Tahun 2012
Seorang pria tengah menatap pantulan dirinya di depan cermin. Rambut agak gondrongnya. Anting di sebelah kanannya. Kaos oblong berwarna putih dilapisi jaket denim berwarna abu-abu muda. Celana jeans dengan robekan di bagian lututnya. Ia sudah siap untuk pergi ke tempat temannya. Mereka janjian bertemu di kafe yang berada di kawasan tangerang selatan.
Deryl Pratama. Pria berusia 22 tahun tahun tersebut hendak pergi untuk mengadakan pertemuan dengan kawan lamanya yang baru pulang dari Australia. Sudah jauh-jauh hari kawannya itu selalu mengajaknya bertemu, tetapi ia tidak pernah sempat menemuinya. Dikarenakan kesibukannya tampil di beberapa panggung bersama Bandnya. Ia memiliki Band dengan genre rock.
Sebenarnya ia malas bertemu dengan kawannya ini karena tidak bisa dibilang kawan dekat. Bahkan dulu mereka sempat berseteru, tetapi kemudian berbaikan. Perkelahian mereka di masa lalu sempat membuat kawannya ini masuk rumah sakit. Entahlah, ia merasa tidak yakin dengan pertemuan ini, tetapi ia tetap harus menepati janjinya.
Deryl tiba satu jam kemudian. Rupanya temannya sudah menyiapkan tempat VIP untuknya.
"Woy bro.. Apa kabar lo? Sibuk mulu perasaan," sambut Choki dengan melakukan tos antar pria dengan Deryl.
"Kabar gue baik man. Biasalah, Band gue sekarang lagi banyak job. Ini aja gue terpaksa batalin manggung di kafe temen gue karena gue udah terlanjur janji sama lo." Deryl duduk di depan Choki.
"Boleh juga Band lo itu. Jam terbangnya udah banyak."
Keduanya terus berbincang dengan seru hingga tidak terasa sudah jam lima sore. Setelah menghabiskan makanan dan minuman yang sudah dipesankan Choki mereka memutuskan untuk pulang. Karena Choki sudah ada janji dengan kekasihnya.
Ketika Deryl berjalan menuju mobilnya entah kenapa ia merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Tiba-tiba saja ia merasa sangat gerah padahal cuaca di luar sudah mulai gelap karena sudah sore. Mobil melaju meninggalkan kafe tersebut menuju Apartemennya.
Di sepanjang jalan tubuh Deryl semakin tidak karuan. Ia merasakan sensasi aneh. Ia laki-laki normal. Ia tahu perasaan apa ini. Ia merasa ingin dituntaskan. Dan berakhir dengan menghentikan mobilnya di jalan yang kebetulan sepi. Entah apa yang sudah dicampurkan oleh Choki ke dalam makanan dan minumannya tadi, tetapi ia berjanji akan memberi pelajaran kepada Choki karena sudah kurang ajar padanya. Sepertinya lelaki itu masih menaruh dendam padanya.
Ia keluar dari dalam mobil. Perasaannya sudah tidak karuan. Ia benar-benar ingin melakukannya. Dan tanpa sengaja ia melihat seorang gadis berdiri sendiri di pinggir jalan seperti sedang menunggu angkutan umum lewat karena sedari tadi gadis itu menengok ke ujung jalan. Sangat cantik. Itu yang pertama ada di benak Deryl. Melihat gadis itu, membuat tubuhnya semakin didera perasaan aneh.
Ia hampiri gadis itu dengan mencekal lengannya. Ketakutan terpampang jelas di wajah gadis itu. Namun, ia tidak peduli. Yang penting saat ini keinginannya harus terpenuhi. Ia sempat melihat nama gadis itu di seragam yang dikenakannya. DIZZA ANINDITA.
Deryl menarik paksa gadis itu hingga akhirnya mereka tiba di suatu tempat di mana terdapat banyak pohon tinggi serta rerumputan. Dengan nafsu yang sudah di ujung tanduk ia pun merebut paksa kesucian gadis itu. Tanpa peduli dengan air mata yang terus keluar di pipi gadis itu. Pemberontakan yang sebenarnya percuma karena tidak sebanding dengan tenaganya.
Usai melakukan aksi bejatnya dengan tega ia meninggalkan gadis itu begitu saja. Ia langsung menancap gas dengan kecepatan penuh karena takut ada yang melihat aksi bejatnya itu. Dengan begitu tidak akan ada saksi dan gadis itu tidak bisa melaporkannya ke polisi.
Namun sesampainya di apartemen bukan kepuasan yang ia dapat tetapi penyesalan. Karena tiba-tiba saja ia teringat dengan almarhumah adiknya yang meninggal bunuh diri karena diperkosa. Ia merutuki Kebodohannya yang tidak bisa menahan nafsunya karena obat sialan yg sudah tercampur di makanan dan minumannya. Ia sudah merusak seorang gadis yang tidak bersalah. Bagaimana jika gadis itu bernasib sama dengan adiknya? Tidak tidak tidak. Ia tahu bagaimana sakitnya ditinggalkan oleh adiknya yang sangat ia sayang. Ia tidak mau ada kejadian serupa apalagi penyebabnya adalah dirinya sendiri. Deryl menarik rambutnya prustasi.
Astaga Deryl. Kenapa lo bisa b**o banget sih? Gadis itu masih sekolah. Masa depannya masih panjang. Dan lo udah merusak masa depan dia. Jahat aja masih enggak cukup untuk menggambarkan diri lo. Lo lebih dari jahat. Deryl memaki dirinya sendiri. Ia menjambak rambutnya frustasi.
Deryl kembali memacu mobilnya ke tempat tadi ia meninggalkan gadis itu. Berharap gadis itu masih di sana. Ia akan meminta maaf. Dan akan bertanggung jawab atas perbuatannya. Namun begitu sampai di sana justru tidak ada siapa-siapa. Deryl mengusap kasar wajahnya.
Cewek tadi pasti udah pulang. Gue harus ketemu sama dia. Gue harus minta maaf. Tapi gue gatau dimana rumahnya. Gimana ini. Deryl mengusap kasar wajahnya.
***
Hari demi hari Deryl lalui dengan menunggu gadis itu di depan sekolahnya. Ia tahu sekolahnya mengingat seragam batik yang dikenakan gadis itu. Ia berdiri di depan gerbang sekolah sambil berharap bertemu dengan gadis yang ia cari namun apalah daya. Usahanya sia-sia. Ia sama sekali tidak melihat gadis itu berangkat ataupun pulang dari sekolah tersebut. Apa ia salah sekolah? Tidak mungkin. Ia jelas mengingat seragam gadis tersebut mirip dengan seragam yang dikenakan siswa-siswi di sekolah ini. Namun, kenapa tidak juga ia temukan gadis itu? Apa jangan-jangan gadis itu berhenti sekolah karena perbuatannya? Kalau memang benar begitu, maka ia akan bertambah menyesal karena sudah menghancurkan masa depan gadis itu. Hidupnya tidak akan tenang.
Sampai satu bulan kemudian tidak juga ia temukan gadis itu di sekolahnya. Akhirnya ide terlintas di kepalanya. Dan ia merasa sangat bodoh karena baru menyadarinya sekarang. Ia harus bertanya kepada siswa-siswi di sekolah ini. Mereka pasti ada yang tau gadis bernama Dizza Anindita.
"Permisi. Mau nanya, kenal enggak sama cewek yang namanya Dizza Anindita? Dia sekolah di sini," tanyanya kepada seorang siswi yang berjalan melewati gerbang.
Siswi tersebut mengernyit bingung menatap lelaki tampan di hadapannya ini. Melihat ekspresi siswi tersebut Deryl bisa menyimpulkan kalo siswi tersebut tidak mengenal Dizza Anindita. Tidak apa-apa. Ia akan bertanya kepada siswa-siswi yang lain.
"Yaudah kalo enggak kenal juga enggak apa-apa. Maaf udah ganggu."
Baru saja Deryl hendak melangkahkan kakinya menuju siswa lain, ia langsung terkejut mendengar penuturan siswi yang tadi ia tanyai.
"Emang Mas ada urusan apa ya sama Dizza? saya temen sekelasnya."
Deryl sontak bahagia mendengarnya. Ada harapan ia bisa bertemu Dizza.
"Saya.. Saya teman sepupunya. Kebetulan saya ingin mengambil barang saya yang tertinggal di sepupunya. Dan sepupunya bilang saya harus ketemu sama Dizza karena dia udah menitipkan barang itu ke Dizza."
Siswi itu menatap curiga Deryl.
"Temen saya itu sekarang lagi di luar negeri. Enggak mungkin kan saya harus nyusul keluar negeri." Deryl menambahkan agar Siswi tersebut percaya padanya.
"Oh gitu... Dizza udah sebulan ini enggak masuk sekolah. Enggak ada yang tahu alasannya apa. Atau mungkin dia udah berhenti enggak ada yang tahu. Kami sempet ke rumahnya tapi Dizza enggak mau keluar kamar sama sekali."
"Kalo gitu saya minta alamat rumahnya aja. Sekalian nomor Hp nya kalo kamu tau."
Siswi tersebut memberikan alamat rumah serta nomor handphone Dizza kepada Deryl. Usai mendapatkan apa yang dia mau, Deryl bersorak dalam hati. Sekarang saatnya ia menuju ke rumah Dizza untuk meminta maaf kepadanya.