“Mau ke mana?” Lio menghadang langkah Mia tepat di depan gadis itu.
Melihat sosok di hadapannya, Mia hanya bisa menarik napas dalam dan mengembuskannya kuat-kuat.
Untuk keenam kalinya dalam dua bulan terakhir Mia kembali bertemu di proyek yang sama dengan Lio. Lama-lama, Mia sudah tidak terkejut lagi setiap kali datang ke lokasi dan bertemu dengan tim Klix. Kalau tidak di Jumat, Sabtunya pasti bertemu. Kalau tidak Sabtu, mungkin di Minggu. Bisa juga tiba-tiba di weekdays. Jadi bisa dikatakan, sekali dalam seminggu, dari sekitar dua sampai empat proyek yang Mia tangani, satunya pasti bersama Klix.
Seperti hari ini. Mia akan merias Adela dan Adila, sepasang gadis kembar yang mau melakukan sesi pemotretan untuk ulang tahun ke-17 mereka. Lokasinya hanya di rumah mereka saja, karena tempat tinggal keduanya memang sudah sangat memadai untuk melakukan sesi pemotretan. Indah dan megah.
“Toilet,” jawab Mia dingin, setelah itu ia langsung memutar tubuhnya dan berniat berjalan menjauhi Lio.
Namun, Lio jelas tidak akan melepaskan Mia begitu saja. Ia langsung mengejar Mia dan kembali menghadang langkah gadis itu. Mau menghindar ke kiri, ada meja kursi, mau ke kanan ada kolam renang. Jadi pilihan Mia hanya diam di tempat kalau tidak mau tercebur ke kolam.
“Kenapa putar arah?” tanya Lio dengan wajah jail.
“Enggak kok,” bantah Mia. “Orang mau ke toilet.”
Lio tertawa geli lalu menunjuk ke arah belakang Mia. “Toilet di sana, Na.”
“Oh …, masa?” sahut Mia berlagak pilon.
“Menghindari aku lagi ya?” tebak Lio geli.
“Enggak tuh,” bantah Mia. Ia segera berbalik arah dan meninggalkan Lio. Pemuda itu tidak menghadangnya lagi, tetapi kali ini mengiringi langkah Mia menuju toilet yang terletak di ujung halaman belakang rumah si kembar.
“Ngapain ikutin aku?” tanya Mia ketus.
“Mau ke toilet.”
Mia tidak lagi mempedulikan Lio. Diabaikannya saja pemuda itu dan segera menuntaskan kebutuhannya. Namun, begitu keluar dari toilet, Mia tercengang melihat Lio menungguinya. Pemuda itu tengah bersandar di dinding, terlihat santai dan menawan. Sial! Kenapa Mia malah mengagumi sosok Lio saat ini?
“Udah selesai?” tanya Lio begitu melihat Mia keluar dari toilet.
“Kamu nungguin aku?”
“Iya.” Bukannya mengelak, Lio malah mengakuinya dengan bangga.
“Ngapain?”
“Jagain kamu aja.”
Mia mencibir ketus. “Aneh.”
Alih-alih tersinggung atau menjauh karena sikap ketus Mia, Lio tetap saja menjaga jarak sedekat mungkin dengan gadis itu.
“Ternyata feeling kamu benar ya, Na. Hebat!” puji Lio sambil mengiringi langkah Mia kembali ke tempat gadis itu akan merias si kembar.
Mia melirik curiga. “Feeling apa?”
“Soal kita akan ketemu lagi.”
“Makanya aku bilang juga kemarin itu sia-sia,” ujar Mia sinis.
“Udah aku bilang enggak sia-sia,” bantah Lio tidak setuju. “Aku malah jadi punya alasan buat ketemu kamu. Sering-sering aja ninggalin barang di lokasi, Na. Biar aku bisa sering-sering datengin kamu.”
Mia membelalak tidak percaya mendengar ucapan Lio yang seenaknya. “Yang ada aku bakal pastiin mulai sekarang bakal beberes seteliti mungkin supaya enggak ada lagi kejadian barang aku ketinggalan kayak minggu lalu.”
“Aku masih bisa cari cara lain buat ketemu kamu,” balas Lio tidak habis akal.
Refleks Mia berhenti melangkah dan menatap gusar ke sampingnya. “Kamu tuh ada masalah apa sih sama aku?”
“Masalah apa, Na?” tanya Lio polos.
Mia mengentakkan kakinya. “Ya mana aku tau!”
Lio terus saja bersikap pura-pura tidak paham. “Aku enggak ngerasa ada masalah sama kamu.”
“Tapi kamu cari gara-gara terus!” desis Mia jengkel. Maunya menjerit, tetapi Mia sadar diri. Di sini terlalu banyak mata dan telinga yang akan menjadi saksi perdebatan mereka.
“Aku enggak cari gara-gara, Na. Cuma cari cara buat dekat sama kamu.”
Jawaban Lio yang terlalu terang-terangan itu membuat Mia semakin sakit kepala. Mau ditanggapi lagi, Mia sadar ia tidak akan menang berdebat dengan Lio. Akhirnya, Mia memutuskan menyerah saja.
“Terserah kamu aja deh. Sebebas kamu aja mau apa.”
“Makasih buat izinnya, Na.” Lio berujar senang kemudian mengacak rambut Mia, setelahnya pemuda itu berlari menjauh menuju tempat teman-temannya yang lain.
“Hei!” seru Mia terkejut.
Lio melambai ceria sambil terus berlari menjauh. “Aku kerja dulu ya! Nanti kita ngobrol lagi.”
“Tumben akur, Mbak.” Chica langsung berkomentar begitu Mia kembali ke pos mereka, yaitu area di teras belakang rumah Adela dan Adila yang luasnya bisa untuk membangun beberapa rumah subsidi.
“Akur akur!” desis Mia sewot. “ Apanya yang akur?”
Untung saja si kembar belum ada, jadi Mia bisa menyalurkan hasratnya untuk marah-marah dengan bebas.
“Abis ngobrol sama Mas Lio kan?” tanya Chica bingung. Atau dirinya salah lihat?
“Ngomong. Bukan ngobrol.”
Chica langsung menggaruk kepalanya. “Beda ya?”
“Ngobrol itu ada niat. Ngomong itu terpaksa.”
“Ohh ….” Chica segera manggut-manggut sebelum Mia bertambah keki kalau ia minta penjelasan lagi.
Tidak berapa lama, si kembar datang dan tenggelamlah Mia serta Chica dalam kesibukan mereka. Untuk sekitar satu jam berikutnya, suasana begitu kondusif. Sampai ketika pekerjaan Mia hampir rampung, tiba-tiba Mamat datang menghampiri dan membawakan dua gelas jus stroberi.
“Mbak, diminum,” ujar Mamat sambil terlihat kebingungan mencari tempat untuk meletakkan jus di antara tumpukan alat makeup Mia yang seabrek.
Mia yang tengah melakukan sentuhan akhir untuk wajah Adila langsung menghentikan gerakannya. Dengan penuh kecurigaan, Mia menatap Mamat. “Dari siapa?”
“Dari Mas Lio. Ini yang buat Mbak Mia, less sugar, tanpa s**u. Karena Mbak Mia sukanya jus yang asem kecut kata Mas Lio. Kalo buat Chica yang normal, manis legit seger.”
Mia membelalak tidak percaya mendengar pesanan Lio untuk dirinya yang baru saja Mamat jabarkan. Benar-benar keterlaluan Lio itu!
“Sama ini juga, buat Mbak Mia kalo mau duduk.”
“Hah?” Mia mengernyit bingung melihat jaket kulit berwarna coklat gelap yang Mamat sodorkan. Kemungkinan besar itu adalah milik Lio. “Buat apa?”
“Buat nutupin kaki Mbak Mia katanya.”
Seketika Mia melongo. Hari ini Mia memang memakai baju terusan. Kalau biasanya ketika merias Mia hampir selalu memakai celana panjang atau pendek, kali ini ia memilih dress karena tahu lokasinya hanya di rumah saja.
“Dari dia juga?” Akhirnya hanya itu kata yang mampu Mia ucapkan saking terkejut dengan kelakuan Lio yang di luar dugaan.
“Iya, katanya kasian Mbak kalau duduk nanti enggak nyaman. Mas Lio tadinya mau kasihin sendiri, tapi tanggung lagi atur set. Jadi nitip sama Mamat deh.”
Usai menyampaikan mandat dari Lio, Mamat segera berlalu.
“Wih, hebat loh ...!” desah Chica takjub.
“Mas Lio perhatian banget sama Mbak Mia,” celetuk Adela.
Adila mengangguk setuju. “Pengin deh punya pacar kayak Mas Lio. Udah ganteng, perhatian banget, jago motret lagi.”
Mia menatap tidak percaya pada si kembar yang terlihat demikian memuja Lio. Belum tahu saja mereka seperti apa aslinya. Namun, Mia pantang menjelekkan rekan sesama vendor di hadapan klien. Jadi, Mia harus menunggu sampai si kembar meninggalkan mereka untuk bergabung bersama tim Klix di set.
“Enggak ngerti deh sama maunya orang itu,” keluh Mia sebal setelah ia tinggal berdua saja dengan Chica. “Ngapain sih dia kayak gini.”
“Bukannya udah jelas ya Mbak?”
“Jelas apa?”
“Mas Lio kasih perhatian lebih mungkin karena masih punya perasaan sama Mbak Mia.”
“Ck! Enggak mungkin banget,” bantah Mia cepat.
“Kenapa enggak mungkin?” Tita yang entah baru datang dari mana, tiba-tiba langsung ikut nimbrung.
Mia mengembuskan napas perlahan. “Kalo emang dia masih punya rasa sama aku, ke mana aja dia selama ini?”
“Mungkin Mas Lio baru sadar kalo dia masih punya perasaan sama Mbak Mia,” ujar Chica.
“Atau Mas Lio baru punya keberanian buat mendekati Mbak Mia,” imbuh Tita.
“Bukannya karena dia pengin ngerjain aku lagi?” tanya Mia penuh curiga.
“Kok mikirnya jelek gitu Mbak?” tanya Chica kaget.
“Karena bukan cuma sekali dia ngasih harapan terus pergi gitu aja ninggalin aku.”
“Mbak Mia pernah deket lagi sama Mas Lio setelah kejadian waktu SMA itu?” tanya Tita hati-hati.
Mia mengangguk kecil. “Pas kuliah.”
“Jadian?” tanya Chica.
“Enggak.”
“TTM lagi?” tanya Chica lagi.
“Begitulah.”
“Terus tiba-tiba pergi lagi?” tebak Tita.
“Lain kali deh gue ceritain.” Mia segera mengelak dari topik bahasan yang berpotensi membuat suasana hatinya buruk. “Lagi enggak mood.”
“Tapi, Mbak. Pas kuliah itu status Mbak Mia masih dijodohin sama Mas B?” tanya Chica penasaran.
“Awal-awal iya.”
Chica manggut-manggut paham. “Mas Lio tau enggak sih kalo Mbak Mia itu dijodohin?”
“Hm?” Mia terbengong beberapa saat sebelum akhirnya mengangkat bahu. “Entah ya, gue sendiri enggak yakin.”
“Mungkin enggak kalo Mas Lio itu menjauh karena tau Mbak Mia dijodohin?” tanya Tita.
Mia mengembuskan napas perlahan. “Enggak tau ya. Aku enggak pernah kepikiran ke sana sih selama ini, karena enggak yakin apa dia tau soal aku dijodohin atau enggak.”
“Tapi Mbak Mia enggak pernah cerita langsung ke Mas Lio?” tanya Chica.
“Ya enggaklah! Buat apa cerita soal perjodohan enggak mutu itu.”
“Jadi penasaran. Kira-kira Mas Lio tau apa enggak ya …?” gumam Tita pelan.
Setelah obrolannya dengan Tita dan Chica, sepanjang hari Mia jadi memikirkan kemungkinan itu. Benarkah Lio menjauh karena mendengar soal perjodohannya dulu? Mia sampai tidak sadar kalau ia terus mengamati gerak-gerik Lio seharian itu. Ke mana saja Lio bergerak, mata Mia selalu mengikuti. Dan ketika tiba-tiba sang objek pengamatan muncul di hadapannya, Mia tidak bisa lagi mengelak.
“Ngeliatin aku terus, Na. Kangen?” Lio duduk berselonjor di lantai, persis di sisi Mia. Terlihat kelelahan dan berkeringat.
Mia mendelik horor. Separah itukah ia melamun sampai tidak menyadari kehadiran lelaki ini?
“Siapa juga yang liatin kamu?” Mia berdecak sinis.
“Ya kamu.” Tanpa permisi Lio mengambil jus stroberi yang tadi ia belikan untuk Mia lalu menyedotnya. Jus yang tadinya hanya tinggal tersisa sepertiga lagi, kini tandas sudah. “Asem banget, tapi seger.”
Mia tambah melotot melihat Lio menghabiskan minumnya tanpa izin. Sebenarnya lebih kepada rasa terkejut karena secara tidak langsung mereka berbagi minum bersama.
“Jangan melotot, Na. Nanti aku beliin lagi deh.”
“Enggak usah!” tolak Mia ketus.
“Na, jadi kenapa liatin aku terus tadi?”
“Astaga! Dibilang enggak!” sahut Mia gemas. “Apa yang salah sama kamu sih sampe jadi kepedean kayak gini?”
“Enggak ada yang salah sama aku sih, Na. Semua normal.”
“Normal apanya? Kamu nakutin tau.”
“Bagian mana yang nakutin, Na?”
“Sok dekat, sok akrab, sok perhatian. Pokoknya semua deh,” ujar Mia sinis. “Aku jadi penasaran, udah berapa banyak cewek yang jadi korban kamu selama ini.”
“Korban?”
“Korban dari sikap kamu yang begini. Pasti banyak yang salah paham.”
“Kamu termasuk yang salah paham?” tanya Lio geli.
“Enggak. Aku bisa bedain mana yang serius mana yang main-main. Tapi enggak tau ya cewek-cewek lain. Mungkin mereka bisa kena dibodohi sama kamu.”
“Aku kayak gini cuma ke kamu aja kok, Na.” Lio menengadah dan menatap Mia sungguh-sungguh. “Khusus kamu. Ke perempuan lain enggak pernah.”
Untuk beberapa saat Mia hampir terhipnotis oleh suara lembut Lio. Namun, ia segera mengingatkan dirinya. Dia bukan lagi remaja SMA yang mudah diperdaya oleh cinta monyet.
“Mending kamu begininya ke cewek lain aja deh. Jangan ke aku,” ujar Mia sebal.
“Enggak mau,” tolak Lio disertai senyum manis.
“Kenapa enggak mau?”
“Ya maunya cuma ke kamu aja.”
“Kenapa harus ke aku? Kenapa bukan ke yang lain aja?” tuntut Mia jengkel.
Lio kembali menatap Mia serius kemudian tersenyum lembut. “Karena buat aku, cuma kamu yang spesial.”