25. Di Luar Kewajaran

1702 Words
“Mbak Mia kok udah balik?” Chica melongo melihat bosnya sudah kembali ke Lumiere padahal seharusnya masih beberapa jam lagi. Belum lagi kedatangannya yang bagai badai. Buka pintu kencang, jalan melesat cepat, pokoknya mirip halilintar. Hanya suaranya saja yang belum mengguntur. "Jangan tanya deh, Cha," sahut Mia dingin. Alarm tanda bahaya di kepala Chica langsung aktif mendengar nada bicara bosnya. Ia yang tadinya sedang bergosip santai di meja resepsionis, langsung mengejar Mia dan mengekor di belakang menuju ruangan sang bos di lantai atas. “Kerjaannya ganti jadwal, Mbak?” tanya Chica hati-hati. Sebenarnya Chica takut bertanya karena sudah dibilang jangan, tetapi sebagai asisten ia harus tahu, karena kalau ada sesuatu yang berubah dengan jadwal Mia, ia juga yang harus bertanggung jawab. “Bukan ganti jadwal tapi batal.” “Loh? Kenapa, Mbak?” Di anak tangga teratas, Mia berpapasan dengan Elle.  “Mi, kamu kenapa?” Elle bertanya heran melihat wajah kusut Mia. "Mbak Elle udah dateng?" tanya Mia kaget. Dia sampai lupa kalau Elle sudah tiba di Indonesia sejak kemarin dan hari ini adalah jadwalnya untuk datang ke Lumiere.  Elle Adinata adalah pemilik sekaligus perancang gaun pengantin di Lumiere, tetapi wanita itu jarang sekali berada di Indonesia. Sebagian besar waktunya Elle habiskan di luar negeri. Ia mempercayakan Lumiere ke tangan Mia dan memantau pekerjaan dari jauh. Elle bahkan sudah berniat menyerahkan Lumiere ke tangan Mia sepenuhnya, tetapi gadis itu merasa belum siap. "Baru aja aku mau susul kamu, eh malah udah balik. Terus kirain bakal disambut wajah ceria kamu, ternyata malah wajah mendung begini," goda Elle. "Maaf, Mbak,” desah Mia lesu. “Aku lagi kesel." Elle tersenyum lembut kemudian merangkul bahu Mia. "Ada masalah sama kerjaan?" “Dapet klien rese, Mbak." "Rese gimana? Banyak maunya?" tanya Elle sambil menuntun Mia ke ruangan gadis itu. "Banyak mau doang sih enggak masalah, Mbak. Yang nyebelin, maunya enggak jelas. Sengaja nyari-nyari kesalahan aku. Jelek-jelekin hasil kerja aku. Pokoknya rese banget." "Mbak Dewi kayak gitu, Mbak?" tanya Chica yang masih mengekor di belakang. "Enggak usah sebut namanya lagi deh, Cha!” ujar Mia gusar. “Bikin gue pengin lelepin kepalanya di comberan aja." "Mi, emosi banget.” Elle tersenyum geli. Dibimbingnya Mia untuk duduk di sofa lalu berjalan mengambil minuman di lemari pendingin. “Ini pasti ada masalah lain deh selain dia banyak maunya." "Dia itu emang ada bibit dendam sama aku, Mbak," ujar Mia gemas. "Loh? Udah kenal sebelumnya?" "Enggak bener-bener kenal, cuma dulu satu kampus." Otak cerdas Chica langsung bekerja cepat. "Mbak, jangan bilang tadi yang foto Mas Lio ya?" Ditanya demikian, Mia terdiam. "Bener ya?" Chica bertanya lagi. Elle kembali ke sofa dengan tiga botol minuman dingin di tangannya. Ia duduk perlahan, kemudian bertanya santai. "Lio siapa?" Chica mengerling penuh arti. "Satu-satunya cowok yang pernah singgah di hati Mbak Mia." "Oh ..., cinta pertama kamu di SMA, Mi?" "Iya." Mia mengangguk malas. "Jangan-jangan mbak itu kenal sama Mas Lio juga nih!" tebak Chica cepat. "Emang," gumam Mia. "Kamu pernah ada masalah sama cewek itu?" tanya Elle. Mia mengembuskan napas cukup kencang. "Cewek itu tuh fans beratnya Lio. Cinta mati menuju obsesi malah kayanya. Tapi sama Lio kayaknya enggak ditanggepin." "Lio malah nunjukin ketertarikan sama kamu?" tebak Elle geli. Mia mengangguk kecil. "Waktu kuliah iya, sempet kayak gitu. Tapi enggak lama kok. Kan sempet deket lagi sama dia pas kuliah tapi bubar tiba-tiba." Chica berdecak sinis. "Dan si cewek itu masih enggak seneng ati sama Mbak Mia?" Mia kembali mengangguk. "Enggak beres otaknya …," gumam Chica sebal. "Jadi dia sengaja cari-cari masalah sama kamu?" tanya Elle. "Iya." "Terus Mbak Mia apain?" tanya Chica jengkel. Meski Mia ini galaknya suka tidak ketolongan, tetapi Chica cinta mati pada bosnya. Karena sesungguhnya Mia itu baik, hanya mulutnya saja suka pedas-pedas nyeri. "Awalnya aku masih tahan diri, aku ikutin maunya. Eh makin makin. Ya udah aku lumat juga." Elle mengulum senyum. Ia tahu benar sejudes apa Mia kalau sudah marah. "Terus Lio gimana?" "Dia sempet bela aku, tapi akhirnya malah kayak enggak setuju aku lawan balik cewek itu. Kesel kan, jadi aku tinggalin aja. Bodo amat mau batal juga. Enggak rugi ilang satu klien kayak gitu." "Udah, jangan kesel lagi ya.” Elle menepuk pundak Mia. “Lupain urusan cewek itu, mending seneng-seneng mumpung ada aku." "Eh, iya! Mbak Elle berapa lama di Indo?" Saking kesal gara-gara Dewi, Mia sampai lupa menanyakan kabar Elle, atasan, mentor, sekaligus kakak tersayangnya. Bagi Mia, Elle itu seperti kakak perempuan yang tidak pernah dimilikinya. “Enggak lama sih kali ini, paling sebulan aja.” “Yah sebentar amat,” desah Mia kecewa. “Sebulan juga lumayan lama kok. Bisa nemenin kamu menghadapi klien-klien rese,” gurau Elle. “Mbak Mia …,” panggil Chica ragu-ragu dari sisi jendela tempatnya tengah berdiri saat ini. “Hm?” “Kayaknya Mas Lio dateng deh.” “Hm?” Kekesalan Mia yang tadi sudah sempat mereda, mendadak naik lagi. “Itu ada mobilnya parkir.” Chica menunjuk keluar jendela. “Belum turun sih.” “Cha, aku enggak mau ketemu sama dia,” ujar Mia ketus. “Aturin aja sama kamu, aku enggak mau tau, gimana juga caranya, aku enggak mau ketemu dia. Oke?” “Chica harus bohong?” tanya Chica memelas. “Terserah. Boleh bilang aku enggak ada. Mau bilang aku enggak mau ketemu juga gapapa,” ujar Mia dingin. Pada akhirnya, terpaksa Chica yang berjuang menghadapi Lio. Menghadang agar pemuda itu tidak bisa menyentuh batas lobi Lumiere. Hingga berjam-jam berikutnya, Mia sama sekali tidak tergerak untuk menjumpai Lio atau sekadar membalas pesan yang pemuda itu kirimkan. Elle yang masih berada di Lumiere hingga sore sampai terheran-heran melihat keteguhan Mia untuk mengabaikan Lio. Elle memutuskan masuk ke ruangan Mia untuk menegur gadis itu. Ia berjalan santai menuju jendela dan berdiri di sana menatap ke bawah. “Mi, udah berapa jam orang itu nunggu kamu?” "Enggak tau, Mbak. Aku enggak ngitungin.” Mia bukan tidak tahu kalau Elle sengaja bertingkah begitu untuk menegurnya, tetapi ia sengaja berpura-pura tidak paham. “Udah lama banget loh, Mi.” Elle menatap iba ketika mendapati sosok Lio yang tengah duduk di area parkir Lumiere, tidak jauh dari mobil pemuda itu. “Kamu enggak mau temuin dia?” “Males, Mbak.” Mia terus berlagak sibuk menyelesaikan pekerjaannya di komputer. “Enggak kasihan?” “Biarin aja. Nanti juga pergi sendiri.” Elle menggeleng perlahan. “Mi, kayaknya dia mau bicara serius sama kamu, buktinya mau nunggu sampai segitu lama.” “Paling juga cuma mau nyalahin aku.” Mia mendengkus kasar. “Ceramahin aku kalo harusnya aku enggak begini begitu sama klien. Harusnya tetap profesional. Maleslah pokoknya.” “Kalau misalnya bukan?” Untuk beberapa saat Mia berpikir, tetapi kemudian segera menggeleng. “Mia enggak mau tau, Mbak.” Perlahan Elle menghampiri meja kerja Mia lalu duduk tepat di seberang gadis itu. “Mi, kenapa kayaknya kamu benci banget sama Lio?” “Masa sih?” balas Mia berlagak bodoh. “Aku tahu kamu itu suka judes, tapi aku belum pernah lihat kamu sampai segininya sama orang. Biasanya, biar kamu itu suka judes, cepet marah, tapi kamu juga cepet kasihan.” Mia sadar kalau perkataan Elle memang benar. Sikapnya ketika berhadapan dengan Lio memang sangat berlebihan. Bukan seperti dirinya yang biasa. Namun, Mia juga tidak tahu apa penjelasan atas sikapnya yang tidak wajar itu. “Enggak tau deh, Mbak.” Mia menggeleng lesu. “Perasaan aku selalu enggak karuan kalo inget dia, liat dia. Campur aduk enggak jelas. Ya pengin marah, ya kecewa, ya semua-semua.” “Mi, apa mungkin kamu masih punya perasaan sama dia?” tanya Elle hati-hati. “Maksud, Mbak?” balas Mia terkejut. “Kalau kamu udah enggak ada perasaan khusus sama dia, marah kamu pasti sewajarnya. Malah mungkin udah cuek dan enggak peduli sama apa pun yang berhubungan dengan dia. Tapi kalo marah kamu enggak masuk akal, enggak jelas karena apa, ada baiknya kamu coba kamu selami lagi perasaan kamu sendiri,” ujar Elle bijak. “Mungkin ada sesuatu yang masih belum selesai di antara kalian.” Usai mengatakan demikian, Elle meninggalkan ruangan Mia. Memberi kesempatan pada gadis itu untuk berpikir, menenangkan diri, dan menyelami perasaannya sendiri.  Sendirian di ruang kerjanya, Mia banyak berpikir. Ia sendiri bertanya-tanya, apa yang salah dengan dirinya. Mia bukannya tidak peduli dengan Lio yang sejak tadi menunggunya di parkiran. Ia tahu dan bahkan Mia terus mengamati. Mungkin setiap sepuluh menit sekali Mia akan melongok ke jendela untuk memastikan apakah Lio masih di sana atau sudah pergi. Sebagian dirinya berharap kalau Lio terus menunggu di bawah. Setiap kali menatap keluar dan menemukan mobil pemuda itu masih di sana, Mia lega. Namun, untuk menemuinya, Mia gengsi. Itu saja yang terus Mia lakukan, sampai ia tidak sadar jika hari sudah semakin malam. Sekitar pukul delapan malam, Elle kembali ke ruangan Mia. “Mi, kamu belum mau pulang?” “Nanti, Mbak. Masih tanggung. Dikit lagi,” dusta Mia. Padahal sejak tadi tidak ada pekerjaan yang benar-benar dikerjakannya. “Aku pulang duluan ya, orang rumah udah pada ribut nih.” “Oke, Mbak! Ati-ati ya!” “Kamu juga. Sampai besok ya!” Setelah Elle pulang, Mia sadar kalau dirinya juga harus menyusul. Mia bersiap pulang dengan perasaan tidak karuan. Jantungnya berdebar kencang memikirkan harus bertemu Lio di bawah. Bagaimana ia harus bersikap? Apa yang harus dikatakannya? Namun, semua itu jelas hanya ada dalam hati Mia. Di depan Lio, Mia sama sekali tidak sudi menampakkannya. Ia berjalan keluar dari pintu Lumiere dengan mantap, menuju mobilnya sendiri tanpa menoleh ke arah Lio sama sekali.  Mia berusaha tetap tenang meski melihat sosok Lio turun dari mobil dan menghampirinya. Menghadang langkahnya. “Akhirnya kamu pulang juga,” desah Lio lega. Mia menghindar. Bergeser ke samping lalu melanjutkan langkahnya. Cepat-cepat Lio mengejar Mia. “Na, aku mau bicara sama kamu.” “Aku enggak mau,” balas Mia dingin. “Na, aku udah tunggu kamu dari siang di sini.” “Siapa suruh?” tanya Mia kejam. “Harusnya kamu tau aku enggak mau ngomong sama kamu.” Lio menahan lengan Mia dan mencengkeramnya. Tatapan pemuda itu terlihat lelah dan sedih. “Na, kenapa susah banget sih untuk bicara baik-baik sama kamu?” Mia menatap tajam ke arah Lio, kemudian mengentakkan tangannya dengan kasar. “Karena keadaan kita emang enggak baik-baik.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD