Tahun 2012
Deryl tiba di rumah Dizza dengan membawa serta orang tua nya. Untuk membahas mengenai pernikahan antara Deryl dan Dizza. Mereka duduk di sofa ruang tamu dengan Dizza duduk di samping ayah dan bunda. Sedangkan Deryl beserta orang tuanya duduk di sofa depannya. Mereka terpisah oleh meja persegi di tengahnya.
Dizza tampak sekali enggan dengan pembahasan ini. Pernikahan ini bukan keinginannya. Namun, ia terpaksa melakukannya agar bayi dalam kandungannya memiliki ayah. Padahal ia sangat membenci ayah bayinya. Jangankan melihatnya, mendengar namanya saja Dizza sudah merasa muak. Sayangnya ia tidak punya pilihan lain. Ia tidak mau membuat orang tuanya bertambah malu. Kehamilannya saja sudah membuat malu orang tuanya. Tidak perlu menambah lagi dengan tidak adanya ayah bayi yang bertanggung jawab.
Sejak insiden yang menimpanya, Dizza sudah memutuskan untuk berhenti sekolah. Ia tidak mau bertemu teman-temannya karena tidak siap dengan pertanyaan yang akan mereka tanyakan. Ia terlalu malu.
Setelah pembahasan mengenai pernikahannya usai, tanpa berkata apa-apa Dizza memutuskan menuju ke kamarnya. Ia merasa lelah luar biasa padahal ia tidak melakukan aktifitas yang berat. Kepalanya terasa pusing ditambah mual yang sejak pagi menderanya. Wajahnya pucat. Ia ingin beristirahat. Ia duduk di atas tempat tidur dengan tubuh bersandar di kepala ranjang.
Tok tok tok
Tanpa merasa curiga Dizza berteriak, "Masuk aja!""
Begitu tahu siapa yang berkunjung ke kamarnya, Dizza menghela napas. Ia menoleh kearah lain. Kemana saja asal tidak ke arah lelaki b******k itu. Karena rasanya enggan sekali.
"Aku mau bicara sama kamu."
"Gue pusing. Gue mau istirahat." Dizza tidak sepenuhnya bohong. Ia masih enggan menatap Deryl.
"Aku cuma mau bilang makasih karena kamu bersedia menikah sama aku. Aku akan berusaha menjadi suami yang baik buat kamu. Menjadi ayah yang baik buat anak kita." Deryl tersenyum begitu mengucapkan kata anak kita. Walau anak itu hadir karena sebuah kesalahan, tetapi Deryl sungguh menyayangi calon anaknya.
Dizza tidak menjawab.
"Yaudah gitu aja. Kamu istirahat. Kalau kamu butuh apa-apa kasih tahu aku aja. Kata orang, wanita hamil suka ngidam yang aneh-aneh. Kamu jangan sungkan buat ngasih tahu aku kalau lagi ngidam."
Dizza masih enggan menjawab. Dan masih enggan menatap Deryl.
Deryl akhirnya memutuskan keluar dari kamar Dizza. Ia tahu Dizza sangat membencinya. Ia memakluminya. Tidak apa-apa. Ia harus bersabar. Ia juga tidak boleh menyerah untuk mendapatkan maaf dari Dizza. Deryl harus terus berusaha. Minimal Dizza mau menatapnya.
Pernikahan diselenggarakan dengan sederhana. Tidak ada pesta mewah. Hanya ada acara akad saja. Yang diundang pun tidak banyak. Hanya kerabat dekat saja. Juga tetangga samping rumah Dizza.
"Saya terima nikahnya Dizza Anindita binti Hermawan dengan mas kawin tersebut tunai." Deryl mengucap ijab dengan sekali tarikan nafas.
"Sah?"
"Sah."
"Sah."
"Alhamdulillah."
Dizza mencium punggung tangan Deryl sesuai arahan penghulu. Kemudian Deryl mencium dahi Dizza. Kini mereka telah resmi menjadi sepasang suami istri. Walaupun tidak ada buku nikah karena Dizza masih dibawah 17 tahun. Tidak apa-apa. Setidaknya ayah bayi ini mau bertanggung jawab. Itu saja sudah cukup.
Dizza menyalami kedua orang tuanya. Ia menangis dalam pelukan bunda. Ini bukan pernikahan impiannya. Ia memiliki impian menikah dengan lelaki yang dicintainya dan juga mencintainya. Namun justru yang terjadi sebaliknya. Ia tidak mencintai suaminya. Bahkan ia tidak mengenal siapa suaminya ini. Ia menikah hanya atas dasar pertanggung jawaban. Ia tidak tahu bagaimana nasib rumah tangganya ke depannya.
Usai acara pernikahan diselenggarakan, Dizza memutuskan untuk beristirahat di kamar. Setelah semua make upnya dibersihkan, Dizza langsung menuju ke kamar mandi. Ia kembali muntah-muntah. Wajahnya pucat. Semenjak hamil sudah menjadi kegiatan rutinnya muntah-muntah di pagi hari dan sore hari.
Dizza merasa ada yang menyampirkan rambutnya dan memijat tengkuknya. Ia menoleh ke pantulan cermin di depannya. Deryl tengah memegang rambut Dizza agar tidak basah, dan tangan yang satunya ia gunakan untuk memijat tengkuk Dizza. Pandangannya sarat akan kekhawatiran.
Dizza menepis tangan Deryl agar terlepas dari rambut juga tengkuknya. Tanpa bicara apa-apa ia keluar dari kamar mandi meninggalkan Deryl.
Sesuai keputusan bersama setelah menikah Dizza dan Deryl tinggal di rumah orang tua Dizza. Dikarenakan kehamilan Dizza di usianya yang sangat muda membuat orang tua Dizza khawatir dengan keadaan putrinya. Kehamilan ini sangat riskan. Ayah dan bunda ingin kesehatan Dizza dapat mereka pantau setiap hari.
Malamnya Deryl memutuskan untuk tidur di bawah dengan menggunakan kasur lipat milik Dizza. Ia tahu Dizza tidak akan sudi tidur bersebelahan dengannya. Oleh sebab itu ia memutuskan untuk tidur di bawah.
Jam menunjukan pukul satu malam, tetapi Deryl tidak dapat tidur. Ia bangkit dan melihat ke arah Dizza yang tengah tertidur pulas. Ia perhatikan wajah damai istrinya. Cantik. Bulu matanya lentik. Hidungnya mancung. Bibirnya tipis. Kulitnya putih. Hanya dengan memandangnya Deryl merasa sangat bahagia. Dan debaran aneh itu pun hadir. Ia tidak tahu sejak kapan ia mulai merasa hanya dengan melihat Dizza ia merasa senang. Walau sudah jelas Dizza selalu memandangnya dengan sinis.
Deryl duduk di tepi tempat tidur tepat di samping Dizza. Ia singkap selimut Dizza dengan perlahan agar tidak mengganggu tidurnya. Tangannya ia ulurkan ke perut Dizza yang masih rata. Mengelusnya perlahan.
Sehat terus anak Papa. Papa sayang sama kamu dan Mama kamu. Bantu Papa buat meluluhkan hati Mama kamu supaya dia mau maafin Papa. Papa akan berusaha menjaga kalian dengan sepenuh jiwa Papa. Walau nyawa taruhannya.
Deryl menundukkan kepala mencium perut rata Dizza. Setelahnya ia mencium kening Dizza. Ia sadar, tindakannya ini pasti akan memicu amarah Dizza jika saja Dizza mengetahuinya. Bisa jadi Dizza akan semakin membencinya. Namun, Deryl sungguh ingin mendekatkan diri dengan calon anaknya. Ia ingin mengelus dan mengajak bicara calon anaknya. Dan ia baru bisa melakukannya ketika Dizza sudah terlelap.
***
Hari-hari terus berlalu. Dery tidak pernah menyerah untuk mendapatkan maaf dari Dizza. Setiap hari ia selalu membuatkan s**u ibu hamil untuk Dizza. Kemudian menyuruh Bi Inah yaitu asisten rumah tangga untuk memberikannya kepada Dizza. Ia yakin jika Dizza tahu s**u itu buatan Deryl, ia pasti tidak akan mau meminumnya. Setiap pagi dan sore Deryl selalu membantu menyingkap rambut Dizza setiap kali wanita itu muntah. Walaupun ia tahu Dizza selalu menolak, tetapi ia tidak mau mendengarkan. Ia ingin selalu ada saat Dizza kesusahan.
Deryl kini tidak lagi menjadi anak band. Semenjak ia tahu akan menjadi seorang ayah, maka ia langsung mencari pekerjaan. Ia ingin bekerja untuk kelangsungan hidup mereka agar kebutuhan mereka terpenuhi. Deryl bekerja di perusahaan milik pamannya. Perusahaan bidang properti.
Sore itu ketika Deryl baru saja pulang bekerja ia tidak sengaja mendengar Dizza bergumam sendiri di ruang tamu, tetapi cukup mampu ia dengar.
"Makan sate enak kayanya. Aneh, biasanya gue enggak doyan sate tapi kenapa kok jadi pengen makan sate."
Deryl tersenyum di balik tembok. Istrinya sedang ngidam sate. Tak peduli dengan tubuhnya yang terasa sangat lelah, ia pergi ke depan kompleks. Tempat biasa tukang sate langganannya berjualan. Biasanya di situ selalu ramai pembeli karena rasanya yang sangat enak.
"Bang,, sate tiga puluh tusuk. Dibungkus ya."
"Baik mas."
Usai membayar pesanannya Deryl langsung melajukan mobilnya kembali kerumah. Ia menghampiri Dizza yang tengah asik menonton teve di ruang keluarga.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam." Dizza menjawab sambil menoleh. Namun begitu tahu siapa yang datang, ia kembali mengalihkan pandangannya ke teve.
"Aku bawain sate buat kamu."
Dizza sontak menoleh. Ia mengerutkan keningnya. Bingung dari mana Deryl tahu kalau dia sedang ingin makan sate. Dari pakaian yang ia kenakan, Dizza tahu Deryl baru pulang bekerja. Namun, kenapa kebetulan sekali ia membeli sate di saat Dizza benar-benar ingin memakannya.
Deryl menaruh sate itu ke atas meja tepat di hadapan Dizza.
"Dimakan ya. Aku tahu kamu benci sama aku. Tapi aku mohon, dimakan ya satenya. Jangan dibuang. Mubazir loh. Aku ke kamar dulu."
Deryl pergi menuju kamar mereka. Setelah Deryl sudah tidak tampak dari pandangannya, Dizza meraih sate itu. Persetan dengan gengsi. Ia benar-benar ingin memakannya. Ia bawa sate itu ke meja makan dan langsung melahapnya bersama nasi putih.
Enak. Dari mana Deryl tahu ada tempat sate seenak ini. Tapi bodo amatlah. Saatnya makan. Batin Dizza.
Di belakangnya Deryl tersenyum bahagia melihat Dizza makan dengan begitu lahapnya. Hatinya menghangat. Dan debaran aneh itu lagi-lagi hadir.
Tidak apa-apa Dizza masih membencinya. Ia tidak akan menyerah. Ia Akan terus berusaha mendapatkan maafnya. Karena entah mengapa setiap kali melihat tatapan sinis Dizza membuat ngilu sudut hatinya. Seperti ada yang menancap di sana.