku jadi tambah sakit kepala.” Mia mencibir sinis. "Kok, gitu?" tanya Lio geli. "Tau sendiri aku males banget deket-deket kamu, ini malah nawarin nganter aku pulang. Kan enggak kira-kira." "Aku cuma berniat baik loh, Na. Masa salah juga?" Lucunya, semakin Mia ketus, Lio malah semakin suka. Sama sekali tidak ada rasa tersinggung di hati Lio. "Salah.” Lalu tanpa sadar Mia melanjutkan dengan nada sendu. “Karena setelah baik-baikin aku biasanya kamu hilang.” "Hm?" Sontak Lio terkejut. Salahkah yang ia dengar barusan? "Enggak!" Mia menggeleng cepat. Sadar kalau dirinya sudah terlepas bicara. Lio paham kalau Mia tidak berniat melanjutkan percakapan tadi. Maka, ia pun tidak memaksa. "Kita pulang sekarang?" "Ini enggak ada tumpangan lain selain kamu ya?" Mia masih berharap akan ada orang lain yang menyelamatkannya dari situasi ini. "Enggak ada.” Lio menggeleng geli. Tangannya dengan sigap langsung mengambil kedua koper Mia. Kalau koper sudah disita, Mia tidak mungkin kabur. Seluruh hartanya ada di kedua koper ini. “Kalau pun ada pasti aku bikin jadi enggak ada." "Hah? Maksudnya gimana?” tanya Mia sambil mengejar Lio yang sudah melangkah lebih dulu menuju mobilnya. Lio menoleh ke samping lalu tersenyum manis. “Maksudnya enggak akan ada yang berani kasih kamu tumpangan, kecuali mereka mau kena masalah sama aku.” “Seenaknya banget sih kamu!” protes Mia sebal. “Sok banget atur-atur urusan orang lain.” “Urusan kamu itu ya urusan aku, Na,” jawab Lio tenang. “Anak-anak lain juga tau itu.” “Hah?” “Mereka tau ada sesuatu yang spesial di antara kita,” ujar Lio lagi. “Dasar gila!” Mia bergidik ngeri. “Lama-lama kamu nakutin tau!” Lio memasukkan kedua koper Mia ke dalam bagasinya dengan tenang. Usai menutup bagasi, Lio bersandar pada bagian belakang mobilnya kemudian menatap hangat ke arah Mia. “Aku enggak gila, Na. Cuma beruntung aja kalau menyangkut urusan sama kamu.” Ditatap demikian oleh Lio, Mia jadi salah tingkah. “Udah aku bilang kan, selalu ada cara buat dekat-dekat sama kamu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD