4. Pertemuan

1109 Words
Setelah pertemuannya dengan Deryl hari ini ia terus kepikiran dengan pertanyaan lelaki tersebut. Alesha. Bagaimana kabarnya? Bagaimana rupanya sekarang? Bohong jika ia tidak merindukan Alesha. Ia sangat merindukan gadis kecil itu. Namun, setiap kali ia mengingat Alesha justru secara otomatis ia selau teringat dengan kejahatan Deryl padanya dulu. Ia sudah berusaha untuk melupakan masa lalunya. Sampai-sampai ia harus mendatangi psikolog karena sempat mengalami depresi. Maka dari itu ia selalu berusaha untuk tidak mengingat Alesha agar ia tidak teringat dengan perlakuan Deryl padanya dulu. Karena setiap mengingatnya, rasa sakit itu kembali hadir. Luka yang belum sembuh itu kembali menganga. Dan berakhir dengan insomnia. Akibatnya sakit di kepalanya pun tak terhindarkan. Seperti saat ini, ia tidak bisa tidur karena kembali mengingat masa lalu. Susah payah ia melupakannya, tetapi seketika hancur karena ia kembali bertemu dengan si pembuat rasa sakit itu. Drrrt... Drrrt... smartphone Dizza bergetar. "Assalamualaikum Bun." "Wa'alaikum salam. Gimana Za hari pertama magang kamu?" "Semuanya berjalan lancar Bun." "Kamu baik-baik ya di sana. Jangan telat makan. Istirahat yang cukup." "Iya. Bunda tenang aja. Aku bakal jaga diri aku baik-baik di sini." Dizza terdiam sejenak. "Mmm.. Bun." "Kenapa Za?" Dizza ragu apakah ia harus bilang kepada ibunya perihal pertemuannya dengan Deryl di perusahaan tempatnya magang. "Aku tadi ketemu Deryl. Dia atasan aku." Bunda terdiam cukup lama. Mungkin terkejut dengan perkataan Dizza. "Kamu enggak apa-apa Nak ketemu dia? Kalau kamu enggak nyaman mendingan kamu mundur aja Nak magang di situ." Bunda terdengar khawatir mengingat bagaimana dulu Dizza depresi karena ulah lelaki itu. "Dizza juga bingung Bun. Tapi kalo Dizza mundur, Dizza enggak akan tahu apakah Dizza bisa menghilangkan rasa sakit itu. Bukankah kita harus bisa berdamai dengan rasa sakit itu kalau ingin hidup tenang. Dan caranya adalah dengan menghadapinya bukan menghindarinya." "Kamu benar Nak. Tapi kalo ada apa-apa kamu harus langsung menghubungi Bunda. Bunda harus tahu keadaan kamu. Jangan ada yang ditutupi ya Nak." "Iya Bun." "Yaudah kamu istirahat. Jangan begadang. Kebiasaan kamu itu selalu begadang kalau keinget luka di masa lalu. Bunda enggak mau kamu sakit." "Iya Bunda tenang aja." "Kalo gitu Bunda tutup ya. Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam." *** Dizza hampir saja telat masuk bekerja. Ini efek semalam ia tidak bisa tidur. Insomnia nya kembali kambuh setelah sekian lama tidak ia rasakan. Ia baru bisa tidur jam tiga pagi. Dan kemudian bangun jam tujuh pagi. Untungnya jarak rumah kosnya tidak jauh dari kantornya magang. Dengan mengendarai motor super ngebut akhirnya ia sampai dalam waktu lima belas menit. Dizza baru saja melangkah menuju lobi kantor ketika ia tidak sengaja mendengar suara gadis kecil merengek. Dizza menoleh ke sumber suara itu. Suara itu berada tepat tidak jauh darinya. Ketika tahu siapa yang sedang berbicara dengan gadis kecil itu Dizza refleks bersembunyi di balik tembok di sampingnya. Itu Deryl. Dan siapa gadis kecil yang sedang bersama Deryl? Deryl sedang berlutut di depan gadis kecil itu untuk menyetarakan tinggi badannya. Perkiraan umur gadis itu mungkin lima tahun. Kira-kira siapa ya gadis itu? Atau jangan-jangan... "Papa udah janji sama aku mau nemenin aku seharian ini. Kenapa dibatalin? Katanya Papa mau cuti." "Alesha. Maafin Papa ya. Papa terpaksa Nak. Hari ini ada jadwal meeting dadakan dan Papa enggak bisa membatalkannya. Ini proyek besar. Papa janji. Lain kali Papa akan nemenin Alesha seharian." "Enggak mau. Alesha maunya sekarang." Alesha mulai menangis "Nak... Dengerin Papa. Hari ini Alesha terpaksa sama Bik Ijah dulu ya. Papa janji bakalan pulang cepet. Kalo urusan Papa udah kelar, Papa akan langsung menemui kamu. Kita akan jalan-jalan kemana pun Alesha mau." "Beneran?" "Iya sayang." Deryl menghapus air mata Alesha. Terlihat sekali kalau lelaki itu sangat menyayangi Alesha. "Yaudah deh." "Sekarang kamu pulang ya sama Bik Ijah. Jangan ngikutin Papa." "Abis aku takut Papa bohong. Bilangnya kerja gataunya ketemuan sama Tante centil itu." Deryl tertawa mendengar penuturan putrinya. Ia mengacak pelan rambut Alesha. Ia bangkit dari berlututnya. Kemudian ia antar kembali Alesha ke mobil yang dikendarai mang Ujang. Supir di rumahnya yang bertugas khusus mengantar Alesha pergi. Di balik tembok Dizza menundukan kepalanya. Jadi benar, gadis kecil itu Alesha. Setetes air mata jatuh di pipinya. Ia hapus air matanya dengan kasar. Ia sudah berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak menangis jika berhubungan dengan Deryl. Tapi ia tidak bisa berbohong. Ia sangat merindukan Alesha. Gadis kecil itu tumbuh dengan sangat cantik. Kulitnya putih, rambutnya lurus sepunggung. Terdapat satu lesung pipit di pipi kanannya. Dia merupakan ciptaan Tuhan paling indah yang pernah Dizza temui. Dizza benar-benar merindukannya. Alesha Anindita Pratama. *** Dizza langsung duduk di kubikelnya begitu sampai di ruangan divisi administrasi. ia merasa lelah. Entah lelah karena fisik ataukah batin. Lelah fisik karena bangun kesiangan dan kalang kabut bersiap-siap berangkat ke kantor. Lelah batin karena pertemuan tidak terduganya dengan Alesha. Walaupun Alesha tidak menyadari kehadirannya. Atau mungkin justru tidak mengenalnya karena mereka sebelumnya tidak pernah bertemu. "Za.." panggil Bima. "Kenapa Bim?" Dizza menoleh. "Sabtu besok ada acara enggak?" "Enggak ada. Emang kenapa?" "Mau ngajak jalan." Bima nyengir. Dizza tampak berpikir. Tapi boleh juga sih. Dari pada pusing di kos sendirian karena pasti ia kepikiran dengan pertemuan tak terduganya dengan Alesha. Lebih baik ia pergi sekalian merefresh otaknya. Ia butuh hiburan agar suasana hatinya membaik. "Oke deh." Dizza tersenyum. Tidak ada salahnya kan kalau ia menerima ajakan Bima. Toh mereka tidak terikat dengan siapapun. Jadi tidak ada yang takut cemburu. Lagipula Bima teman yang asik. "Enggak bakal ada yang marah kan kalau kita jalan?" tanya Bima. "Kalau gue sih enggak ada. Enggak tahu kalau lo." "Gue juga enggak ada kok. Yaudah nanti gue WA lo." Bima tersenyum. Dizza mengangguk. Ia kembali menghadap komputer di hadapannya. Baru satu jam ia fokus dengan pekerjaannya. Ia sudah kembali diganggu. Kini bukan Bima yang mengganggunya. Melainkan Deryl Pratama. "Dizza Anindita. Ke ruangan saya sekarang." Usai mengatakan itu, Deryl kembali masuk ke ruangannya. Dizza menghela napas sebelum akhirnya bangkit dan berjalan menuju ke ruangan Deryl yang berada tepat di depan kubikel para divisi administrasi. Dizza mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum akhirnya membuka pintu ruangan Deryl. "Silahkan masuk." "Ada apa Pak?" Dizza berdiri di depan meja kerja Deryl. "Hari ini temani saya bertemu klien." "Kenapa saya Pak?" Dizza terkejut. "Novi yang biasa membantu saya bertemu klien berhalangan hadir. Saya butuh kamu untuk membantu saya. Klien saya ini penting. Kamu cukup mengetik hasil meeting kami." "Kenapa harus saya?" "Karena saya maunya kamu Dizza Anindita. Kamu tidak boleh menolak. Ingat, saya atasan kamu." Deryl menyeringai. Dizza menatap muak pada Deryl. Dizza tahu pasti Deryl sengaja melakukan ini. Sudah jelas ini bukan bagiannya. Ia hanyalah anak magang, yang lebih berhak adalah karyawan di sini yang sudah jelas banyak pengalamannya. Apa maksudnya? Setelah lelaki itu pergi meninggalkannya sekian lama sekarang justru lelaki itu terlihat ingin kembali dekat dengannya. Jangan harap. Dizza tidak akan mau kembali dekat dengannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD