"Kenapa sih harus bareng dia lagi?" tanya Mia geram ketika melihat serombongan tim fotografer dan videografer yang baru turun dari mobil.
Setelah mati-matian menghindari Lio seminggu terakhir ini, tepatnya sejak keributan dengan Dewi pekan lalu, akhirnya Mia harus menerima kenyataan kalau ia tidak bisa menghindar lagi. Padahal, Mia sudah berhasil mengabaikan Lio sejauh ini. Mulai dari mendiamkan Lio di parkiran Lumiere, lalu mengabaikan panggilan dan pesan yang pemuda itu kirimkan. Anehnya, Lio gigih sekali untuk mencoba berbicara dengan Mia.
"Emang kenapa, Mbak?" Tita yang berdiri di sebelah Mia langsung mengernyit bingung. Pikirnya, Mia sudah tidak terlalu bermasalah dengan Lio. Toh, akhir-akhir ini intensitas kejengkelan Mia terhadap Lio sedikit berkurang.
"Ta, emang Luminous enggak punya kerja sama bareng vendor foto yang lain apa?” gerutu Mia jengkel. Wajahnya terlihat sangat judes ketika melirik tajam ke arah satu dari kelima pemuda yang baru turun dari mobil.
"Eh?" Pertanyaan Mia jelas membuat Tita melongo.
"Cuma ada satu doang?" cecar Mia tidak sabar.
"Ada yang lain kok, Mbak," jawab Tita takut-takut.
"Terus kenapa gue ketemunya sama dia lagi dia lagi?" keluh Mia sambil menendang pasir-pasir di bawah kakinya. Hari masih pagi, tetapi suasana hatinya sudah anjlok begitu melihat sosok yang sangat tidak diinginkannya kembali muncul.
Lebih menyebalkan lagi ketika sosok itu tiba-tiba muncul di belakang Mia dan berbisik di telinganya. "Kamu ada masalah sama aku?"
Refleks Mia menoleh cepat. Matanya memicing sinis ke arah pemuda yang berdiri menjulang di belakangnya.
"Cilaka …," desis Tita horor ketika melihat sosok Lio yang entah sejak kapan sudah berdiri di dekat mereka.
Dipelototi oleh Mia tidak membuat Lio takut. Pemuda itu malah tersenyum dengan santainya. "Kamu keberatan kerja sama bareng aku?"
"Duh, Gusti!" erang Tita senewen. Matanya bekerja cepat mencari sosok Chica yang entah sedang menghilang ke mana. Saat ini Tita butuh teman, karena kalau Mia dan Lio sudah bertemu, siap-siap saja terjadi petaka. Sudah beberapa kali terjadi dan Tita pasti jadi kelimpungan.
"Kenapa diam?" goda Lio. "Jawab dong!"
"Mas Lio, Mbak Mia gapapa kok sama Mas Lio." Cepat-cepat Tita menjawab untuk menengahi keduanya. "Enggak ada masalah."
"Yakin?" Lio tersenyum sangsi. "Bukannya tadi lagi marah-marah?"
"Enggak enggak!" Tita menggeleng panik sambil menggoyangkan kedua tangannya. "Mbak Mia bukan kesel sama Mas Lio. Mbak Mia itu-"
Sayang! Tita tidak sempat menyelesaikan ucapannya karena keburu dipotong oleh Mia.
"Iya! Aku kesel sama kamu. Aku keki, aku jengkel, aku APEK ketemu sama kamu terus!" sahut Mia kejam.
Tita yang sudah hafal tanda bahaya ini, langsung bergerak menjauh dengan gesit. Lebih baik ia melarikan diri sebelum ketiban sial. Lebih baik mengurusi tugasnya sendiri dan cari aman.
"Emangnya kita ketemu sesering itu ya?" balas Lio santai.
"Coba aja kamu pikir sendiri! Udah berapa kali kita project bareng?" tanya Mia gemas.
Lio mengernyit, berlagak berpikir, kemudian menggeleng pasrah sambil mengangkat bahu. "Sorry, aku enggak ngitungin. Banyak kerjaan lain yang lebih penting untuk diurus daripada ngitungin berapa kali kita ketemu."
Mendengar jawaban Lio yang seenaknya, sontak Mia mendelik sebal sambil mengumpat pelan. "Euh, cucunguk …!"
"Hm?" Lio menatap Mia dengan pandangan bertanya. Entah tidak mendengar jelas ucapan gadis itu, entah tidak mengerti bahasanya.
"Aku kasih tau ya! Dalam tiga bulan terakhir, kita itu udah kena 10 kali proyek barengan!" sahut Mia dongkol.
"Terus apa masalahnya?" balas Lio santai.
"Masalahnya kenapa harus ketemu terus?!" Tanpa sadar Mia mengentakkan kakinya. "Dari sekian banyak vendor foto dan makeup artist di Jakarta ini, kok bisa-bisanya ketemu lagi ketemu lagi."
"Mungkin jodoh," celetuk Lio.
"Jodoh huntumu!" desis Mia geram.
"Kamu enggak percaya?" tanya Lio geli.
"Enggak!" sahut Mia galak. "Sial banget aku jodohnya sama kamu."
"Gimana kalau selanjutnya kita bakal ketemu lagi terus-menerus?" Semakin jengkel Mia, semakin senang Lio menggoda gadis itu.
"Ogah banget!" Mia mendelik horor. "Mending aku sepi job daripada kerja bareng kamu lagi."
"Kamu serius?"
Saking kesalnya dengan sikap Lio, Mia sampai kehabisan ide untuk menyahuti pemudi itu.
"Mau taruhan?" tantang Lio.
"Dih, taruhan!"
"Mau enggak?" desak Lio.
Mia mendengkus malas. "Taruhan apa?"
"Umur kamu berapa?"
Mia memicing curiga. "Ngapain tiba-tiba nanya umur?"
"Jawab aja," sahut Lio tenang. "Umur kamu berapa?"
"Dua tujuh," sahut Mia singkat.
"Kapan ulang tahun?" Padahal tanpa perlu bertanya, Lio jelas ingat usia Mia dan hari ulang tahun gadis itu.
"Tujuh bulan lagi." Meski malas, dijawabnya juga.
"Oke. Gini taruhannya." Lio berdeham kemudian tersenyum jail. "Kalau sebelum hari ulang tahun kamu kita ada proyek bareng sampai 27 kali, kamu harus mengakui kalau kita memang berjodoh."
"Ogah banget!" seru Mia penuh penolakan.
"Dan enggak cuma itu," lanjut Lio semakin menjadi. "Kamu harus bersedia menerima lamaran aku dan nikah sama aku."
"OGAH! EMOH! ENGGAK MAU!" jerit Mia sengit. Ia tidak peduli kalau pertengkarannya dengan Lio didengar orang lain. Toh para kru yang lain juga sudah terbiasa melihat mereka bertengkar.
Namun, setelah marah dengan sangat berapi-api pada Lio, Mia baru menyesal. Ia teringat kata-kata Elle beberapa waktu lalu. Kalau tidak ada apa-apa, marahnya akan biasa saja. Namun, kalau marahnya sampai tidak wajar, berarti ada sesuatu. Benarkah dirinya masih menyimpan rasa untuk Lio?
Kesal pada dirinya sendiri, jengkel pada Lio, Mia akhirnya memutuskan berlari menjauh, mencari tempat sepi untuk menenangkan diri.
Mendengar jeritan histeris Mia, Chica dan Tita langsung berhamburan mengejar gadis itu.
"Mbak Mia kenapa?" tanya Chica panik begitu berhasil mengejar bosnya.
"Gila! Dasar gila!" jerit Mia keki.
"Mas Lio ngapain Mbak Mia?" tanya Tita khawatir.
"Gila! Enggak abis pikir sama orang itu. Otaknya kenapa deh?!" gerutu Mia gusar. Ia mengempaskan bokongnya ke atas pasir dan duduk sembarang. Mia harus segera menenangkan diri agar bisa berkonsentrasi menyelesaikan tugasnya hari ini.
"Mas Lio kurang ajar sama Mbak Mia?" tanya Chica kebingungan. Pasalanya, ia sedang menghilang ke toilet tadi. Betapa terkejutnya Mia begitu kembali dan melihat bosnya mengamuk.
"Banget!"
"Mas Lio ngomong apa sih, Mbak? Kurang ajar gimana?" tanya Tita tidak habis pikir.
"Dia ngajakin aku taruhan?"
"Taruhan?" Chica dan Tita refleks mengulangnya sambil berpandangan heran.
"Bayangin ya! Masa dia ngajakin taruhan dengan konsekuensi aku harus mau nikah sama dia! Gila kan!"
Sontak Chica dan Tita saling senggol dengan kepala tertunduk. Mereka dilanda dilema, antara ingin tergelak atau berpura-pura simpati pada Mia, karena jujur saja hal itu terdengar lucu bagi keduanya.
"Ngapain kasak-kusuk berdua?" tanya Mia galak.
"Enggak kenapa-kenapa, Mbak. Tita balik ke sana dulu ya, kliennya udah dateng." Cepat-cepat Tita melarikan diri agar bisa tergelak bebas, tetapi terhindar dari amukan Mia.
Chica pun sama. Untuk kali ini ia sama sekali tidaj kasihan pada Mia. "Chica juga ke sana dulu ya, bantuin Tita. Mbak Mia tenang-tenang dulu aja di sini. Chica bisa handle kok."
Keduanya langsung berlari cepat-cepat, kemudian setelah berada cukup jauh mereka tertawa kompak hingga puas. Tinggallah Mia dengan kedongkolannya yang semakin menggunung.
***
Sore harinya, ketika ada jeda istirahat sebelum memasuki sesi pemotretan terakhir, Lio menghampiri Mia. Dengan santainya pemuda itu duduk persis di sebelah Mia, bahkan menatap hangat pada gadis itu dengan senyum manis terus menghiasi wajahnya. Orang yang tidak tahu tentang kenyataan mereka sering bertengkar bagai kucing dan anjing, pastilah akan berpikir keduanya sangat akur dan akrab.
"Mau ngapain deket-deket?" tanya Mia dingin.
Lio menopangkan dagunya di atas lutut sambil memandangi Mia sedemikian rupa. "Kenapa sih kamu tiap lihat aku kayak lihat musuh bebuyutan?"
"Emang kenyataannya gitu kan?" Mia berusaha tidak terpengaruh dengan kelakuan Lio. Matanya tetap memandang lurus ke depan, berusaha mengabaikan keberadaan Lio di sisinya.
"Aku enggak pernah anggap kamu musuh loh, Na," ujar Lio sedih.
"Tapi buat aku begitu."
"Na, aku tuh mau bicara serius loh sama kamu."
"Aku enggak mau bahas," tolak Mia cepat.
Lio tersenyum samar. "Emang kamu tau aku mau ngomong apa?"
"Pasti mau bahas masalah minggu lalu kan?"
"Kamu kenapa menghindar terus, Na?"
"Aku males denger ceramah kamu."
Lio mengernyit bingung. "Ceramah apa?"
"Soal aku yang harusnya enggak bersikap begitu ke klien."
"Kenapa kamu pikir aku mau bahas itu?"
Mia melirik ke samping sepintas. "Emangnya apa lagi kalo bukan itu?"
"Aku itu mau minta maaf sama kamu, Na."
"Hm?" Sontak Mia menoleh terkejut.
"Aku mau minta maaf karena kamu jadi dapat kesulitan gara-gara aku." Perlahan Lio menegakkan duduknya. "Andai hari itu kita enggak proyek bareng, belum tentu Dewi ingat soal kamu dan mungkin dia enggak akan menyulitkan kamu seperti waktu itu."
Mia mengerjap kaget. Terpana dengan jawaban Lio yang di luar perkiraannya. "Ini kamu serius?"
"Aku serius, Na."
"Kamu waktu itu nunggu segitu lama di mobil cuma buat ngomong ini?" tanya Mia tidak percaya.
"Iya." Lio mengangguk mantap.
Untuk beberapa saat Mia melongo, lalu melanjutkan dengan suara pelan. "Bukan mau nyalahin aku?"
"Bukan." Lio menggeleng geli.
"Sedikit juga?"
"Iya."
"Tapi kenapa kamu kayak yang enggak suka aku marah balik ke cewek itu?" tanya Mia sebal.
Mia masih bisa mengingat dengan jelas nada bicara Lio ketika menegurnya waktu itu.
"Aku cuma khawatir dia akan bikin kamu susah lagi kayak dulu. Aku cuma enggak mau lihat kamu terpojok lagi gara-gara dia," ujar Lio sungguh-sungguh.
"Aku kira kamu marah sama aku karena omongan aku ke dia yang kasar."
"Sama sekali enggak kok, Na. Aku malah pengin ketawa dengar omongan kamu."
Mia meringis kemudian bertanya ragu. "Jadi kamu enggak mihak dia?"
Lio tersenyum lebar, mengambil tangan Mia, lalu menggenggamnya hangat "Kamu perlu tau kalau aku selalu ada di pihak kamu, Na. Sejak dulu."