17. Topik Gosip

1704 Words
"Wah wah wah …, ternyata gitu ceritanya." Chica bergumam pelan usai Mia mendongengkan kisah masa remajanya. “Chica enggak pernah kebayang Mbak Mia pernah ngalamin yang namanya dijodohin.” “Enggak masuk akal banget kan buat kehidupan zaman sekarang,” sahut Mia sebal. Lain dengan Chica yang langsung berkomentar, Tita hanya terdiam. Alhasil, Mia jadi curiga. Dicoleknya pipi Tita yang masih terbengong-bengong. "Kenapa muka kamu?" "Hm?" Tita merespon setengah melamun. "Kenapa diem aja?” tanya Mia heran. “Biasa paling suka komen." Tita menggeleng kecil kemudian tertunduk dalam. "Tita enggak tau mesti kasian apa ketawain Mbak Mia?" Mia mengernyit tidak mengerti. "Maksudnya?"  "Di satu sisi kasian sama Mbak Mia. Enggak nyangka nasib Mbak Mia pernah semalang itu. Tapi di sisi lain pengin ngakak juga. Kok bisa Mbak Mia seapes itu. Sampe kemimpi-mimpi kawin sama ….” Tita tidak bisa melanjutkan kata-katanya lagi karena ia langsung tergelak kencang. Membayangkan Mia adu cium dengan barisan gigi yang menantang penuh percaya diri itu. Tita sampai sulit menghentikan tawanya. “Kurang ajar!” seru Mia geram. Refleks ia menerjang Tita dan menggelitik pinggang gadis itu. Mia baru berhenti setelah Tita merintih meminta ampun dengan air mata yang sudah berderai. “Terus Mbak Mia jadi dijodohin sama Mas B itu?” tanya Tita mencoba serius setelah tawanya reda. Mia memutar bola matanya dengan dramatis. “Lo kira gue bakalan masih hidup sampai hari ini kalo jadi dikawin sama dia?” “Beuh, ngeri!” seru Chica tertahan. “Maksudnya Mbak Mia mau …,” ujar Tita sambil melakukan gerakan membuat garis di leher. “Krek.” Mia mengedik cuek. “Mungkin.” “Ih, amit-amit, Mbak!” seru Chica terkejut. Tak pernah disangkanya sang bos bisa berpikiran sesempit itu. “Ya gimana lagi dong?” balas Mia putus asa. “Daripada gue hidup sengsara.” “Emang Mas B itu jahat?” tanya Tita penasaran. Mia menggeleng tidak peduli. “Enggak tau.” “Terus apa yang bikin Mbak Mia enggak mau?” tanya Chica tidak habis pikir. “Penampakannya ngeri edan! Udah gitu mukanya boros pula.” Mia masih saja bergidik setiap kali teringat foto yang berhasil Martin dapatkan dengan susah payah.  “Terus pas ketemu sama Mas B, Mbak Mia langsung kabur gitu?” Setengah mati Tita berusaha menahan dirinya agar tidak sampai tertawa, atau Mia akan meradang. Mia kembali bergidik. “Gue enggak pernah ketemu.” Chica mengernyit bingung. “Enggak pernah ketemu?” “Hooh. Kalo sampe ketemu, bisa langsung muntah di tempat gue.” “Kok bisa enggak ketemu-ketemu?” tanya Chica lagi. “Ya bisalah. Gue selalu pake jurus menghindar.” “Terus jadinya batal?” tanya Tita. “Akhirnya iya.” Chica menatap Mia dengan sangat penasaran. “Gimana caranya?” “Nanti lagi deh cerita soal dianya,” tolak Mia cepat. “Udah mabok gue inget-inget soal dia.” “Kalo gitu kita balik ke bahan gosip utama,” ajak Tita. “Siapa?” tanya Mia polos. Tumben-tumbenan gadis ini tidak lekas tanggap. Mungkin pengaruh mengingat-ingat masa kelamnya dijodohkan dengan Broto membuat otak Mia menciut sesaat. “Mas Lio dong!” sahut Tita kesenangan. Mia langsung menatap sinis. “Mau nanya apa lagi soal dia?”  “Banyak dong!” Tita menjawab ceria. Sama sekali tidak terpengaruh dengan sikap ketus Mia. “Betul itu!” dukung Chica. “Mbak Mia kan baru cerita soal Mbak dijodohin terus sikap Mas Lio yang tiba-tiba jaga jarak. Tapi Mbak belum cerita kenapa menjauhnya. Terus gimana endingnya sampai Mbak Mia jadi dendam kesumat gini sama Mas Lio.” “Nah, itu! Bener banget!” seru Tita setuju. “Kalo cuma tiba-tiba jaga jarak, masa iya Mbak Mia sampe segitu sebelnya sama Mas Lio.” Mia menggeleng tidak percaya. “Kalian tuh insting berburu gosipnya luar biasa ya.” Cepat-cepat Chica duduk tegak lalu berlagak bak presenter gosip terkenal. “Jadi …, apakah yang terjadi selanjutnya antara Mikaela Winona Senjaya dengan ….” Ucapan Chica segera terhenti dan wajahnya terlihat kebingungan. “Siapa nama lengkap Mas Lio?” “Arcelio Gillean,” jawab Tita cepat. “Nah! Jadi-”  “Enggak usah diulang!” Hardikan Mia segera menghentikan ucapan Chica.  “Maap.” Chica menunduk-nunduk sambil nyengir. Namun, ia tidak takut untuk terus memaksa Mia bercerita. “Jadi?” “Gitu aja,” jawab Mia malas. “Gitu gimana?” desak Tita. “Ya gitu aja.” “Ganti deh pertanyaannya,” ujar Chica tidak kurang akal. “Apa yang bikin Mbak Mia jadi benci setengah mati sama Mas Lio?” “Dia bikin aku ngerasa dipermainkan.” Dan lucunya, begitu pertanyaan diganti, segera meluncurlah jawaban itu. “Widih, ngeri bahasanya!” goda Tita geli. “Dimainin gimana, Mbak?” Chica terus bertanya bagai binatang buas yang sekalinya menggigit mangsa maka tidak akan dilepas. “Dia cium cewek di depan muka aku.” Tita langsung melotot. “Kapan?” Chica berkedip cepat saking terkejut. “Gimana kejadiannya?” “Kejadiannya pas prom night gitu.” Meski enggan mengingat, akhirnya Mia bercerita juga. “Tadinya dia itu mau ajak aku. Harusnya aku yang jadi pasangan dia di prom. Tapi tau-tau dia dateng sama cewek lain.” “Pacarnya?” tebak Chica. “Bukan.” “TTM?” tebak Tita. “Mungkin.” Mia mengedik tidak peduli. “Di prom itu mereka keliatan mesra banget, dan bangkenya mereka tau-tau ciuman pas kebetulan aku lewat.” Kalau ingat kejadian malam itu, meski sudah berlalu hampir sepuluh tahun, tetap saja hati Mia masih terasa geram. Dongkolnya masih sampai ke ubun-ubun. Kecewanya masih terasa menyesakkan. Maklum, cinta pertama selalu berkesan, bukan? “Mas Lio nyadar ada Mbak Mia waktu itu?” tanya Chica. “Nyadarlah. Orang dia liat aku lewat.” “Terus?” tanya Tita penasaran. “Dia biasa aja.” Tita membelalak heran. “Enggak kaget ketangkep basah?” “Enggak. Dia santai aja.” “Enggak keliatan ngerasa bersalah?” tanya Chica bingung. “Boro-boro. Dia cuek aja. Malah cengar-cengir.” “Terus abis kejadian itu kalo ketemu gimana?” tanya Tita. “Udah enggak ketemu lagi.” “Kenapa?” tanya Chica hati-hati karena melihat wajah Mia yang mulai mendung. “Kan dia udah lulus SMA.” Mereka memang terpaut dua angkatan hingga Mia hanya merasakan setahun bersama Lio di SMA. Tita mengangguk paham. “Abis itu masih sempat kontak-kontakan?” “Enggak pernah. Hilang gitu aja tanpa kabar tanpa kejelasan.” Melihat wajah Mia yang berubah mendung, Tita dan Chica jadi tidak enak hati untuk melanjutkan kembali pertanyaan mereka. Namun, kali ini tanpa ditanya lagi, Mia malah bercerita sendiri. “Buat aku, dia itu ngasih luka yang keliatannya samar tapi susah hilang. Remeh tapi membekas. Dia bersikap baik, perlakuin aku spesial, seolah aku ini penting banget buat dia, tapi nyatanya dia pergi gitu aja. Kayak ngasih harapan tinggi terus banting ke comberan.” Untunglah suasana sendu itu tidak dibiarkan berlama-lama karena Tita segera menangkap bunyi bel apartemen Mia. “Mbak ada yang ngebel.” “Siapa yang dateng tengah malem gini?” gumam Chica bingung. “Aku liat dulu.” Mia segera beranjak dari tempat tidur. Begitu membuka pintu kamar, ia mengernyit melihat Tita dan Chica mengekor di belakangnya. “Ngapain kalian pada ngikut?” “Jaga-jaga, siapa tau orang jahat,” jawab Chica sok berani. “Siapa, Mbak?” tanya Tita begitu Mia selesai mengintip keluar dari lubang pintu. “Topik gosip kalian,” jawab Mia dingin. Mata Tita langsung melebar. “Mas B?”  “Gila!” omel Mia. “Mas L?” tebak Chica. “Hm.” Mia mengangguk membenarkan. “Kalo gitu kita menyingkir aja.” Chica segera menarik tangan Tita dan berjalan menjauh. “Eh, pada mau ke mana?!” seru Mia tertahan. Panik melihat keduanya minggat ke kamar. “Tidur,” sahut Tita sebelum masuk ke kamar. “Temenin dulu dong!” pinta Mia memelas. “Enggak ah!” tolak Chica kejam. “Sorry, Mbak. Kita ngantuk,” imbuh Tita untuk menyempurnakan alibi mereka. Pintu kamar langsung tertutup, dan tinggallan Mia seorang diri harus menghadapi Lio. Perlahan, dengan terpaksa, dibukanya juga pintu untuk Lio. “Mau apa ke sini?” “Aduh!” desah Lio sambil terkekeh. “Baru datang udah disembur lagi.” “Mau apa deh?” tanya Mia tidak sabar. “Cuma mau anterin ini.” Lio menyerahkan sebuah paper bag berukuran kecil ke arah Mia. “Apaan?” Mia melirik ke dalam tanpa mau membukanya. “Masa enggak tau itu apa?” Terpaksa Mia membukanya dan menemukan dua kotak makeup berukuran kecil miliknya. Sepertinya tercecer dari koper besar.  “Makasih,” ujar Mia cepat. “Sama-sama.” “Ada lagi?” tanya Mia setelah mereka berpandang-pandangan selama beberapa detik. “Kamu mau apa lagi?” balas Lio ramah. “Aku cuma tanya, apa kamu ada kepentingan lain lagi di sini?” Mia langsung mempertegas maksudnya karena sepertinya Lio salah paham. “Enggak ada sih. Aku cuma mau antar itu. Tapi kalau kamu mau aku melakukan sesuatu yang lain, aku enggak keberatan.” “Bukan gitu!” Mia menggeleng senewen. “Maksud aku, ngapain ke sini kalo cuma buat anterin ini doang? Buang-buang waktu.” “Enggak buang waktu kok menurut aku,” bantah Lio. Mia mencibir sinis. “Apanya yang enggak buang waktu coba? Sengaja dateng ke sini cuma buat hal enggak penting.” “Buat aku, ketemu kamu itu penting,” jawab Lio santai. Mia mengembuskan napas keras-keras. Lelah menghadapi kelakuan Lio yang menyebalkan. “Intinya kenapa enggak dikasihin nanti aja?” “Nanti kapan?” “Kalo kita proyek bareng lagi.” “Wah!” Seketika wajah Lio jadi sumringah. “Aku enggak nyangka ternyata kamu berharap kita bakal proyek bareng lagi.” “Ya, Tuhan! Gini-gini amat ini orang ...,” desah Mia putus asa. “Siapa juga yang ngarep ketemu kamu lagi?” “Tadi kamu sendiri yang bilang. Nanti aja kalau proyek bareng lagi. Berarti kamu punya keyakinan kita bakal ketemu lagi.” Mia memejamkan matanya sesaat. Baru sadar kalau Lio begitu pandai membolak-balik dan mengambil kesimpulan sesukanya dari perkataan Mia. “Biar aku enggak mau, tapi enggak tau kenapa perasaan aku bilang kita bakal ketemu lagi,” ujar Mia ketus. “Aku aminkan.” Lio langsung mengangguk sambil tersenyum sangat lebar. “Kita akan ketemu lagi dalam waktu dekat.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD